Rate this book

12 Menit (2013)

by Oka Aurora(Favorite Author)
4.73 of 5 Votes: 7
ISBN
6027816336 (ISBN13: 9786027816336)
languge
English
genre
publisher
Noura Books
review 1: Jika Musik Bicara Lantang tentang Hidup dan Keluarga"Dua belas menit ini yang akan menentukan apakah kita akan juara. Dua belas menit ini yang akan menetukan apa yang akan kita kenang seumur hidup."12 Menit mengambil latar Bontang, sebuah kota kecil yang hanya bisa dicapai lebih cepat menggunakan pesawat kecil dari Balikpapan, Kalimantan Barat. Dari seratus tiga puluh anggota marching band Vincero ini kisah ini berputar pada empat tokoh. Rene, sang pelatih asal Jakarta, yang memiliki berbagai prestasi gemilang baik sebagai pemain dan pelatih, merasa di atas angin ketika diminta melatih ke Kalimantan. Rupanya di Bontang, dia justru diragukan kehebatannya, baik oleh pihak investor maupun oleh anggotanya, bahkan kemudian oleh dirinya sendiri. Lalu ada Tara, juga asal Jakarta,... more penabuh drum berbakat tetapi kini harus berjuang dari nol pascakecelakaan yang menewaskan ayahnya dan menurunkan kemampuan mendengarnya hingga sepuluh persen. Elaine, lagi-lagi murid pindahan Jakarta, sang pemain biola yang bermimpi menjadi seorang field commander. Walau memiliki kepintaran luar biasa di bidang musik dan akademis, Elaine justru dihambat oleh keinginan ayahnya untuk memiliki anak seorang ilmuwan. Dan akhirnya, rasa pribumi dihadirkan oleh Lahang, laki-laki asal Dayak yang menjadi penari. Namun, dia senantiasa ragu karena harus meninggalkan ayahnya yang sakit demi latihan. Dengan tiga tokoh utama asal Jakarta, rupanya Oka Aurora tidak membuat cerita ini didominasi masalah tipikal anak Jakarta. Karakter orang-orang Kalimantan yang cenderung tertutup rupanya dilakoni juga oleh Tara yang terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian ayahnya dan Elaine yang terpaksa latihan diam-diam demi menghindari murka ayahnya yang seorang Direktur di salah satu perusahaan gas di Bontang. Maka jadilah kisah yang bhineka tunggal ika seperti halnya Bontang sebagai tempat kecil dengan ragam ras dan agama berkumpul di sana. Marching Band merupakan orkestra musik kolosal yang tidak hanya menampilkan harmonisasi musik tetapi juga kostum, konfigurasi bentuk, dan tentu saja adu tenaga. Bagaimana tidak, mereka tidak bermain musik sambil duduk tenang, melainkan berjalan mengitari lapangan dan tidak boleh hilang napas sedetik pun karena akan membuat nada miring di sana-sini. Semua itu dilakukan dalam 12 menit pertunjukan dan ratusan jam latihan. Saya sendiri baru memahami marching band dari dekat ketika menjadi mahasiswi di Universitas Indonesia, Depok. Dan saya terkejut begitu melihat teman saya mendaftar. Bagaimana tidak, profilnya tidak seperti pencinta musik seperti saya yang sudah menjadi anak sanggar dan berposisi sebagai gitaris sewaktu SMA. Gadis pemalu itu kemudian kebagian menjadi peniup terompet kecil, alat musik yang mungkin tidak pernah dia impikan selama 18 tahun hidupnya. Lalu ada teman saya yang bertubuh pendek dan chubby dan ingin menjadi penari. Hanya marching band itulah yang mampu mewujudkannya tanpa dihina melainkan hanya dukungan besar antaranggotanya. Dan ketika saya dan teman-teman menyaksikan pertunjukkan mereka di stadiun Soemantri Kuningan, yang saya rasakan adalah betapa manisnya buah dari sebuah kerja keras. Bahwa mereka juga mencintai musik seperti saya. Itu pula yang hendak diceritakan Oka Aurora dalam 12 Menit. Membuat sesuatu dari tidak ada menjadi ada, mereka yang buta alat musik menjadi terpatri dengan alat musik itu. Tentu saja, seperti kata salah seorang pelatih tari di sebuah ajang idola penyanyi Korea, “Tidak semua orang berbakat menari, tapi semua orang bisa menari. Kuncinya, latihan. Yang keras.” Walau menggunakan formula umum dalam naskah-naskah berlatar kelompok musik, saya terkesan bagaimana satu karakter dapat saling melengkapi dialog karakter lain dalam adegan yang berbeda. Seperti ketika Yoshuke, ayahanda Elaine habis kesabaran ketika mengetahui putri satu-satunya lebih memilih mengikuti kompetisi marching band ketimbang Olimpiade Fisika, dia berseru pada Rene, “Apa yang tidak penting bagi saya, tidak penting bagi Elaine!”Sedangkan di dipan dalam sebuah rumah panggung sederhana, Lahang justru enggan mengikuti kompetisi karena ingin mendampingi ayahnya yang sakit kanker otak. Dalam sakitnya, si bapak berkata, “Nak, selama ini saya menyiapkanmu untuk menjalani hidupmu. Hidupmu.”Dan dua dialog itu ditengahi apik di kepala saya dengan ucapan Rene pada Yoshuke, “Saya jadi menyadari betapa bersyukurnya saya memiliki ayah yang menginginkan saya jadi diri sendiri.”Kemudian saya teringat Tara yang walau mendapat dukungan penuh dia senantiasa merasa sendiri. Pasca ayahnya meninggal dia justru dipindahkan ke kota kecil bersama oma opanya sedangnya ibundanya melakoni studi S2 di Inggris. Dan pada malam sebelum keberangkatan ke Jakarta si ibu hanya mampu memberi dukungan lewat text message. "Mama datang atau tidak, Tara tetap harus memberikan yang terbaik". Si anak menjawab tak kalah mengabdi, "Mama datang atau tidak, Tara tetap akan bermain untuk mama".Harus saya akui, sosok Titi Rajo Bintang yang saya ketahui sebelumnya berperan sebagai Rene dalam filmnya, woro wiri dalam imajinasi saya. Memang itu seharusnya hal terlarang bagi seorang pembaca sejati, tetapi saya tidak bisa mengelak bahwa Titi RB justru adalah sosok paling tepat yang bisa ditemukan. Dia menunjukkan kekerenannya dalam bermusik saat menggarap musik untuk film Garuda di Dadaku. Menunjukkan sisi lain keseniannya kala beradu peran di film. Dan kini, di film 12 Menit, dia seolah tengah melakoni otobiografinya sendiri. Buku ini sukses membuat saya banjir air mata hampir di setiap babnya. Mungkin karena saya sudah menjalani ketiga fase yang terhampar di cerita ini. Remaja labil, wanita mandiri, dan menjadi orang tua. Dan bahkan walau sudah begitu, tetap ada kalimat yang bergaung-gaung di kepala saya. Kalimat lama yang diucapkan Rene pada Elaine juga Lahang, "Selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Dan selesaikan sampai berhasil." Ya, hidup memang belum berakhir. Maka hiduplah seperti orang hidup, jangan seperti orang mati.[]
review 2: Buku ini diawali sebuah ayat yang diambil dari Al Quran. Surat Al Ra'd ayat 11 yang berarti "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sebuah bangsa sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri". Ayat ini mewakili isi novel yang disadur dari kisah nyata perjuangan tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT). Kisah yang dirancang apik dalam novel "12 Menit".   Uniknya, di sampul depan sudah ada secarik pesan: "nantikan filmnya". Biasanya, novel best seller atau novel yang memikat sineas muncul beberapa lama sebelumnya kemudian divisualkan dalam wujud film. Tapi ini, baru cetakan pertama sudah dilabeli seperti itu. Saya dibuat heran karena ini di luar kebiasaan. Ternyata novel ini adalah adaptasi dari skenario film "12 Menit untuk Selamanya". Penulisnya adalah penulis skenario film tersebut, Oka Aurora. Ia berkejaran menulis novel dalam masa syuting film karena novel harus terbit sebelum filmnya diputar di bioskop-bioskop.   Saya menyebut novel ini sebagai hidangan pembuka film. Seperti halnya hidangan pembuka, novel pertama Oka bersifat membangkitkan selera. Tentu saja tidak mengenyangkan tapi membuat saya bersiap pada hidangan utamanya. Saya seperti halnya kebanyakan pembaca novel, suka ragu dengan film yang diangkat dari novel. Sering kali tak sesuai gambaran imajinasi. Untuk menjembatani pembaca seperti saya, sepertinya sengaja ditampilkan foto-foto pada sampul bagian dalam. Di sana ada Elaine, Tara, Lahang, dan Rene juga teman-teman MBBPKT yang tengah berlatih. Foto-foto itu adalah potongan gambar film sesungguhnya.   "12 Menit" bercerita tentang perjuangan MBBPKT menjadi juara dalam ajang Grand Prix Marching Band (GPMB) di Istora, Jakarta. Lika-liku setiap anggotanya untuk bisa mengalahkan diri mereka sendiri agar dapat menyatu bersama tim dan mewujudkan impian bersama.   Rene, pelatih MBBPKT adalah orang yang paling ingin mewujudkan impian yang mustahil itu. Ia sudah beberapa kali membawa tim marching band yang dilatihnya meraih juara di ajang nasional maupun internasional. Bahkan sebelum ke Bontang, tim marching band asuhannya di Jakarta menjadi juara GPMB tiga kali berturut-turut. Kali ini ia mendapat tantangan terberat selama menggeluti profesinya. Rene harus melatih satu tim yang berasal dari pelosok, bukan anak-anak kota yang biasa ia latih. Ia tak hanya harus melatih kemampuan bermain musik, tapi juga membangkitkan rasa percaya diri mereka. Anak-anak berlian yang merasa kecil karena berasa dari kota kecil.   Tara salah satunya. Ia adalah pemain drum. Daya dengarnya yang tinggal 10-20 persen membuatnya kesulitan berharmoni dengan tim. Tapi masalah utamanya bukan itu. Tara punya trauma masa lalu yang menyebabkan pendengarannya berkurang. Trauma itu membuatnya keras pada diri sendiri dan tidak mau memaafkan. Ia kecewa dan mengecewakan orang-orang tercintanya.   Lahang pun demikian. Ia tidak bisa memaafkan dirinya andai harus kehilangan bapak tanpa ia ada di sisinya. Lahang, penari berbakat dan menjadi andalan menari solo dalam tim, menghadapi dilema. Bapaknya, tetua adat Dayak, sakit keras menjelang kepergian anak semata wayangnya ke Jakarta. Meraih impiannya di Jakarta atau menemani ayahnya menjelang ajal adalah pilihan yang berat. Keduanya penting bagi Lahang. Ke Jakarta adalah juga mewujudkan impian mendiang ibundanya; sedangkan menemani ayah adalah juga tekadnya setelah pada kematian ibu, ia tak sempat menemani di penghujung hidupnya.   Memilih juga hal tersulit bagi Elaine. Dia selalu mendapatkan tekanan berat dari ayahnya, Josuke Higoshi. Bahkan ketika ia sudah memenuhi kemauan ayahnya, masih saja itu belum cukup. Maka ketika ia memilih marching band daripada olimpiade Fisika, mengharukan saya. Perlu keberanian besar seorang Elaine memutuskannya. Dan benar saja, Josuke tak menyetujui pilihan anaknya bahkan menarik paksa Elaine dari lapangan saat gladi resik. MBBPKT terancam tak memiliki field commander dalam ajang GPMB di Jakarta.   Kisah-kisah ini mewakili 130 anggota tim MBBPKT yang harus mengalahkan diri mereka dulu sebelum berjuang bersama tim. Saya suka dengan pilihan Oka yang menuliskannya dalam kalimat-kalimat pendek dan efektif. Hebatnya, saya tidak menemukan typo alias kesalahan ketik. Meski saya pembaca yang toleran dengan typo, tapi mendapati novel yang mulus seperti ini menyenangkan mata.   Penceritaan yang to the point dan menghadirkannya dalam bab-bab pendek, memudahkan saya memvisualisasikannya dalam benak (ini kebiasaan saya kalau baca novel). Karena jalinan alurnya tidak terlalu cepat, maka bab-bab pendek ini tak membuat saya kelelahan membaca. Ditambah, kalimat-kalimat mutiara yang motivatif bertebar di hampir seluruh bab. Membuat saya kadang harus diam sejenak, meresapi kalimat-kalimat itu, sebelum kemudian melanjutkan membaca. Dan, itu sukses membuat saya membaca ulang lalu menandai kalimat-kalimat itu.   "Berapapun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan, sambung bapaknya lembut, "karena ketakutan, anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian." (halaman 104)   "Tak ada pelaut tangguh yang dilahirkan oleh laut yang tenang." (halaman 140)   "...hadapi masalahmu satu per satu. Selesaikan satu demi satu. Menghabiskan sepiring nasi nggak mungkin dalam sekali telan kan?" (halaman 258)   Membaca novel ini membuat saya geregetan. Konflik yang dihadirkan berlapis terkadang bikin sebel. Seakan sudah selesai dan berekspektasi akan menikmati cerita yang manis-manis, eh muncul masalah lain dan itu bukan mengada-ada. Karena sebenarnya kalau mau cermat, potensi konfliknya sudah dihadirkan pada bagian-bagian sebelumnya.   Meskipun tampaknya pesan yang disampaikan serius, Oka menyampaikannya dengan ringan. Malahan ada bab yang full bikin saya terbahak, bab 45. Istilah-istilah marching band tak membuat saya pening. Glosarium di bagian belakang malah saya telusuri usai menyelesaikan membaca novelnya. Dengan menerka-nerka istilah-istilah tersebut sambil menyesuaikan dengan narasi atau deskripsi yang dituliskan, lebih menyenangkan bagi saya yang buta istilah marching band dan musik.   Berjuang memang akan selalu ada dalam tahapan hidup manusia. Bahkan untuk menaklukkan istilah-istilah dalam marching band tanpa menengok Glosarium. Hehehe. Sepahit apapun perjuangan, akan menerbitkan manis, cepat ataupun kelak. Yang terpenting, siapkan diri menjadi tangguh. Maka benar adanya bila Oka menuliskan ini dalam bukunya: "Perjuangan terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Buku ini adalah bagi semua yang memenangkannya."   Vincero! less
Reviews (see all)
Niki
Review soon.
Syre
insipratif
stargirl
760 - 2014
Write review
Review will shown on site after approval.
(Review will shown on site after approval)