Oleh karena buku yang belum direview semakin menumpuk, sepertinya saya perlu menurunkan gengsi sedikit dengan membuat review yang cepat, singkat, dan padat. Dalam mini reviews, sebisa mungkin akan saya kumpulkan buku dengan tema atau genre yang seragam.
Stone Fox by John Reynolds Gardiner (1980) Harpercollins, hardcover, 96 pagesBased on a Rocky Mountain legend, Stone Fox tells the story of Little Willy, who lives with his grandfather in Wyoming. When Grandfather falls ill, he is no longer able to work the farm, which is in danger of foreclosure. Little Willy is determined to win the National Dogsled Race—the prize money would save the farm and his grandfather. But he isn’t the only one who desperately wants to win. Willy and his brave dog Searchlight must face off against experienced racers, including a Native American man named Stone Fox, who has never lost a race. (source)
Kisah tentang seorang bocah sepuluh tahun yang harus berjuang sendiri saat kakeknya terbaring tak berdaya karena putus asa. Little Willy yang tak memiliki siapapun kecuali kakek dan Searchlight, anjingnya, berusaha menembus apa yang orang lain bilang tidak mungkin.
Awalnya saya kurang suka dengan buku ini karena karakter-karakter sampingannya kurang simpatik terhadap Willy, bahkan bisa saya katakan tak punya hati nurani, seluruhnya. Sepanjang cerita pun saya merasa bisa menebak akhirnya, mudah. Namun, saya salah. Buku ini berakhir dengan kejutan yang membuat saya tak tahu harus merasa bagaimana dengan keseluruhan isi buku ini. Yang jelas, akhirnya cukup menyentak, yang tak hanya mengubah suasana kisah menjadi sangat tragis, tetapi mungkin akan mengubah sikap semua orang yang tadinya tak simpatik itu.
In the Dinosaur’s Paw (The Kids of the Polk Street School #5) by Patricia Reilly Giff (1985) (Illustrated by Blanche Sims) Yearling, January 1985, paperback, 72 pagesRichard Best membutuhkan penggaris di hari pertama sekolah usai libur Natal, untuk pelajaran tentang dinosaurus, tapi dia lupa di mana menyimpannya. Untungnya di sekolah dia menemukan penggaris di mejanya, yang menurut Matthew—kawannya—adalah penggaris milik dinosaurus karena inisial di atasnya. Setelah menemukan penggaris itu, Richard merasa segala keinginannya terkabul. Lambat laun perasaan gembira itu tergantikan oleh gelisah dan rasa bersalah karena dia merasa bertanggung jawab atas masalah yang dialami orang lain. Sayangnya saat dia berusaha memperbaikinya, penggaris itu hilang.
Karakter anak-anak dalam buku ini benar-benar amat sangat polos sekali, sesuai dengan usia mereka. Kenaifan dan keluguan bocah ini membuat beberapa hal dalam kisah terasa manis. Bahkan terhadap ‘musuh’ mereka bisa menjadi sangat pemaaf jika dihadapkan pada suatu masalah yang lebih besar, ketulusan hati yang pada dasarnya kita semua miliki jauh di dalam hati. Mungkin masalah-masalah anak terlihat sepele bagi kita orang dewasa, tapi seberapa jauh anak memikirkan masalah itu bisa jadi membuat kita malu karena mempermasalahkan hal yang seharusnya tidak perlu jadi masalah.
Sebenarnya buku ini lebih kepada kisah sehari-hari yang dibumbui dengan kisah ‘penggaris dinosaurus’ itu. Mungkin ada perkembangan karakter yang hendak digambarkan untuk keseluruhan serial besarnya. Jadi sepertinya membaca sesuai urutannya akan memberi pengalaman yang berbeda.
Sable by Karen Hesse (1994) (Illustrated by Marcia Sewall) First Scholastic printing, September 2005, paperback, 85 pagesIbu Tate tidak suka anjing, tetapi suatu hari seekor anjing muncul dalam kondisi menyedihkan, dan Tate langsung jatuh hati pada hewan malang itu. Kecintaan Tate bukan sekadar keinginan sesaat, dia benar-benar menyayangi anjing itu, yang dinamakannya Sable. Dia membuatkan tempat tinggal, memastikannya makan cukup, dan melatihnya untuk mandiri. Sayangnya, Sable punya kebiasaan buruk yang sulit diubah.
Beberapa kali Tate melatihnya, tetapi kebiasaan buruk itu memicu semakin banyak masalah hingga Sable terpaksa harus dikeluarkan dari rumah. Di sinilah menurut saya bagian terbaik dari buku ini, Tate sungguh-sungguh melakukan sesuatu agar Sable dapat kembali ke rumahnya, dan yang dilakukannya sungguh menyentuh, terlebih untuk anak seusianya.
Seringkali persahabatan dengan hewan menjadi sesuatu yang lebih mengena untuk diceritakan. Apalagi anjing yang terkenal sebagai hewan yang setia, dan saya selalu melihat persahabatan semacam ini justru melebihi ketulusan persahabatan antar manusia. Jika saya sedang usil sedikit dan mengandaikan Sable adalah manusia, kisah dalam buku ini rasanya akan punya banyak perumpamaan yang cukup mendekati sifat manusia (dewasa) juga. Namun biarlah keusilan itu saya simpan sendiri.
Kisah yang indah dalam kesederhanaan buku anak. Sesuatu yang besar bisa jadi muncul dari hal kecil yang tak pernah kita sangka sebelumnya.
Indigo (Water Tales #2) by Alice Hoffman (2002) First Scholastic printing, January 2003, paperback, 86 pagesA real friend believes in you when you don’t believe in yourself, (p.11)
Tiga sahabat; Martha Glimmer, Trevor dan Eli McGill merasa Oak Grove bukan tempat mereka seharusnya berada. Martha punya mimpi untuk berada di kota-kota besar dan mengembangkan karir sebagai penari, sedangkan McGill bersaudara merindukan laut yang tak pernah mereka jumpai sejak hidup di Oak Grove yang tinggi dan kering.
You could easily tell who was who by whether or not they listened to you. (p.14)
Sometimes words spoken are the ones you’ve been afraid to think, but once they’re said aloud there’s no way to make them disappear. (p.27)
Oak Grove sendiri punya sejarah yang suram berhubungan dengan air. Banjir besar membuat mereka membuat dinding yang melindungi kota itu dari air. Namun saat ketiga sahabat itu memutuskan untuk pergi menggapai mimpi, mereka menemukan bahwa mimpi itu bisa diwujudkan dengan cara yang lebih baik. Penemuan yang dibayar dengan sebuah peristiwa traumatis bagi penduduk kota kering itu.
They were both thinking of people who’d disappeared and were never found again, and of how it was to leave behind the people you loved, even if the life you wanted wasn’t the one they could give you. (p.33)
Kisah persahabatan dan keluarga dalam sebuah buku tipis, dalam balutan magical realism dengan, mungkin, sedikit fantasi. Beberapa halaman buku ini dihiasi oleh semacam foto, alih-alih ilustrasi seperti umumnya buku anak. Saya menikmati kalimat-kalimat di buku ini, walaupun beberapa hal mudah ditebak. Hal tentang takdir dan mimpi itu lumayan terlalu instan menurut saya, tetapi, ya, kadang hidup memang seperti itu.
Lulu Walks the Dog (Lulu #2) by Judith Viorst (2012) (Illustrated by Lane Smith) Atheneum Books for Young Readers (imprint of Simon & Schuster Children’s Publishing Division), First paperback edition, March 2014, 170 pagesLulu is back with a brand-new refrain, and it’s time to earn some cash. How else can she buy the very special thing that she is ALWAYS and FOREVER going to want?
After some (maybe) failed attempts, Lulu decides on the perfect profitable job: dog walking. But Brutus, Pookie, and Cordelia are not interested in behaving, and the maddeningly helpful neighborhood goody-goody, Fleischman, has Lulu wanting to stomp his sneakers—and worse.
How will Lulu deal with three infuriating dogs and the even more infuriating Fleischman? And what is this SUPERSPECIAL thing that Lulu is so fiercely determined to buy? I really don’t feel like discussing that right now.
Once again, picture book legends Judith Viorst and Lane Smith bring us the loudest, rudest girl to ever shove her way into our hearts.
(synopsis from back cover)
Saya tidak bisa merasa simpatik ataupun suka pada karakter-karakter di dalamnya, entah Lulu yang keras kepala dan arogan—terlepas dari usianya yang sangat muda, maupun Fleischman yang suka menolong, pun orang dewasa di sekitarnya tak mengambil porsi lebih baik pada kisah anak ini. Saya juga kurang menikmati narasinya, terlebih saat penulis mengambil alih beberapa bagian dan memasukkan suaranya sendiri di sini.
Hal terbaik dari buku ini adalah ilustrasinya. Saya suka sekali sapuan tinta sang ilustrator yang cantik, tak terlalu banyak detail tapi sangat ekspresif. Pun bentuk-bentuk geometrisnya tak menghilangkan keluwesan yang tercermin dalam gambar-gambarnya. Porsi gambarnya cukup banyak memenuhi keseluruhan isi buku, yang cukup menghibur di antara kisahnya yang berbalut humor ala penulis.
Advertisements Rate this:Share this: