Brief Review: Why Nations Fail

Gue sedang menghabiskan sisa kopi gue tadi siang, 15 menit lagi gue akan pulang Sebentar lagi sudah akhir pekan, cepat sekali rasanya. Sudah lama juga tidak menulis, semoga setelah ini bisa agak lebih konsisten lagi menulis disini. Rencananya kedepannya gue akan mencoba meresume buku-buku yang gue baca, sebagai reminder gue secara personal aja, karena biasanya setelah baca buku kalau tidak ditulis, sebagian besar isinya seolah ‘poff’ menguap begitu saja. ( Jakarta, Sep 28th 2017 – 6.44 pm)

 

Well, minggu lalu gue (nyaris) berhasil menghabiskan buku yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A Robinson. Gue menemukan buku ini ketika lagi web surfing di Gates Notes, judulnya menarik, Why Nations Fail. Belakangan gue memang tertarik dengan topik ini, bagaimana suatu negara bertransformasi hingga nantinya ada yang menjadi negara kaya ataupun negara miskin.

 

Why Nations Fail : The Origins of Power, Prosperity and Poverty

 

Buku ini ditulis oleh duo professor dari MIT dan University of Chicago, mereka menyampaikan idenya dengan apik dan runut. Banyak sekali cerita sejarah disini, mulai dari kemajuan Mayans, Incas, sejarah kemahsyuran Venesia, revolusi industri di Inggris, lalu tentang dua negara di semenanjung Korea, Uni Soviet, Amerika termasuk Indonesia pada masa kolonial. Disini terlihat betul bahwa kedua professor ini melakukan studi yang cukup mendalam buat menulis buku ini. Mereka juga coba mencounter hipotesis-hipotesis terdahulu yang berkaitan dengan world inequality. Nantinya semuanya berujung pada suatu konklusi yang bahwa yang mnejadi penyebab world inequality berkenaan dengan sistem institusi yang dianut oleh masing-masing negara.

 

Mereka mengawali buku ini dengan kisah suatu kota yang terbagi, Kota Nogales. Kota ini dipisahkan oleh suatu pagar, menjadi sisi utara dan sisi selatan.  Sisi utara kota ini masuk ke wilayah Arizona, Amerika dan sisi selatannya masuk ke wilayah Sonora, Meksiko, yep mereka berada tepat di perbatasan. Kota yang hanya dipisahkan oleh pagar pembatas ini memilki perekonomian yang sangat berbeda. Dalam bukunya, Acemoglu mendeskripsikan ketimpangan ekonomi tersebut terjadi di banyak sisi dari segi pendapatan, pendidikan dan juga kesehatan. So close, yet so different.. mereka begitu dekat, tapi sangat jauh berbeda.

 

Selanjutnya dari studinya ini Daron dan James mencoba untuk mencounter beberapa hipotesis populer yang berkaitan dengan world inequality.

 

The Geography Hypothesis. Teori pertama yang coba mereka counter adalah The Geography Hypothesis, salah satu teori yang paling banyak diterima. Teori ini mengklaim bahwa perbedaan antara negara miskin dan kaya diakibatkan oleh adanya perbedaan geografis. Salah satu idenya adalah letak geografis berpengaruh langsung pada iklim dan iklim ini nantinya mempunyai direct effect terhadap work effort masyarakatnya. Salah satu konklusi dari teori ini areas with temperate climate have a relative advantage over tropical and semitropical areas. Teori ini coba dicounter dengan case kota Sonora yang jelas-jelas memiliki letak geografis sama. Contoh lain yang diambil buat mencounter teori ini adalah Korea Utara dan Korea Selatan.

 

The Culture Hypothesis. Teori populer kedua setelah geography hypothesis. Menurut kebanyakan orang, definisi culture saat ini punya artian yang luas, not only religions, but also beliefs, values, and ethics. Penulis lagi-lagi mencoba mencounter kalau teori ini nggak bisa membantu menjelaskan kenapa ketimpangan ekonomi di beberapa negara terjadi. Seperti yang terjadi pada Korea Utara dan Korea Selatan. Standar hidup rakyat Korea Utara kira-kira hanya sepersepuluh satandar hidup saudara-saudaranya di Korea Selatan. Padahal jauh sebelum perang Korea terjadi, keudanya memiliki kesamaan kultur dan sejarah yang sangat panjang.

 

The Ignorance Hypothesis. Ini merupakan teori populer terakhir yang mencoba untuk menjelaskan terjadinya world inequality. Teori ini menganggap kalau penyebab ketimpangan ekonomi adalah sikap ignorance dari penguasanya. Para penguasa ini seolah tidak mengerti bagaimana mentransformasi suatu negara yang miskin menjadi kaya. Teori ini seolah muncul dengan solusi pemecahan masalah: bila ignorance lah yang mengakibatkan kemiskinan terjadi, maka berikan masukan dan pencerdasan kepada para pemangku dan pembuat keputusan negara. Sehingga nantinya mereka bisa membuat masyarakat terbebas dari kemiskinan. Namun menurut penulis, masalahnya tidak sesederhana itu, pemangku-pemangku kekuasaan bisa jadi memiliki tujuan-tujuan tertentu alih-alih memang bersikap ignorance.

 

Beberapa hipotesis ini lah yang coba dicounter oleh Acemoglu dan Robinson. Selanjutnya kedua professor ini memberikan banyak historical evidence all around the world untuk mendukung teorinya, bahwa sistem institusi negara lah yang mempengaruhi bagaimana suatu negara itu berkembang, apakah sistem ekstraktif atau inklusif kah yang mereka anut. Berikut ini ada beberapa historical evidence yang menurut gue personal cukup menarik.

 

The Black Death and Start of Major Divergence in Europe Secara singkatnya ini membahas tentang Black Death, yakni suatu pandemi besar yang menyerang Eropa dan memakan banyak korban. Black Death ini nantinya menjadi titik mula perubahan-perubahan di Eropa. Disini gue mau ambil case tentang Inggris. Di Inggris, Black Death terjadi sekitar tahun 1348 dan menewaskan nyaris separuh populasi Inggris saat itu, korban terbanyak saat itu adalah para buruh tani. Saat itu Inggris masih menganut sistem feudal, dengan hirarki tertinggi berada pada Raja diikuti Lord (tuan) dan yang paling bawah adalah buruh tani. Tuan disini tidak hanya tuan tanah, tetapi juga jaksa, hakim, dan polisi. Para buruh tani harus melakukan unpaid labor, semacam kerja paksa untuk tuannya dan juga tunduk pada berbagai macam pajak. Secara singkatnya saat itu berlaku sistem yang sangat ekstraktif, kekayaan diperas dari bawah ke atas. Bisa dikatakan serupa dengan konfigurasi piramida, dimana pada bagian bawah terdapat banyak buruh tani, lalu mengerucut ke atas dengan beberapa gelintir tuan. Peristiwa Black Death yang banyak memakan korban buruh tani ini seolah mengguncang pondasi sistem piramida tersebut. Hal ini lah yang dimanfaatkan para buruh tani untuk menuntut perubahan.

 

Demonstrasi terjadi secara besar-besaran menuntut agar mereka dibebaskan dari sistem unpaid labor dan banyaknya pajak yang dikenakan pada mereka. Pemerintah berusaha menghentikannya dan pada 1351 dikeluarkan dekrit mengenai peningkatan upah bagi para buruh. Namun usaha pemerintah ini tidak berjalan mulus, pada tahun 1381 meletus demonstrasi yang lebih besar lagi. Sebagian besar kota London dikuasai oleh demonstran. Pada akhirnya pemberontakan berhasil diatasi dan pemimpin pemberontakan ditangkap. Namun setelah peristiwa itu tuntutan para buruh tani dikabulkan, sistem feudal dihapuskan. Sistem ekstraktif dihapuskan dan perlahan-lahan bangkit sistem inklusif. Upah-upah pekerja pun naik.

 

Black Death menyerang nyaris seluruh Eropa, setelah pandemi ini terjadi, di Inggris yang pada akhirnya menganut sistem inklusif logika yang bermain adalah semakin sedikit pekerja, maka semakin tinggi upah. Tapi hal ini nggak berlaku untuk sebagian besar negara-negara di Eropa Timur, Black Death justru dimanfaatkan para tuan tanah untuk mengekspansi kekuasaan mereka. Kota-kota semakin lemah dan semakin sedikit penduduknya. Setelah tahun 1500an hal ini semakin jelas terlihat, ketika negara-negara Eropa Barat meningkatkan permintaan pasokan hasil-hasil pertanian dari negara-negara Eropa Timur meningkat, para tuan tanah di negara-negara tersebut semakin menekan buruh tani mereka. Di Polandia misalnya sebelumnya semua pekerjaan yang dilakukan oleh buruh dibayar namun pada tahun 1600 nyaris setengah hasil pekerjaan mereka tidak dibayar. Black Death ini seolah sebagai penyebab second serfdom bagi negara-negara di Eropa Timur

 

Selanjutnya di Inggris di antara abad ke 16 dan ke 17 terjadi 2 peristiwa besar, Civil war di 1642-1652 dan Glorious Revolution di 1688. Hal ini berimplikasi pada pembatasan kekuasaan oleh raja dan eksekutif, serta penyerahan kekuasaan ekonomi pada parlemen. Sebagai konsekuensinya sistem ekonomi turut berubah menjadi lebih inklusif. Hal ini mendorong investasi, perdagangan serta munculnya inovasi-inovasi. Ini yang mendorong terjadinya peningkatan kesejahteraan dan menjadi jalan menuju Revolusi Industri. Karena selanjutnya inventor-inventor seperti James Watt, Richard Trevithick dan Arkwright bermunculan.

 

Soviet Union, Generating Rapid Growth Under Extractive Institution Well, sebelumnya gue coba untuk ambil soal perbedaan antara Eropa Barat, lebih tepatnya Inggris yang menerapkan ekonomi inklusif dan Eropa Timur yang menerapakan sistem ekstraktif sampai abad 17. Selanjutnya gue mau lompat ke bahasan Acemoglu dan Robinson soal Soviet Union yang menganut institusi ekstraktif.

 

Sebelum tahun 1928 most Russians tinggal di daerah pinggiran. Saat itu teknologi yang digunakan para petani cenderung masih primitif dan tradisional. Untuk menggerakan potensi ekonomi negaranya Stalin memindahkan para petani ini sebagai  pekerja industri, dengan harapan mereka bisa lebih produktif. Benar saja, walau saat itu industri sendiri belum diorgnisir dengan baik,  pertumbuhan ekonomi Rusia menjadi yang tertinggi di dalam sejarah, dari 1928 sampai 1960, pertumbuhannya mencapai sekitar 6% per tahunnya. Sayangnya pertumbuhan ini tidak dibarengi oleh perubahan teknologi, yang terjadi hanyalah pemindahan sumber daya manusia dan pembuatan pabrik-pabrik baru. Dengan menganut sistem institusi ekstraktif, pertumbuhan Rusia saat itu tergolong sangat cepat dibawah kebijakan Stalin dan para elit. Meskipun demikian negara ini belum bisa mepertahankan keberlangsungan ekonomi tersebut.

 

Tidak adanya insentif ekonomi dan resistensi para elit terhadap inovasi, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Rusia pada 1970 mandek dan mengalami stagnansi. Dua hal yang bisa menjadi pelajaran bahwa sistem ekonomi ekstraktif tidak bisa mengenerate perubahan teknologi karena 1) tidak adanya insentif ekonomi 2) resistensi terhadap inovasi oleh kaum elit. Dua hal ini lah yang dapat menyebabkan stagnansi pada perkembangan Rusia. Beberapa area yang terus didalami oleh Rusia saat itu hanya lah militer dan aerospace technology.

 

The Contrast of South and North Korea Kedua negara yang terletak di semenanjung Korea ini memiliki kesamaan sejarah yang panjang dan kesamaan geografis. Kontras yang terjadi hari ini bermula ketika berakhirnya Perang Dunia Kedua, di musim panas 1945, ketika koloni Jepang di semenanjung Korea runtuh, Korea terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan. Di bagian selatan dipegang oleh Amerika dan di wilayah utara dikuasai oleh Rusia. Perang dingin antara kedua wilayah tersebut dimulai ketika tentara Korea Utara menginvasi Korea Selatan pada 1950.

 

Hari ini kedua negara tersebut tampak kontras berbeda, dalam suatu data plotting terhadap intensitas cahaya dengan sattelite, Korea Utara terlihat nyaris gelap gulita sedangkan Korea Selatan tampak terang benderang. Living standards keduanya juga sangat berbeda, living standards Korea Utara kira-kira hanya sepersepuluh living standards Korea Selatan. Kedua negara ini, masing-masing berkembang dengan mengadopsi isistem ekonomi  dan politik yang berbeda.

 

Sistem ekonomi di Korea Selatan mendorong untuk berkembangnya investasi dan perdagangan. Mereka juga melakukan investasi yang tinggi untuk pendidikan, hingga mencapai angka literasi dan pendidikan yang tinggi. Perusahaan-perusahaannya pun dengan cepat memanfaatkan sumber daya manusia terdidik mereka untuk mengembangakan industri dan investasinya. Korea Selatan dengan cepat bertransformasi menjadi salah satu keajaiban ekonomi Asia dan menjadi salah satu negara dengan perkembangan tercepat di dunia. Sedangkan di Korea utara, pemerintahan komunis yang represif sangat anti terhadap inovasi dan pengadopsian teknologi-teknologi baru.

 

Hanya dalam setengah abad, pertumbuhan Korea Selatan dan stagnansi Korea Utara menimbulkan gap yang besar pada negara yang mulanya pernah bersatu ini. Menurut Acemoglu, bencana ekonomi yang terjadi di Korea Utara dan suksesnya perekonomian Korea Selatan, sangat kontras sekali, hal ini tidak bisa dijelaskan dengan geography, culture ataupun ignorance hypothesis. Kita harus melihat pada sistem institusi yang membentuknya.

 

Well, gue rasa beberapa case ini cukup menggambarkan evidence yang disampaikan Daron Acemoglu dan James Robinson di dalam bukunya. Sebetulnya masih banyak lagi kisah menarik yang diceritakan di dalamnya, bagaimana bangsa Maya yang besar pada akhirnya collapse, atau tentang penduduk Venesia yang saat ini mengagumi kejayaan masa lalunya. Oh iya perdagangan Indonesia pada masa kolonial juga diceritakan in brief di buku ini.

 

Ide yang gue tangkap dalam buku ini adalah inequality yang terjadi di dunia ini disebabkan sistem institusi yang dianut oleh suatu negara, baik institusi politik maupun ekonominya. Apakah yang dianut sistem inklusif atau ekstraktif. Mostly negara-negara yang bisa sejahtera dan sustain adalah negara yang menganut paham inklusif. Karena negara yang menganut sistem inklusif mendorong para penduduknya untuk berkembang juga, they provide incentives for economic and protect property rights. Hal ini tentu mendorong penduduknya untuk mau maju, improving their skills, generating inovation, inventing etc yang akhirnya akan membawa kemajuan juga buat negaranya. Di sisi lain,negara yang menganut institusi ekstraktif juga nggak berarti nggak bisa berkembang sama sekali, Rusia misalnya. Tapi ketidak terbukaan mereka dalam menerima inovasi dan teknologi serta nggak adanya insentif ekonomi pada akhirnya bisa menyebabkan stagnansi. Intinya perkebangan ekonominya akhirnya nggak sustain.

 

Gue rasa sekian dulu review malam ini, awalnya gue mau review in brief tapi agak sulit juga. Karena banyaknya historical evidence yang disampaikan penulis, jadi agak sayang juga kalau dilewatkan. Selamat Malam, Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related