Rate this book

Excuse Moi (2011)

by Margareta Astaman(Favorite Author)
3.24 of 5 Votes: 3
languge
English
publisher
Kompas
review 1: Buku yang bikin mikir, kenapa manusia mengkotak2kan sesamanya, lewat suku, ras, agama. Mau gak mau jadi teringat ketika kuliah dulu, benar-benar terjun ke dunia nyata, ke wajah Indonesia yang sebenarnya, dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Aku, yang dari TK sampe SMA sekolah di sekolah Katolik, di lingkungan yang relatif "aman" dan homogen, tiba-tiba melihat yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Pembedaan tempat duduk untuk mahasiswa cowok dan cewek, tinggal di tempat ibu kos yang haji dan jadi satu-satunya di tempat kos yang Katolik, bahkan sampe gak berani bilang ke gereja kalo pergi tiap minggu pagi.Tapi ini tidak membuatku kembali ke pergaulan yang homogen, bergaul dengan yang seagama saja, tapi malah sengaja mencari yang berbeda. Karena berbeda itu menari... morek, tidak melihat yang itu-itu saja, tapi juga melihat sisi lain, memperkaya diriku. Untungnya aku dikaruniai teman-teman sekelas yang walaupun kebanyakan berbeda agama, tapi tetap kompak dan tidak membedakanku. Bahkan aku malah jadi dekat dengan ketiga sahabatku yang memeluk agama yang berbeda. Ketika ke rumahku, bertemu keluargaku, mereka tidak sungkan untuk sembahyang. Sebaliknya kami juga menghormati mereka. Ketika membaca tentang pacaran dengan beda agama, jadi teringat juga kalau pernah hampir kejadian begini. Untuk kita orang Indonesia, agama sangat penting, seperti pondasi hidup. Kayaknya kalo mau serius pacaran, mending dari awal gak nyari yang berbeda.Buku ini juga sangat menarik karena jadi tau sedikit gimana sebenarnya pandangan etnis ini tentang etnis di luar mereka, tapi juga tentang etnis mereka sendiri. Kebanyakan temanku dari dulu beretnis ini, ya yang dituliskan pengarang buku ini mungkin bisa sedikit mewakili mereka.
review 2: Janggal nggak sih liat buku ini? Judul Prancis ko cover-nya Tionghoa. Kenapa kenapa kenapa cobaa?Ini seri buku Margarita’s Chat, kelanjutan dari After Orchard (yang saya belum baca). Sementara After Orchard (yang katanya) mengupas kehidupan Margie–sapaan untuk sang penulis–saat kuliah di NTU Singapore, Excuse-moi adalah hasil perenungannya tentang kehidupan dirinya sebagai ras Tionghoa di Indonesia. Yang meski sudah berpuluh-ratus tahun beranak-pinak disini, tetap dianggap sebagai tamu. Di tanah yang telah dianggapnya rumah baginya, bahkan tumpah darahnya, ia malah dianggap asing. Karena dia mau mengupas tentang SARA (khususnya Ras, dan sedikit menyinggung hubungan antarumat beragama), maka ia izin terlebih dahulu, “Excuse-moi!!” Jadi jangan tersinggung atau marah saat baca buku ini, karena dia sudah bilang permisi .Gayanya yang ceplas-ceplos, apa adanya, tapi ngga provokatif, mampu membuat mata saya terbuka tentang keberadaan kaum Tionghoa di negeri ini. Mampu menjawab pertanyaan saya, saat-saat saya pertama di ITB yang memang banyak slanted-eyes nya: Kenapa saat baru kenal mereka suka balas senyum canggung saat saya sapa, begitu cepat akrab dengan sesamanya tapi canggung dengan yang lain. Katanya Margie di halaman 59, “Bagaimana caranya menjelaskan pada pihak yang tidak pernah merasakan, betapa validnya ketakutan untuk tidak diterima karena berbeda?” Belom kenal saja, sudah dianggap pelit lah, sok ekslusif lah.Lalu Margie juga menyuarakan pendapatnya saat ada pandangan umum kalo perekonomian Indonesia sudah dikuasai para Cina, ga bagi-bagi sama pribumi. Pernahkah terpikirkan, gimana ngga, bagi keturunan Tionghoa,khususnya di negara ini, untuk bermimpi saja didiskriminasi. Mimpi jadi presiden saja ga boleh, karena presiden RI harus orang Indonesia asli, dan berarti itu bukan Cina meskipun bagi mereka turun-temurun tinggal dan hidup di sini. Mau masuk jurusan jurnalistik aja dilarang sama dekan, ga akan laku katanya. Cina disini cuma boleh jadi pedagang dan profesi lain yang sudah dilabeli masyarakat: profesi para Cina.Margie disini menyuarakan hal yang selama ini hanya diketahui kaumnya saja: saat kami lahir di sini, nasionalis sudah telanjur meracuni, mengapa kami masih terdiskriminasikan disini? We are here to stay, can’t we act like a local? Gitu kira-kira yang saya tangkep.Sejujurnya memang saya ngga peka dengan urusan ini. Semasa SD bermain-main dengan anak cina,ups, tionghoa kompleks sebelah, bersekolah di SMP yang lokasinya merupakan wilayah Cici-Engkoh, jujur ngga ada isu-isu yang menjelek-jelekkan mereka. Hanya saja memang hati rasanya jauh saat berpapasan atau melihat mereka dari jauh. Rasanya beda dunia. Kenapa pun saat itu saya ga tahu. Tapi semenjak saya baca buku ini, rasanya saya jadi terbekali gimana kalau mau berinteraksi sama mereka (sekarang udah jarang liat lagi, hihi. Sejak saya pindah ke STAN kan ganti jadi komunitas kaum Jawa).Ini buku barang bagus loh, kalo ngga bagus Amoy Margie juga ga akan jual ini buku ). Very-recommended buat dibaca!!dan maaf kalo mungkin bahasa saya menyinggung untuk berpotensial disinggung, ga ada maksud dan kurang paham. Excuse-moi!! less
Reviews (see all)
nickeyt
Love it. Bahasanya simple dan mudah dimengerti, tapi isinya sangat mengena.
Nicolette
Membuka tabir dibalik stereotip tentang etnis China di Indonesia.
dilpickle
Masih lebih bagus karya sebelumnya: "After Orchard"
Write review
Review will shown on site after approval.
(Review will shown on site after approval)