Seorang laki-laki berkaos oblong dan celana pendek membukakan pintu pagar ketika kami datang. Wajah laki-laki itu sudah jauh berbeda dengan wajah dalam foto-foto yang tersebar di internet. Rambutnya sudah mulai banyak beruban. Keningnya sudah diliputi lapis-lapis keriput.
Laki-laki itu adalah Aris Kurniawan, peneliti sekaligus kolektor Kujang. Ia menyambut dengan ramah dan menyilakan kami masuk ke rumahnya.
“Ya ini ruang kerja saya,” kata laki-laki itu. Ada tiga komputer di ruangan itu. Di sisi lain, ada pula beberapa pusaka budaya yang ditempatkan pada rak. Di ujung ruangan, ada lemari yang berisi pusaka budaya lainnya serta buku dan Al-Qur’an. Al-Qur’an itu, belakangan dia mengatakan, tata letaknya didesain oleh dirinya. Sementara, di berbagai sisi dinding, berbagai lukisan dipajang. Di sudut lukisan-lukisan itu, Aris membubuhkan tandatangannya.
Melihat ruang kerjanya itu, persepsi tentang dirinya sebagai budayawan langsung buyar. Walaupun sering bergiat di berbagai komunitas adat Sunda dan menjadi Ketua Dewan Karesian Lembaga Adat Karaton Padjadjaran, ia lebih tepat disebut sebagai peneliti dan seniman. Maklum, latar belakang pendidikannya sebagai lulusan master seni rupa ITB.
Ia sendiri mulai tertarik dengan kujang setelah berhasil mendapatkan gelar sarjana. Ketertarikannya dengan kujang didasari minat pada budaya Sunda. Ia pun lalu melakukan penelitian mandiri mengenai kujang.
“Sekarang mah enak kalau mau cari tau tentang kujang,” ujarnya.
Dia bercerita, dahulu ketika ia melakukan penelitian mandiri untuk mendata berbagai jenis kujang pada 2002, ia mengalami banyak suka duka. Sekitar tujuh tahun melakukan penelitian, ia pernah beberapa kali ditipu ketika akan membeli kujang untuk diteliti. Tak hanya itu, ia pun kesulitan mencari literatur mengenai kujang. Oleh karena itu, demi melakukan penelitian, ia melalang-buana ke berbagai daerah, mencari langsung jejak kujang yang disebutnya “artefak” ke berbagai daerah. Ia mendatangi berbagai daerah di Bandung dan sekitarnya; Sumedang; Garut; Ciamis; Kanekes, Banten; dan Cirebon. Ia pun rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli kujang karena tidak sembarang orang mau meminjamkan kujang begitu saja.
Penelitian itu membuatnya menyadari bahwa kujang memiliki banyak arti. Orang sering salah mengira kujang sebagai senjata, tetapi ternyata anggapan itu salah. Justru kujang merupakan perkakas untuk bertani atau berkebun.
“Saya ke Kanekes, Baduy dan kujang yang katanya multifungsi itu seperti ini,” katanya sambil menunjukkan sebuah perkakas. Perkakas itu sekilas memiliki kesamaan dengan arit. Walau begitu lengkungannya tidak membentuk sudut tajam layaknya arit.
Selain sebagai perkakas, kujang ada pula yang merupakan simbol budaya. Aris menyebutnya “tosan aji” atau “wesi aji”. Kujang jenis inilah yang paling sering kita lihat rupanya pada berbagai logo lembaga-lembaga di Jawa Barat. Kujang ini sering disangka sebagai senjata, padahal tidak seperti itu. Kujang tosan aji merupakan hasil karya budaya Sunda yang mengandung filosofi hidup bangsa Sunda dan merepresentasikan peradaban Sunda. Filosofi atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pendidikan budaya tersendiri bagi para pewaris kujang juga masyarakat pada umumnya.
“Secara garis besar terkandung (nilai) etika dan estetika Sunda atau atikan dan anggitan Sunda. Etika dan estetika Sunda ini kemudian menjadi tradisi atau didikan,” jelas Aris. “Itu diwariskan secara turun-temurun. Berarti punya nilai urgensi yang amat sangat vital.”
Salah satu nilai yang terkandung dalam kujang adalah tentang filosofi kehidupan. Menurut Aris, kujang terbagi dalam tiga struktur. Ketiganya memiliki makna tersendiri yang menyimbolkan kehidupan manusia. Struktur pertama, yaitu pangkal kujang melambangkan awal penciptaan manusia. Struktur kedua melambangkan kehidupan manusia. Sementara, struktur ketiga melambangkan ketiadaan yang menjadi akhir kehidupan manusia.
Kujang juga merupakan pusaka yang berakar kuat dalam budaya Sunda. Menurut penelitian Aris, diestimasikan kujang sudah dibuat pada rentang waktu 125 M-1125 M.
Bukti Keberadaan Kujang Purba di Kompleks Candi Batujaya Kab. Karawang. Credit: Aris KurniawanKujang yang termasuk “tosan aji” sendiri memiliki ciri tersendiri. Kujang itu tidak memiliki desain layaknya senjata atau perkakas, yaitu ergonomis, efektif, dan efisien untuk digunakan sesuai peruntukannya.
“Masa ini digunakan untuk menusuk orang” ujarnya berkelakar.
Kujang “tosan aji” lebih mengedepankan nilai keindahan. Itu terlihat pada struktur bentuk bilah yang kompleks dan adanya pola pamor (berkas atau guratan terang yang terbentuk karena percampuran dua atau lebih material logam) yang unik pada bilahnya.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kujang mengandung makna filosofis yang dalam. Menurut Aris, itu karena kujang sendiri merupakan benda simbolis. Ia dibuat khusus oleh para guru teupa atau mpu yang ahli dalam bidang etika dan estetika. Kujang dibuat atas persetujuan petinggi sebuah kerajaan Sunda dan dianugerahkan pada seseorang yang dianggap layak karena jasa, kepintaran, dan/atau kepribadiannya.Kujang pun sengaja dibuat mencerminkan watak, bentuk fisik, jabatan, pengalaman hidup dan berbagai ciri diri orang yang akan dibuatkan kujang. Karena itu, bahkan satu varian kujang yang sama memiliki perbedaan tampilan satu sama lainnya.
Berdasarkan keterangan Aris, pembuatan kujang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Itu, menurutnya, adalah lama pengerjaan paling cepat. Selama pengerjaan kujang, mpu pembuat kujang harus dalam keadaan suci.
Setelah mencari tahu seluk-beluk kujang itu, dia sampai pada kesimpulan bahwa kujang harus dilestarikan karena nilai yang terkandung dalam kujang. Pelestarian kujang itu, menurutnya, terhambat dengan tidak adanya sistem dalam peradaban seperti zaman dahulu. Oleh sebab itu, membicarakan pelestarian kujang berarti membicarakan pula pelestarian budaya Sunda secara umum.
“Banyak sekali hal-hal yang tidak saya ketahui (tentang budaya Sunda). Memang perlu diteliti lebih dalam dan harus banyak peneliti-peneliti dari generasi ke generasi untuk mengkaji potensi (budaya) yang kita miliki,” katanya lagi
*****
“Awalnya kami ingin menunjukan kecintaan kami terhadap kebudayaan, khususnya di bidang penempaan”
Rasa kecintaan Ibnu Pratomo terhadap kebudayaan, mengantarkan pria ini membentuk sebuah komunitas tempa di Bandung bersama beberapa kawannya. Pijar Komunitas Tempa Bandung, menjadi identitas yang digunakan komunitas ini. Terbentuk pada 2012-silam dan bermarkas di Jalan Salatiga No. 36, Antapani Kidul Bandung, Jawa Barat, Ibnu biasa menempa logam maupun besi untuk dijadikan sebuah bilah pusaka. Dari Pijar, Ibnu dan kawan-kawan berusaha melestarikan dan menjaga aset negara seperti kujang dan keris yang merupakan peninggalan leluhur bangsa.
“Latar belakangnya adalah mencari atau menyaring anak muda yang bisa kita ajak untuk ikut melestarikan budaya penempaan ini”, Ujar Ibnu.
Kini, komunitas berbasis tradisi khususnya di bidang penempaan bisa dikatakan tidak banyak. Melalui komunitas-komunitas seperti Pijar ini lah pintu untuk menyebarkan nilai-nilai luhur peninggalan budaya bangsa terbuka. Khususnya, nilai-nilai yang terkandung pada kujang sebagai bilah pusaka yang identik dengan masyarakat Jawa Barat.
Proses Penempaan Kujang. credit: Komunitas PijarDalam proses penempaan kujang, terdapat proses panjang yang harus dilakukan dalam pembuatan kujang ini. Contohnya, sebelum seorang penempa itu menempa kujang haruslah diadakan sebuah upacara guna menyampaikan nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah bilah pusaka itu.
“Dalam upacara ini, siapa yang menginginkan kujang, siapa yang membuat, dan semua orang yang terlibat harus ikut upacara guna menyampaikan nilai yang terkandung dalam kujang”, Ujar Ibnu yang juga lulusan S2 Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).
Tumpeng, gunungan, bakakak hayam, kelapa muda, dan kujang itu sendiri menjadi ‘sesajen’ yang hadir di setiap upacara yang dilakukan. Kemudian dalam prosesnya, akan selalu diiringi oleh sebuah pupuh atau puisi berisi wejangan dalam bahasa Sunda. Setiap elemen atau unsur dalam upacara tersebut membawa sebuah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan si calon pemilik kujang tersebut. Hal inilah yang menjadikan kujang membawa nilai ‘Kawaluyaan’ atau nilai-nilai dalam kehidupan yang diharapkan dapat diterapkan oleh si pemilik dalam kehidupannya sehari-hari.
“Kalau memang kujang diposisikan sebagai pusaka, artinya dia harus membawa nilai dan nilai-nilai itu yang harus disampaikan di awal. Sehingga, si calon pemilik ini paham bahwa kujang ini membawa nilai dan memiliki isi”, tambah Ibnu.
Selepas proses upacara berlangsung, proses selanjutnya dalam pembuatan kujang adalah penempaan itu sendiri. Pada proses penempaan, bahan dasar kujang dihasilkan dari percampuran logam yang terdiri dari baja, besi, dan nikel. Pencampuran ini akan menghasilkan pamor yang memiliki ketajaman, fleksibilitas, dan kekuatan.
Seteleh ditempa dan dibentuk menjadi kujang, proses yang tak kalah esensial lagi adalah proses sipuh atau sepuh yang dalam Bahasa Indonesia adalah tua. Proses ini merupakan proses menuakan kujang sendiri juga si pemilikinya.
“Maka sewajarnya orang yang nantinya memiliki kujang juga ikut di sepuh dengan nilai yang terkandung dalam kujang. Sehingga dia bisa menjadi bijak, menjadi tua. Bukan tua fisiknya tapi tua batinnya, tua pemikirannya”.
Ibnu mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan zaman dulu, proses pembuatan kujang di masa sekarang tentunya ada perubahan yang mendasar yang mengikuti zaman. Seperti perubahan peralatan yang digunakan dan kondisi ketika mencari bahan baku kujang. Jika dulu dirasa sulit untuk mencari bahannya sekarang bisa lebih mudah untuk mencarinya, seperti mencarinya di pasar besi atau didapatkan dari supplier.
“Dari perbedaan sekarang ini, yang tetap kami pertahankan adalah upacara agar nilai yang terkandung tetap tersampaikan.”
Proses panjang dalam pembuatan kujang ini menjadi tidak main-main. Ibnu menambahkan dalam membuat kujang sangat dituntut kesiapan sang calon pemilik, baik secara finansial ataupun secara esensial. Kesiapan ini dituntut karena kujang disini diposisikan sebagai benda pusaka yang memiliki nilai luhur dalam hidup. Posisi kujang sebagai benda pusaka menjadikan Ibnu sebagai penempa kujang harus mengenal dekat dengan si calon pemilik kujang tersebut mulai dari latar belakang, psikologisnya, energi yang dibawanya, dan lain-lain. Hal ini karena pada dasarnya kujang adalah representasi dari si pemiliknya.
“Jadi tidak hanya memesan, dibutuhkan juga soal pemahaman. Karena kujang juga butuh dirawat, secara fisik dia bisa berkarat. Tapi secara nilainya juga harus dirawat, itu yang susah!”
Pemahan soal kujang di masyarakat pun kini telah bergeser. Dari menjadi benda pusaka, kini kujang dianggap sebagai senjata, perkakas, ataupun suvenir. Hal ini cukup membuat miris ayah tiga anak itu sebagai seorang penempa benda pusaka. Dari nilai yang terkandung, proses yang cukup panjang, dan pengamalan nilai yang terkandung di dalam kujang menjadi tiga poin yang memang harus dimengerti masyarakat atau calon pemilik kujang.
“Pemahaman kujang sebagai suvenir membuat posisi kujang sebagai benda pusaka terperosok”.
Advertisements Share this: