Menulis, Membuat Hidupmu Lebih Hidup

REUTERS/Lucky Nicholson

Tanpa orang-orang yang telah mengbadikanan kisahnya, kita tidak akan pernah tahu bagaimana kehidupan di bumi bekerja: dulu, sekarang, dan akan datang.

Secara sadar sepenuhnya, kita berhutang besar pada penulis yang menghabiskan separuh hidupnya menulis, menelaah, menyigi, dan menuangkan pikiran dan maupun pengalamannya lewat sebentuk karya. Buku yang akhirnya kita semua bisa baca. Manis ilmunya kita serap. Tanpa tulisan pula, kita tidak akan pernah tahu ada sebentuk kehidupan unik, secuil informasi, dan seonggok inspirasi yang datang dari kehidupan orang lain.

Buku ibarat puzzle tak bertepi tentang kehidupan anak manusia dan alamnya. Akan selesai ketika manusia juga musnah pada waktunya. Tiap orang akan mengisi kekosongan puzzle dengan keping karya masing-masing. Sebuah karya tulisan atau buku menjadi dorongan bagi orang lain untuk menuliskan (menyempurnakan) bagian lain. Tulisan adalah manfaat-seratus-tahun yang bisa kita bagi ke orang lain.

***

Kelas menulis baru saja usai. Sore hingga malam pukul sembilan, beberapa hasil tugas menulis sosok dibahas intens. Cukup banyak pelajaran hari itu yang kami peroleh. Setiap kesalahan, entah itu tata cara penulisan maupun detail-detail yang kurang, selalu jadi pelajaran baru.

Meski lelah, kami tidak rela dan bakal merasa rugi melewatkan ”kelas” selanjutnya. Tanpa berpindah tempat sama sekali, kami memalingkan wajah di sisi kanan. Tempat sosok lelaki berkaos abu-abu tanpa kerah itu duduk. Bola matanya tampak cukup besar di balik kacamata. Lelaki ini cukup istimewa karena beberapa teman Kelas Menulis Kepo menyukai karya-karyanya. Beliau asli dari Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Meski begitu, ia sudah lama menetap di kota sejuk, Bogor.

Pertama kali saya bertemu langsung sosoknya yaitu dua tahun silam. Saat itu Senandung Kopi Kahayya, agenda pegelaran panen kopi masyarakat Dusun Kahayya, di lereng gunung  Bawakaraeng. Acara dihelat malam hari, di puncak sebuah bukit yang dinginnya menusuk tulang. Waktu itu ia diminta ‘mendinginkan’ terpaan kuat angin gunung lewat sejumlah sajak rindunya yang hangat. Dia adalah Khrisna Pabichara.

Meski tampak bugar seperti biasa, ia mengaku kurang sehat. Masih beradaptasi dengan panasnya mentari di langit kelembapan malam hari di Makassar. Nafasnya seperti tertahan. Kemungkinan ia refleks menahan gerak hidung dan tenggorokan yang gatal agar tidak mendengus. Sehingga suara dahak dan batuk tidak keluar mencolok.

Sebagai informasi, kedatangannya selama sepuluh hari di Makassar untuk membuat sebuah karya (lagi). “sebenarnya bukan sepuluh hari, lebih sedikit dari itu, cuma tiga hari.”

Pengakuan kak Khrisna, karyanya benar-benar ia rampungkan -128 halaman- hanya dalam tiga hari. Tujuh hari selebihnya kegiatan jalan-jalan, observasi, penggalian bahan cerita, macam-macam. Mendengar pernyataannya, rasanya seperti déjà vu. Saat sekolah menengah, di sampul belakang LKS, ada pesan penting. Dari seorang George Washington: “jika saya punya waktu 9 jam untuk menebang pohon, maka 7 jam pertama saya gunakan pertama untuk mengasah parang.”

Bagi seorang Khrisna, tulisan merupakan eksekusi pasti dari pergulatan pemikiran atas kehidupan yang dititipkan Tuhan pada dirinya. “makanya, menulis itu harus jadi pekerjaan yang utama, bukan sampingan.”

“Dulu, aktivitas saya menulis dari malam hingga pukul 7 atau 8 pagi. Tapi, setelah memasuki umur sekian (paruh baya), saya merasa kebiasaan ini harus diubah. Setelah itu, pola menulis saya hanya hingga (pukul) 2 atau 3 malam. Setelah itu harus istirahat”

Ia menjelaskan, tulisan butuh kesegaran, dalam arti bacaan kita harus segar untuk pembaca. Nah, bagaimana mau segar kalau ditulis pada tengah malam buta hingga dini hari? Tipsnya, ia mulai belajar mengelola waktu dan menjaga tulisan-tulisanya dihasilkan dari waktu yang segar: pagi hari.

Dalam kondisi ekstase, menurut pengakuannya, dia bisa mengetik 50 kata dalam 1 menit. Duh, kami tidak sempat bertanya, dorongan apa yang bisa menyebabkan dirinya ter-ekstase begitu hebat?

Kemampuan menggarap fiksi dengan baik merupakan hasil berlatih yang tidak sebentar. Beberapa orang yang terdekat dengannya, sambil melirik Om Lelaki Bugis, pernah ia tuliskan satu persatu sebagai latihan mengarang tokoh-tokoh fiksi. Relasi pertemanan yang erat itu membantu Khrisna dalam membangun penokohan dalam karya novelnya.

“dalam proses pencarian bentuk tulisan, boleh-boleh saja kita meniru. Gunakan ATM (amati, tiru, dan modifikasi).” Kelancaran menulis bukan hanya diperoleh dengan berlatih. Tapi karena si penulis menguasai bahan tulisan yang akan digarap. “tulislah dari sudut yang kamu kuasai.” Dirinya mengakui jika gaya tulisannya mula-mula sangat dipengaruhi sejumlah sastarawan ternama, termasuk Seno Gumira Ajidarma. Lama kemudian barulah ia menemukan sendiri gaya menulisnya.

Tambahnya, “gaya itu ditemukan tidaknya hanya lewat membaca tapi juga harus menulis.” Membaca banyak karya-karya pengarang yang dikagumi tidak lantas membuat kualitas karya kita sama persis dengan yang kita tuliskan. Harus dengan menulis, menulis, dan menulis.

Bagaimana Memulai Menulis?

Tulislah Sebanyak-banyaknya
“jika baru mulai belajar menulis, kejar kuantitas saja dahulu. Menulis adalah pekerjaan yang sangat bisa diikhtiarkan. Karena Anda tidak akan pernah belajar jika tidak pernah melakukan kesalahan apapun” Sangat mungkin seorang menjadi terampil dengan menulis. Khrisna sudah membuktikan itu di tahun-tahun sebelum kami semua bertemu di kelas ini. Salah satu kuncinya, keras dan disiplin terhadap diri sendiri.

Khrisna menyarankan agar kami menulis sebanyak-banyaknya tanpa beban. Terkhusus bagi kami yang menggunakan media blog dalam menulis, ia menyarankan sebaiknya tidak mengunggah semua karya ke media sosial. Sebagian yang kita anggap pantas untuk dibaca orang, itulah yang kita pamerkan pada publik.

Tulislah Karena Rasa
Banyak yang menulis, kata Khrisna, bukan karena cinta dan rasa yang ia miliki. Tulisan mereka tinggal kata-kata kering yang tidak hidup. Jiwa tulisan yang ia tinggalkan tidak mencerminkan apa-apa, bahkan kepribadian si penulis. Padahal,“apa yang ditulis dari hati, akan lesap juga ke dalam hati (para pembaca)” begitu katanya. Karya yang ditulis karena rasa ini, akan bertahan, jauh bahkan hingga setelah akhir hidup penulis.

Tulislah dengan Kreatif
Salah satu tipsnya adalah dengan rajin membuka kamus. Kamus menyediakan bahan mentah dari tulisan: kata. Termasuk sinonim (persamaan kata) agar penulis tidak mengulangi kata yang sama dengan arti yang berbeda. Maka, rajin-rajinlah buka kamus. Tidak semua hal yang kita maksudkan dapat terwakili oleh kata-kata yang itu-itu saja. Eksperimen dengan bahasa itu sesuatu yang mengasyikkan dan berpotensi memajukan penggunakan bahasa Indonesia, begitu yang pernah saya baca.

“(untuk) tiruan bunyi saja, tersedia 800 kata. Kata yang digunakan sebagai bunyi daun kering beda dengan bunyi daun basah yang jatuh ke lantai” Khrisna menyarankan agar kami mencoba-coba menggunakan dan membiasakan kembali kata-kata lama.

Daripada menggunakan manyun untuk membahasakan gerak bibir yang maju, mengapa tidak memakai “bibir Anita menggelepay” misalnya. Kesannya lebih enak diucapkan. Tidak susah. Dan lebih penting lagi, sangat terasa kebaruannya.

Mengapa Harus Menulis?

Kata pepatah, “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan namanya.” Hidup seorang manusia itu hitung mundur, bukan hitung maju. Setiap manusia punya batas usia berbeda-beda. Jika seorang anak manusia berkalang tanah tanpa menulis, atau kisahnya dituliskan, maka apa yang bisa dititipkan pada sejarah?

“Menulislah. Kalau benar-benar Anda tidak bisa menulis, lakukanlah hal yang bisa orang lain tuliskan.” pesan Khrisna mengutip perkataan salah seorang Presiden Amerika Serikat yang kesekian.

Kita bisa memilih satu, atau bahkan kedua pilihan itu. Tapi, ingat, tidak semua orang sangup (punya kesempatan) melakukan hal besar lalu namanya terekam dalam sejarah. Beruntungnya, pilihan menulis adalah pilihan yang sangat mudah.

Seorang cerdik cendekia Muslim, Imam Al Ghazali, pernah berujar, “kalau kalian bukan anak seorang raja atau ulama besar, maka menulislah.” Menulis, di jaman itu, bahkan di saat sekarang adalah arena pertukaran dan penyebaran ilmu pengetahuan. Olehnya, semua buku dan karya yang dihasilkan merupakan amal jariyah yang pahalanya mengalir terus pada penulis hingga hari kimat tiba.

Sekarang, jika Anda benar-benar sudah mulai menuliskan satu dua kata: rampungkan. Selesaikan, apa yang sudah kita mulai. Kata Daeng Ipul, semua bahan sudah kami sampaikan. Namun ada tiga hal yang tidak bisa diajarkan: ketekunan, keingintahuan, dan kedisiplinan.

Advertisements Ayo Berbagi:
Like this:Like Loading... Related