Satu hari, putra seorang konglomerat mengunjungi pusat perbelanjaan milik ayahnya. Saat hendak memarkirkan mobil mewahnya, dia sungguh terkejut mendengar suara benturan yang keras. Ternyata pintu mobilnya baru saja dilempar sebongkah batu. Dan menyebabkan retakan di permukaan kaca pintu tersebut.
Saat keluar dari mobilnya, dia mendapati seorang anak kecil. Gemetar, dan wajahnya kecut. “Pasti anak ini pelakunya,” pikirnya dengan geram.
“Hei!!! Kenapa kamu melempar mobil ini!!!? Memangnya kamu ada uang untuk menggantinya?” ucapnya dengan suara keras. Yang membuat si bocah semakin ketakutan.
“Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar tak ada uang untuk mengganti kaca mobil bapak,” katanya sesenggukan menahan tangis, dengan air muka penyesalan.
“Lalu, mengapa kamu melempar kaca mobilku!?” kata si anak muda. “Harga mobil sangat mahal tahu! Kamu punya uang untuk menggantinya!?”
“Tidak, Pak. Saya sudah berteriak minta tolong dari tadi, Pak. Tapi nggak ada yang peduli,” kata anak itu, coba menjelaskan. “Kakak saya terjatuh dari kursi roda, ketika kami jalan sore bersama. Saya tak kuat untuk memapahnya duduk kembali.”
Amarah pemuda itu sontak menguap. “Tolong bantu saya, Pak. Kakakku dari tadi menahan sakit,” ujaran anak itu makin meluluhkan hatinya. Pandangannya kemudian tertumbuk pada saudara anak tersebut. Sedang meringkuk di trotoar depan swalayan besar tersebut.
Kemudian, mereka berdua memapahnya duduk di kursi roda. Dengan sapu tangan dan beberapa obat P3K di mobilnya, dia membasuh luka lecet di tangan dan kaki kakak si bocah.
“Terima kasih banyak ya, Pak. Saya sangat berterima kasih karena Bapak sudah menolong kakak saya,” ucap anak tersebut. Pemuda tersebut melihat genangan air mata bocah itu.
Saat kembali ke mobil, pemuda itu menghela nafas berat. Sebuah kejadian yang mengusik hatinya. Betapa kerdil nilai kekayaan duniawi, jika diukur pengorbanan kasih. Anak itu memilih untuk mengorbankan dirinya. Dihujat teriakan kasarnya tadi. Demi apa? Hanya agar ada yang menyisihkan perhatian untuk membantuk kakaknya yang terguling dari kursi roda.
Dia melirik retakan kaca tersebut. “Aku tak akan mengganti ini dengan yang baru,” ucapan dalam batinnya. Sebuah pengingat dalam lembaran baru hidupnya.
(Eva Susanti Barus)
Advertisements Share this: