Rate this book

Tomodachi (2014)

by Winna Efendi(Favorite Author)
3.83 of 5 Votes: 33
ISBN
9797807320 (ISBN13: 9789797807320)
languge
English
genre
publisher
Gagas Media
series
SCHOOL
review 1: Tomodachi: Novel yang Memaksakan Diri untuk TampilKejepang-jepanganJudul Buku : TomodachiGenre : TeenlitPenulis : Winna EfendiPenerbit : GagasmediaTahun : 2014Riview :Tomodachi merupakan salah satu novel yang tergabung dalam suatu proyek—yang diprakarsai oleh Gagasmedia, bernama S.C.H.O.O.L, yang merupakan akronim dari Seven Complicated Hours of Our Lives (yang, kalau saya tebak, kemungkinan besar proyek ini bercerita tentang saat-saat paling rumit yang dialami oleh seseorang saat di bangku sekolah, kalau tertarik, barangkali bisa coba googling sendiri); dan Tomodachi-lah buku pertama dari poyek S.C.H.O.O.L yang saya baca. Baiklah, sekarang, mari kita membicarakan Tomodachi.Tomodachi adalah sebuah novel yang mencoba mengangkat Jepang sebagai ‘cita rasa’ dan settin... moreg utama di dalamnya—lengkap dengan para pemeran dan budaya ‘Jepang’, seperti yang telah diintrepretasikan oleh cover yang dimilikinya: rerantingan sakura, omamori—jimat, kata ‘Tomodachi’—tentu saja, dan aksara Jepang. Tomodachi adalah sebuah novel yang bercerita tentang persahabatan, mimpi, dan percintaan lima remaja yang baru saja memasuki sebuah sekolah (menengah) bernama Katakura Gakuen. Dan di dalam Tomodachi, kita akan menemukan sejumlah anomali—yang.. tidak menyenangkan, mengingat penulisnya adalah seorang penulis berpengalaman dalam fiksi bergenre teenlit, yang telah menghasilkan banyak karya.Sebelum membahas sejumlah anomali di dalamnya, seperti biasa, kita akan membicarakan hal-hal paling sederhana, hal-hal paling ‘kelihatan’ di dalam novel Tomodachi. Pertama, cover. Untuk penerbit sekelas Gagasmedia, saya merasa kalau Tomodachi memiliki cover yang sangat biasa, dan sampul belakang yang tak kalah biasa. Kalau membandingkan Tomodachi dengan cover-cover pendahulunya di Gagasmedia, saya tak habis pikir, kenapa penerbit (dan penulisnya) memilih cover se-‘sederhana’ itu—walau, tentu saja, ciri khas Gagasmedia masih kental di dalamnya. Tapi. Sorry to say, saya berkesimpulan, ‘orangtua’ Tomodachi abai dalam pemilihan cover. Kedua, kesalahan ketik. Kabar baiknya, saya hanya menemukan—setidaknya untuk saat ini, tentu saja—dua-tiga salah ketik, yang, untungnya, tidak memberi gangguan yang berarti. Salah ketik pertama ada di halaman 27, di paragraf terakhir. Begini ditulis di sana: ‘Di sekeliling kami, pada murid laki-laki yang lulus melepaskan jahitan kancing kedua mereka, lalu memberikan..’ See? Kata ‘pada’ setelah koma (,) seharusnya adalah ‘para’. Dua salah ketik lainnya saya lupa ada di halaman berapa, karena saya kadung jenuh dan bosan saat membaca sisa 2/3 dari Tomodachi. Ketiga, saya mengapresiasi akan adanya semacam halaman sisipan yang mencoba mengajak pembaca dengan tujuan: 1) (kalau saya tidak salah tebak) bernostalgia dengan masa-masa sekolahnya bagi para pembaca yang sudah tidak lagi bersekolah—sebab, nostalgia akan masa-masa sekolah (seperti kegiatan ekstrakulikuler, hal-hal lucu dan sedih dsb) selalu mampu membuat siapa pun menjadi sentimentil (dan saya pikir, itulah tujuan utama yang diinginkan oleh Winna Efendi di dalam Tomodachii); dan 2) menarik antusiasme pembaca remaja yang masih bersekolah—khususnya SMA. Dan—ya, games school di bagian terakhir juga jadi hiburan tersendiri setelah rasa lelah sehabis menamatkan novel Tomodachi. Jangan lupakan fakta kalau kunci jawaban dari games school di seri Tomodachi akan ada di seri S.C.H.O.O.L—dan saya harus akui, Gagasmedia selalu punya ide segar untuk pemasaran karya-karya mereka. Jadi, setelah membahas hal-hal tampak luarnya, mari kita bahas Tomodachi lebih mendalam.Seperti yang telah disebutkan di awal, Tomodachi adalah sebuah novel yang memiliki ‘cita rasa’ dan setting utama bernama: Jepang; dan.. sejumlah anomali, jangan lupa. Anomali pertama: penggunaan bahasa Jepang dalam narasi-deskripsi dan dialog. Awalnya, saya pikir, Yamaguchi Tomomi, tokoh utama (FYI, Tomodachi menggunakan sudut pandang orang pertama (yang berarti: menggunakan kata ‘aku’) sebagai ‘kamera’) dalam novel ini adalah orang Indonesia, sehingga, di beberapa bagian, mengharuskan Winna Efendi menyelipkan istilah dalam bahasa Jepang, namun anehnya, menjelaskan sendiri istilah tersebut di dalam narasinya sebagai tokoh utama. (Hal ini tentu akan berbeda kalau saja: 1) penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga; atau 2) penjelasan diletakkan pada bagian catatan kaki). Maksud saya seperti ini, logis, gak, sih, kalau seseorang sedang memikirkan sebuah istilah/sesuatu, lalu dia menjelaskan istilah/sesuatu tersebut di dalam pikirannya? Mari kita ambil contohnya. Satu. ‘Setiap pelosok negeri merayakan Festival Tanabata dengan megah. Hiasan kertas berupa fukinagashi yang menyerupai helaian benang tenun, juga bola-bola kertas warna-warni menggantung dari tiang-tiang bambu yang didirikan di sepanjang jalan besar.’ (Halaman 130) Apa yang saya maksud dengan menggangu adalah penggunaan kata ‘fukinagashi’ yang kemudian dijelaskan bahwa fukinagashi adalah helaian benang tenun.Dua. ‘Somen adalah sejenis mie dingin yang menyerupai jalinan benang—mempresentasikan tenunan benang Dewi Orihime. (Halaman 136) Kali ini yang saya maksud adalah somen beserta penjelasannya yang membuat Tomodachi novel merangkap ensiklopedia. Dan masih ada beberapa contoh lainnya, yang dinarasikan serupa ensiklopedia. Saya mengerti apa yang dilakukan oleh Winna Efendi adalah sebuah upaya untuk menjadikan Tomodachi, selain sebagai novel yang menawarkan ‘kisah’ di dalamnya, pun menjadi semacam ‘penambah wawasan’ akan Jepang dan hal-hal menarik di dalamnya (ingat, cita rasa novel ini, kan). Saya tidak akan begitu mempermasalahkan, kalau penulis novel ini adalah penulis pemula—yang ikut-ikutan menulis novel dengan tema lokalitas dari negara lain, hanya karena novel bercita rasa dan setting negara luar negeri sedang diminati oleh pasar. Tapi. Karena penulisnya adalah seorang Winna Efendi, yang sebelum Tomodachi pun sudah pernah menulis novel dengan cita rasa Jepang dalam novel ‘Ai’-nya, saya masih tidak habis pikir, kenapa Winna Efendi menyisipkan penjelasan layaknya seperti sedang copy-paste dari Google. Selesai menamatkan buku ini, saya berpikir, bahwa seharusnya Winna Efendi mampu menyisipkan penjelasan dengan lebih mulus. Jauh.Anomali berikutnya, adalah penggunaan bahasa Jepang di dalam dialog, yang lantas diselingi pula dengan penggunaan bahasa Indonesia. Saya duga, untuk pembaca awam, hal ini sama sekali tidak menganggu, malah bisa menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Jepang. Tapi. Saya cukup yakin, untuk pembaca awas, hal ini cukup menganggu. Mengganggu yang saya maksud adalah, mari kita bayangkan sebuah film dengan Jepang sebagai latar belakangnya. Dari hal ini, sudah tentu kita bisa menebak, kalau bahasa yang digunakan di dalamnya adalah bahasa Jepang. Namun, di tengah-tengah cerita, tiba-tiba saja, para tokoh yang seharusnya berbahasa Jepang itu malah berbahasa Indonesia dengan lancar, malah, setelah berbahasa Indonesia, mereka akan menjelaskan apa yang mereka katakan dalam bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Tidak cukup aneh? Baiklah, mari kita ambil contoh, agar lebih mudah memahaminya.Satu. ‘”Jangan takut, kau akan baik-baik saja. Kami ada di sini. Sore wa daijobudeshou.” Chiyo terus-menerus mengucapkannya dengan lembut, hingga tangi Tabitha mereda.’ (Halaman 87). See? Padahal, tanpa ada penggunaan frasa Sore wa daijobudeshou, kalimatnya sudah dapat dinikmati. Namun, begitu frasa Sore wa daijobudeshou diucapkan, saya langsung bertanya-tanya, kenapa Chiyo harus menggunakan bahasa Jepang? Lantas, sebelum-sebelumnya dia bicara menggunakan bahasa apa? Dua. ‘Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Watasjitachiha tomodachidakara. Tomodachi wa otagai ni tasukeau.” Karena kita teman, dan teman membantu satu sama lain.’ (Halaman 88). Nah, lihat yang saya maksud? Apa pentingnya tokoh ‘aku’ harus berkata dalam bahasa Jepang, kalau sejak awal dialog, hampir 95% menggunakan bahasa Indonesia (yang kita anggap adalah bahasa Jepang yang telah diartikan). Bukannya lebih bagus, kalau ketika berkata secara langsung, tokoh ‘aku’ menggunakan bahasa Indonesia, lalu di dalam narasi (yang jelas-jelas di dalam pikirannya) menggunakan bahasa Jepang, agar tidak tercipta anomali. Dan.. lagi-lagi, masih ada banyak contoh lain yang sejenis.Anomali lain yang turut memperlemah bangunan dari Tomodachi adalah begitu banyaknya hal-hal yang terjadi—yang justru hal penting—dengan begitu tiba-tiba. Fakta kalau ternyata Tomoki memiliki ibu angkat, yang—kalau dibaca baik-baik pada bagian ketika Tomoki mengajak Tomomi makan malam bersama dengan keluarganya—anehnya, Winna Efendi, sama sekali tidak memberi clue atau semacam aba-aba kalau ternyata Tomoki memiliki ibu angkat. Hanya karena Tomomi akan memiliki ayah angkat, tiba-tiba saja, agar Tomoki bisa memiliki perasaan yang sama seperti yang dirasakan oleh Tomomi, penulis memunculkan fakta itu begitu saja. Padahal, kalau, mari berandai-andai, penulis menyisipkan hal-hal kecil yang menunjukkan indikasi bahwa ibu Tomoki yang muncul di bab makan malam bersama itu adalah seorang ibu angkat, twist yang terasa pasti akan lebih ‘wah’, alih-alih hanya menimbulkan ekspresi: ‘oh, gitu. Udah, gitu aja?’ dengan nada datar. Pun, fakta bahwa Ryuu ternyata menyukai Tomomi, yang dengan mudahnya ditunjukkan oleh penulis dalam satu bab pendek, tanpa tedeng aling-aling di bab-bab sebelumnya. Kadang, memikirkan hal-hal tiba-tiba yang dimunculkan oleh Winna Efendi, saya membayangkan dia seperti sedang kehabisan ide, lalu, agar kisah Tomodachi memiliki twist-twist yang ‘busetttt-melting-habis-gan’, dia menciptakan hal-hal itu sambil tertawa, lalu minum secangkir teh manis. Entahlah, tapi, di 1/3 pembacaan Tomodachi saya ragu, kalau-kalau penulis novel ini adalah Winna Efendi. Saya membayangkan lagi, ada seseorang yang menulis novel Tomodachi, lalu dengan tujuan agar novel tersebut laris, Gagasmedia meminta menggunakan nama ‘Winna Efendi’.Sebagai penggemar novel ‘Refrain’, sekaligus novel pertama dari Winna Efendi yang saya baca, saya tidak bisa mengatakan puas setelah menamatkan Tomodachi. Apalagi, saya cukup gemas dengan upaya penulis, menggunakan hal-hal, perayaan-perayaan yang sudah umum, yang bisa ditemukan di Google, tentang Jepang, untuk meyakinkan pembacanya bahwa novel yang sedang dia tulis benar-benar bercitarasa dan setting utama Jepang, sementara nuansa di dalam novel itu sendiri sangat jauh dari Jepang—sebagaimana ketika saya membaca novel yang memang ditulis oleh penulis berkebangsaan Jepang itu sendiri.Sebagai penutup, saya hanya bisa mengucapakan: Sayonara~, Selamat Tinggal~
review 2: Selalu bingung dengan buku Winna suka kebalik balik ceritanya sama judulnya. Yang judulnya Refrain tp sy ingetnya Rmember When, Yang judulnya RemWhen saya ingetnya Tomodachi atau Ai. Showing that all Winas books are quite similar in terms of theme, well not mentioning u are not allowed to write same formulaic theme, yet it'll be such more engaging if every book theme has particular subplots that can differ one to another. Unfortunately, I found that Wina comforts herself in the friendzone circles as causing the one and only conflict she managed to achieve is ; cinta segitiga sahabat, or segi empat, or whatever segi segian whose premise is just guessable ... hm, oke, cinta sahabat, tp ga berani cerita darpada persahabatannya rusak. And then finally they found out, and voila: CONFLICT. Yeap that's cliche huh? Nonetheless, I always fail to distinguish the story of the books. satu lag, kadang judulnya yg nginggris jadi suka gatel karna ngerasa ga cocok ma kontennya.. well not that i doubt your english, however,I feel annoyed with English titles whereas we live in Indonesian speaking country. INDEED. Try figure out how many books are well filmed and most of them are instead based Indonesian titled books...Just a piece of thought though....hm again... jadi tomodachi it tentang apa ya...takut kebalik ama buku yg lain hehehe less
Reviews (see all)
Ariel
haven't read it yet but i hope this book still as well as another winna's books before!
suri
Buku yang ditulis Winna Efendi selalu bagus, meskipun dengan tema yang serupa :)
elizabeth
mengingatkan ttg jaman2 SMA yg demen bgt ng-ekskul biar ktemu gebetan..
Tootsie
Love Tomomi and Tomoki kun --__--
oszie14
Sore wa daijobudesu :)
Write review
Review will shown on site after approval.
(Review will shown on site after approval)