BAB 10
“Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur.”
Kata-kata Damian yang diucapkan dengan nada dingin dan ketenangan menakutkan itu seolah-olah bergaung di ruangan yang hening itu.
Lelaki itu sudah melepaskan kemejanya, dan membuka ikat pinggangnya lalu meletakkannya di ujung ranjang. Matanya begitu dingin, ekspresi wajahnya tenang, terlalu tenang, hingga membuat Serena gemetar cemas.
“Kau…Harus…Mendengarkan.” Serena masih mencoba, meskipun melihat ekspresi wajah Damian, ia tahu ia tidak akan berhasil.
Damian terlalu marah, dia terlalu dibutakan oleh kemurkaannya.
“Lepaskan kemejamu Serena.” gumam Damian datar.
“Damian…” wajah Serena langsung pucat pasi mendengar perintah yang diucapkan tanpa ekspresi.
“Lepaskan.”
Nada suara Damian begitu menakutkan. Mungkin Serena akan lebih berani menghadapi jika Damian berteriak-teriak marah dan membentaknya. Tetapi lelaki ini begitu tenang hingga menakutkan.
Dengan gemetar Serena melepas kancing demi kancing kemejanya. Menatap Damian dengan wajah memohon, tetapi lelaki itu tidak terpengaruh.
Setelah seluruh kancing kemeja Serena terlepas, dia berdiri sambil menggenggam kemejanya yang terbuka dengan kedua tangannya erat-erat, berlutut di ranjang itu, memohon belas kasihan kepada lelaki yang berdiri di tepi ranjang dan tampak kejam.
“Aku bilang lepaskan kemejamu, Serena,” suara Damian tetap lembut dan terkendali, tapi entah kenapa Serena makin gemetar mendengarnya, dengan sudah payah dia melepaskan kemejanya dan menjatuhkannya ke kasur, menatap Damian tanpa daya.
“Sekarang roknya.” sambung Damian setelah mengamati tubuh Serena tanpa malu-malu, membuat seluruh wajah dan tubuh Serena merah padam.
“Tidak…!” Serena berusaha membantah, dia tidak mau dilecehkan seperti ini, dipaksa membuka baju dihadapan laki-laki yang sama sekali tidak menghargainya.
“Aku bilang roknya!” suara Damian sedikit naik, tetapi tetap tenang. Matanya menatap tajam tak terbantahkan, hingga mau tak mau Serena bergerak melepaskan roknya, air mata mulai mengalir di mata Serena.
Hening cukup lama, Damian terdiam sambil menatap Serena tajam. Dan Serena berlutut di ranjang itu dengan tubuh gemetaran, berusaha memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya yang kecil.
“Lepas pakaian dalammu.”
“Tidak!!” dengan was-was Serena berseru, tanpa sadar tubuhnya beringsut ke ujung ranjang, ketakutan.
Sikapnya itu malah menyalakan api kemarahan di wajah Damian, lelaki itu sudah tidak setenang tadi.
“Kenapa tidak Serena? Pelacur cilikku? sudah tak terhitung berapa kali aku melihatmu telanjang, dan kau melakukan semuanya dengan sukarela kan? Demi uang tiga ratus juta…“, Suara Damian terdengar jijik, dia melangkah maju mendekati ranjang dan secara otomatis Serena langsung beringsut mundur menjauh.
“Aku membeli tubuhmu seharga tiga ratus juta, seharusnya tubuhmu itu bisa kupergunakan semauku, tetapi aku terlalu baik padamu, memberimu kemewahan, tidak menyentuhmu di saat kamu sakit, merawatmu…itu semua terlalu baik untukmu,” Mata Damian tampak menyala, “Dan kau dasar pelacur cilik tak bermoral! bukannya mensyukuri kebaikan hatiku, kau malah merayu sahabatku…!!!”
“Kau salah paham Damian.” Serena mulai menangis terisak.
Tetapi Damian tetap mengeraskan hatinya.
“Aku tidak mungkin salah paham dengan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri.”
Dengan gerakan secepat kilat Damian meraih kedua lengan Serena, sebelum Serena sempat menghindar dan menempelkan tubuh Serena ke tubuhnya sendiri.
“Kalian berciuman!! kau membiarkan dia menciummu!! menjijikkan sekali dimataku.”
Napas Damian mulai terengah-engah, lalu mendorong Serena ke bantal membuatnya terbanting kasar disana.
Serena berusaha menghindar, berusaha melepaskan diri dari tindihan badan Damian yang keras dan berat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Damian yang kuat dan tanpa ampun.
Tetapi lelaki itu terlalu kuat, terlalu marah, bahkan tidak menyadari kalau kekasarannya melukai tubuh Serena yang rapuh.
Lelaki itu seperti kerasukan setan. Matanya menyala penuh kebencian ketika dia menatap Serena. Dengan ketakutan yang amat sangat, Serena berusaha memberontak dan turun dari ranjang, tetapi Damian menangkapnya, membantingnya di ranjang lagi dengan kasar, lalu menindihnya.
Serena mengernyit merasakan cengkeraman tangan Damian yang kasar di tangannya.
“Sakit Damian…kumohon…”
“Diam!!“ seru Damian marah, dan ketika Serena meronta ketakutan, hal itu makin mendorong kemarahan Damian, lelaki itu merobek baju Serena dan mencoba membuka pahanya.
Serena berteriak ketakutan, dia tidak siap dan Damian pasti akan melukainya. Tetapi Damian tidak peduli. Ketika merasakan Serena tidak basah dan tidak siap, lelaki itu tetap menyatukan dirinya.
Bagi Serena itu adalah kesakitan yang luar biasa, sakit di tubuhnya dan sakit di hatinya, diperlakukan seperti pelacur rendahan yang tak ada harganya.
Seluruh tubuhnya terasa tersobek-sobek oleh gesekan tubuh Damian, tapi Serena menahan diri, digigitnya bibirnya hingga hamper berdarah, di tahankannya air matanya meskipun matanya terasa begitu perih. Dan di tekannya hatinya dalam dalam yang mulai hancur menjadi serpihan berkeping-keping.
***
Serena berbaring memunggungi Damian, matanya nanar, penuh airmata. Napasnya sesak karena isakan yang ditahannya.
Setelah semua usai, Damian menjauh dari tubuhnya dan berbaring hening di sebelahnya, sampai napas yang terengah berubah menjadi tenang dan hening. Serena tahu Damian tidak tidur, lelaki itu masih berbaring nyalang di sebelahnya, terlentang menatap langit-langit kamar. Tetapi Serena langsung membalikkan badan dan berpura-pura tertidur.
Dirasakannya Damian bolak-balik menghadap ke arahnya, seperti ingin mengajaknya bicara tetapi kemudian ragu dan mengehentikan dirinya di detik terakhir.
Saat-saat hening itu terasa menyiksa. Tubuh Serena tegang meskipun dia berakting sudah tidur dengan baik, dijaganya agar nafasnya teratur, dijaganya agar tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Lama-lama dia merasakan tubuh Damian berangsur-angsur santai dan lelaki itu tertidur. Serena menanti menit demi menit, menyakinkan diri kalau Damian sudah terlelap, dan setelah cukup yakin, pelan-pelan dia bergerak.
Tubuhnya terasa sakit. Itu tadi benar-benar perkosaan, dan Damian sama sekali tidak mau repot-repot bersikap lembut. Bibir Serena memar akibat ciuman yang terlalu kasar, lengannya sedikit lebam karena genggaman yang terlalu keras, dan masih ada kesakitan-kesakitan lainnya. Di seluruh tubuhnya, di dalam tubuhnya.
Tetapi yang paling sakit adalah hatiku.
Air mata mengalir tanpa suara dari pipi Serena, tapi dia menahan isakan dengan menggigir bibirnya yang sakit. Dengan hati-hati Serena duduk di tepi ranjang, mengamati pakaiannya yang berserakan di lantai, dan pakaiann dalamnya yang setengah dirobek oleh Damian saat lelaki itu melepaskannya dengan marah tadi.
Pelan-pelan, agar tidak menimbulkan gerakan di ranjang tempat Damian berbaring miring dan tertidur pulas, Serena bangkir berdiri dan memungut pakaiannya satu persatu. Langkahnya goyah, dan tubuhnya gemetar, tapi Serena menguatkan diri.
Dipakainya pakaiannya pelan-pelan sambil menatap ranjang dengan was-was, bersiap-siap jika ada satu gerakan sesedikit apapun dari Damian.
Tetapi lelaki itu tidur dengan tenang sampai Serena selesai berpakaian. Serena lalu mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar, tetapi di pintu dia ragu-ragu, menoleh dan menatap Damian yang masih tertidur pulas.
Damian pasti akan maklum jika dia pergi begitu saja. Setelah perkosaan brutal dan kejam itu, Damian pasti maklum jika Serena menjauh darinya. Tapi kemudian Serena mengernyit, teringat kemarahan Damian ketika Serena menghilang tanpa pamit untuk menunggui Rafi di rumah sakit hari minggu lalu.
Kalau aku pergi tanpa pamit, apa yang akan dilakukan Damian? apalagi dengan perjanjian tiga ratus juta itu…
Ketakutan mewarnai perasaan Serena, menahan langkahnya.
Lalu Serena mengeluarkan kertas dan menulis.
Maaf Damian, aku harus pergi sementara. Butuh waktu sendirian. Tapi Kau bisa tenang, aku tidak akan melarikan diri dari hutang-hutangku. Aku tidak serendah itu kau tahu. Sampai jumpa di kantor besok pagi.
Serena.
***
Pagi itu Damian duduk di kantornya dengan muram. Hari masih pagi, para karyawan belum datang ke kantor, tapi Damian sudah ada di situ. Dia tak tahan berada di kamar apartement itu sendirian.
Tanpa Serena.
Dia terbangun pagi-pagi sekali, karena terbiasa mencari Serena untuk dipeluk, tetapi yang ditemukannya hanya bantal kosong. Dengan marah Damian langsung bangun dan murka.
Berani-beraninya pelacur itu meninggalkannya?
Tetapi kemudian, kertas yang diletakkan di bantal Serena itu agak meredakan kemarahannya. Sebuah pesan singkat sederhana yang ditulis dengan huruf yang sangat rapi.
Serena bilang “Sampai jumpa di kantor besok pagi” jadi Damian menahan diri dari kemarahannya dan memutuskan bersiap-siap dan berangkat ke kantor saat itu juga.
Sekarang dia duduk sendirian di ruangannya, memikirkan perbuatannya semalam dan mulai merasa cemas. Ia terlalu kasar. Ia tahu itu. Ia terlalu kuat dan Serena terlalu rapuh untuk menahan kemarahannya.
Tapi tidak tahukan Serena kalau pemandangan Serena yang sedang dipeluk dan dicium oleh Freddy itu benar-benar membuatnya marah? Seharusnya hanya dia yang boleh memeluk Serena ! Seharusnya hanya dia yang boleh mencium Serena!
Saat itulah pintu diketuk dengan pelan. Damian terdiam penuh antisipasi, dia sudah menunggu. Siapa lagi yang datang sepagi ini kalau bukan Serena?
“Masuk.”
Pintu itu terbuka pelan, dan Serena muncul disana. Hati Damian langsung bagaikan dihantam oleh palu ketika melihat keadaan Serena.
Gadis itu masih memakai pakaiannya yang semalam meskipun kelihatan segar setelah mandi. Tapi wajahnya kelihatan pucat dan rapuh. Dan bibirnya sedikit lebam akibat ciuman-ciuman kasarnya kemarin.
Kenapa kau pucat sekali sayang?
Damian berdehem, menahan perasaannya.
Detik itu juga Damian memutuskan dia akan memaafkan Serena. Dia tidak bisa menyalahkan Serena karena merayu Freddy, tidak ada yang bisa melarangnya kan? Tidak ada tertulis dalam perjanjian mereka bahwa Serena tidak boleh menjalin hubungan dengan lelaki lain, disitu hanya tertulis bahwa Damian berhak memiliki Serena sesuka hatinya.
Oleh karena itu dia akan segera memastikan adanya klausul tambahan dalam perjanjian itu, bahwa Serena tidak boleh disentuh lelaki lain, bahwa tubuh Serena adalah hak eksklusifnya, miliknya.
Untuk sekarang, Damian yakin Serena akan memohon maaf padanya, dan itu bukan masalah, Damian siap memaafkan Serena atas pengkhianatannya semalam. Dia siap menerima Serena lagi. Dia belum mau melepaskan Serena.
“Duduk.” perintahnya, berusaha sedatar mungkin.
Dengan patuh Serena duduk, tapi gadis itu tidak berkata apa-apa, hanya meremas tangannya dengan gelisah.
“Sebenarnya kau ingin bicara apa hingga harus menunggu sampai di kantor?”
Dimana kau tidur semalam? apakah kau baik-baik saja ? apakah aku menyakitimu? pertanyaan-pertanyaan itu yang bermunculan di benak Damian, tetapi lelaki itu menahankannya.
Serena mendongakkan kepalanya, matanya tampak penuh tekad ketika menatap Damian. Takut, tapi penuh tekad.
“Aku…ingin melunasi semua hutangku dan mengakhiri perjanjian kontrak kita.”
Damian tertegun.
Rasanya seperti seluruh aliran darahnya dihentikan seketika. Ini adalah jawaban yang sama sekali tidak disangkanya. Damian begitu terkejut hingga membatu seperti patung.
Tetapi ketika keterkejutannya usai. Kemarahan langsung merayapinya. Seperti api yang membakar pelan-pelan, makin lama makin berbahaya.
“Apa?” desis Damian di antara giginya, tangannya terkepal.
Dengan sedikit gemetar, Serena meletakkan sebuah kertas di meja Damian.
“Ini cek sebesar tiga ratus empat puluh juta, untuk melunasi hutangku sebesar tiga ratus juta, dan hutang ke perusahaan sebesar empat puluh juta, dan ini…” Serena meletakkan sebuah amplop di meja, “Surat pengunduran diriku dari perusahaan ini.”
Hening cukup lama. Damian hanya duduk di situ, mengamati Serena dengan mata yang menyala-nyala.
Kemudian lelaki itu memajukan tubuhnya dan menatap Serena sambil tersenyum dingin.
“Lunas sepenuhnya? Jadi malam-malam selama kau melayaniku itu kau anggap service gratis untukku?”
Wajah Serena pucat pasi mendengar hinaan tersirat itu.
“Aku…Aku hanya ingin melepaskan diri dari perjanjian itu…”
Damian mendesis gusar, lalu mengambil cek itu dan mengamatinya, alisnya terangkat, kemarahan tampak semakin membakarnya
“Kau bisa memperoleh uang sebanyak ini dalam semalam, apakah kau menemukan korban lain yang bisa memberimu uang untuk melepaskan diri dariku?”
Serena membelalakkan matanya tak percaya akan kesimpulan negatif yang di ambil Damian,
“Jangan menuduhku serendah itu!!! Aku…aku bukan pelacur seperti yang kau kira!!”
“Kau pernah dengan sukarela menjadi pelacurku demi uang tiga ratus juta!! Bagaimana bisa aku tidak berpikir kau bersedia melacurkan diri pada orang lain demi melepaskan diri dariku hah???!!” Damian menggebrak meja dengan begitu kerasnya, hingga Serena terlonjak kaget dari tempat duduknya.
Lalu tanpa di duganya. Damian mengambil surat pengunduran dirinya di meja. Dan merobek-robeknya bersama dengan cek yang diberikannya.
Serena hanya ternganga, kaget dengan tindakan tak terduga Damian itu. Sementara lelaki itu berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan mengancam sambil merobek-robek surat dan cek itu menjadi serpihan-serpihan kecil.
Ketika Damian mulai mendekati Serena, Serena langsung berdiri menjauh, waspada.
“Kenapa kau merobek cek dan surat itu?” tanya Serena gugup, takut akan suasana hati Damian yang begitu muram.
Damian makin mendekat. Lalu berhenti dan tersenyum sinis ketika melihat Serena mundur lagi menjauhinya.
“Aku tidak akan melepaskanmu begitu mudah Serena, kau pikir aku akan diam saja kau bodohi? Aku akan membuatmu menerima balasan setimpal sebelum akhirnya melepaskanmu…”
Tiba-tiba Damian bergerak cepat meraih Serena sebelum dia bisa menghindar. Serena mencoba meronta, tapi ia sadar dari pengalamannya bahwa percuma saja dia melawan kekuatan dan kemarahan Damian, jadi dia hanya diam dengan wajah pucat pasi ketakutan.
“Katakan padaku Serena…Pria yang membayari hutangmu itu…Apakah dia sudah menidurimu?” mata Damian menggelap penuh kemurkaan, “Apakah dia sudah menyentuhmu?” napas Damian mulai memburu, “Apakah ciumannya sebaik ciumanku? Atau dia hanya pria bodoh yang tertipu oleh kepolosan palsumu yang….”
“Lepaskan aku!!!!” entah darimana Serena seperti mendapatkan kekuatan untuk mendorong Damian dan melangkah menjauh. “Aku sudah membayar hutangku. Aku sudah tidak terikat denganmu!! Kau tidak berhak melecehkanku lagi!!”
“Melecehkan katamu?? Kau bilang itu pelecehan? Kau menyambutku dengan hangat setiap aku mendatangimu dan kau bilang itu pelecehan??”
PLAK!!!!
Tangan Serena tanpa disadari melayang sendiri menampar pipi Damian sekeras mungkin, kata-kata Damian yang luar biasa menghina itu sangat menyakiti hatinya.
Damian berdiri disana mengusap pipinya lalu tersenyum jahat.
“Kenapa menamparku? Apakah kau merasa malu karena kekotoran moralmu terungkap disini?” gumamnya sinis.
Dengan bergegas Serena melangkah ke pintu, sedikit lega karena Damian tidak mengikutinya.
“Aku akan mengirimkan lagi cek yang baru, berikut surat pengunduran diriku…Bagiku semua sudah lunas di antara kita” gumamnya lirih.
“Bagiku belum,” desis Damian tenang, “Kau boleh kabur kemanapun Serena, dan aku bersumpah akan mendapatkanmu. Dan ketika itu terjadi aku tidak akan main-main lagi, aku bahkan akan merantaimu di kamar jika perlu. Dan tak usah repot-repot mengirimkan cek ataupun surat apapun, aku akan merobek-robeknya lagi.”
Tangan Serena yang memegang gagang pintu gemetaran.
“Kenapa kau begitu kejam padaku…?” Rintihnya putus asa, matanya berkaca-kaca.
Sejenak Damian terpaku. Serena tampak begitu hancur, begitu luluh, hingga seketika itu juga Damian ingin memeluk Serena dan menghiburnya, meminta maaf atas kata-kata kasarnya. Tapi akal sehatnya segera mengambil alih. Itu akting, teriaknya pada diri sendiri, jangan tertipu, gadis ini pandai memanipulasi orang dengan berpura-pura rapuh. Kau sendiri sudah merasakannya bukan?
“A…Aku tetap akan pergi…” Serena bergumam ketika Damian hanya berdiam diri, “Kau boleh memaksaku semaumu, tapi aku akan melawanmu sekuat tenaga.”
Dengan cepat Serena membuka handel pintu. Lalu menolehkan kepalanya untuk menatap Damian, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Diserapnya sosok itu baik-baik, sosok dingin yang berdiri kaku, menatap Serena dengan penuh kebencian. Disimpannya sosok itu baik baik, dan tiba-tiba saja hatinya terasa teriris. Air mata mulai menetes dari sudut matanya, dan dengan segera Serena melangkah keluar dari ruangan itu.
Setengah berlari dia memasuki lift tanpa mempedulikan tatapan bingung sekertaris Damian.
Di lobby, suster Ana yang menunggu dengan gelisah dari tadi langsung berdiri begitu melihat Serena muncul di lift.
“Bagaimana…?”
Pertanyaannya tak terjawab karena Serena langsung mengajaknya keluar dari lobby menuju parkiran, menaiki mobil jemputan rumah sakit yang diminta suster Ana mengantar mereka ke sini tadi.
Di mobil air mata Serena tak terbendung lagi dan suster Ana langsung memeluknya untuk menenangkannya.
“Ssshhh…Semuanya tak berjalan baik ya?”
“Dia…Dia tidak mau menerima uang itu….” serena tersedak oleh tangisan yang dalam, “Dia…Dia menuduhku menjual diriku kepada lelaki lain demi mendapatkan uang itu…” tangis Serena meledak lagi dengan kuatnya.
Dan suster Ana langsung memeluknya. Matanya sendiri berkaca-kaca melihat penderitaan Serena.
“Apakah…kau mencintainya, Serena?” tanya suster Ana hati-hati.
Serena langsung tersentak, menatap Suster Ana dengan pandangan nanar.
“Apa…? Itu…Itu tidak mungkin….”
“Serena, mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kebersamaan kalian selama ini mungkin saja menumbuhkan sesuatu yang dalam di antara kalian…” suster Ana menatap Serena lembut, “Dan kau…Tidak mungkin menangis semenderita ini jika kau tidak punya perasaan apa-apa kepada Damian, sayang.”
Serena hanya termangu. Air matanya masih mengalir, hatinya sakit sekali. Dan memang benar, penghinaan dan perlakuan kasar Damian telah menyakitinya lebih daripada yang seharusnya. Tapi Serena tidak mau memikirkan kemungkinan apapun. Dia tidak mau, dan tidak bisa. Ada Rafi di sisinya bukan?
Suster Ana mendesah melihat kediaman Serena.
“Yah, setidaknya, suatu saat ketika Damian menyadari kesalahannya, dia akan menyesal dan kuharap aku ada di sana ketika dia memohon maaf padamu.”
***
Suster Ana benar, Damian memang menyesal. Tidak perlu waktu lama, hanya selang satu jam dari kepergian Serena.
“Aku menerima kalian di sini hanya demi Vanessa,” gumam Damian dingin, suasana hatinya benar-benar buruk saat itu.
Ketika sekertarisnya menelepon dan memberitahu bahwa Vanessa dan Freddy ada di ruangan depan, ingin bertemu dengannya, Damian hampir saja mengamuk seketika itu juga. Dia sudah menegaskan pada sekertarisnya bahwa dia sedang tidak ingin diganggu. Tetapi Vanessa memaksa, dan seperti biasanya, paksaannya berhasil.
“Kami harus memberitahumu sesuatu yang penting.” gumam Vanessa penuh tekad, tidak peduli akan tatapan membunuh yang berkali-kali dihujamkan Damian kepada Freddy yang hanya duduk diam tanpa suara di belakangnya.
“Damian,” Vanessa mencoba menarik perhatian Damian yang terus menerus mempelototi Freddy. “Ada suatu fakta penting tentang Serena yang harus kau ketahui.”
Damian langsung tertarik. Fakta apa lagi? Sebuah kebohongan lagi yang belum diceritakan kepadanya? Sebuah kepalsuan lagi yang akan menyulut kemarahannya?
Dia diam dan menunggu, bersiap-siap untuk meledak lagi, kepalanya terasa berdenyut dan mulai nyeri.
“Damian…” Vanessa mengernyit cemas ketika melihat Damian tampak kesakitan, “Kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa! Cepat selesaikan yang ingin kau katakan, dan bawa dia pergi dari ruangan ini!” Damian bahkan tidak mau repot-repot menyebut nama Freddy.
Vanessa menarik napas panjang.
“Kau…Kita…Mengambil kesimpulan yang salah tentang Serena.” dengan cepat Vanessa membentangkan artikel itu di meja Damian, “Baca ini.”
Damian melirik artikel itu, semuala tidak tertarik, tetapi kemudian mengenali gambar di artikel itu sebagai Serena, lebih muda beberapa tahun, tapi dia tak mungkin salah.
“Apa yang………Oh Tuhan!” baru separuh artikel yang dibacanya, tetapi dia pucat pasi. Dengan gemetar dia membaca artikel itu. Membacanya berulang-ulang kemudian, mencoba mencari kesalahan. Tapi kebenaran yang tertulis di sana tak terbantahkan lagi.
“Benar Damian, keluarga Serena, kedua orangtuanya terenggut pada kecelakaan yang sama di jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan Alfian”, mata Vanessa berkaca-kaca ketika kenangan itu kembali.
“Oh Tuhan!” Damian berpegangan pada meja untuk menopang tubuhnya, Ini sebabnya Serena selama ini sebatang kara dan sendirian?
“Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia, saya hidup sendirian” itu jawaban Serena waktu gadis itu terpaksa menumpang mobilnya di pagi yang hujan.
Lalu uang tiga ratus juta dan hutang puluhan jutanya di perusahaan itu….. Sekali lagi Damian mengernyit.
“Tunangannya, Rafi, masih terbaring koma sejak kecelakaan itu. Serena berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya. Hutang-hutangnya di rumah sakit mungkin untuk membiayai biaya perawatan Rafi, dan hutangnya kepadamu tiga ratus juta mungkin karena gadis itu putus asa,” Vanessa memandang Damian, dan tiba-tiba merasa kasihan, Damian tampak hancur berkeping-keping, “Aku menelepon rumah sakit tempat Rafi dirawat Damian, Rafi saat itu harus menjalani operasi pengangkatan ginjal karena salah satu ginjalnya rusak akibat obat-obatan yang terus menerus…….biaya operasi itu sangat mahal, hampir mencapai tiga atus juta rupiah…Mungkin itu alasan Serena menjual dirinya padamu, gadis itu putus asa.”
Damian memejamkan matanya, mengingat hari berhujan dimana Serena membuat penawaran gila itu padanya. Bagaimana mungkin dia dulu tak menyadarinya? Waktu itu Serena memang terlihat putus asa, panik dan putus asa.
“Freddy bercerita bahwa Serena hilang seharian di hari minggu dan kalian mencarinya kemana-mana,” Vanessa mengedikkan bahunya pada Freddy yang hanya diam dan menundukkan kepalanya, “Itu hari di mana operasi Rafi dilaksanakan.”
Sebuah hantaman lagi yang menerjang Damian. Dia mengernyit, rasanya berat sekali ketika dia sudah berpegang teguh pada suatu keyakinan bergitu lama tapi kemudian dihancurkan begitu saja.
Serena gadis baik-baik. Dia bukan gadis bermoral rendah seperti dugaannya selama ini. Pantas saja waktu itu dia masih perawan. Keperawanan yang seharusnya untuk tunangan yang dicintainya dikorbankannya. Damian langsung disengat rasa cemburu yang tajam. Serena pasti begitu mencintai tunangannya kalau sampai berjuang mati-matian seperti itu.
“Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum pernikahan mereka Damian,” Vanessa menoleh secara terang-terangan kepada Freddy, “Biarkan Freddy yang menjelaskan sisanya kepadamu.”
Damian menoleh kepada Freddy dengan muram, masih terbayang adegan ciuman waktu itu di matanya. Dan kemarahannya langsung membara, kalau begitu kenapa Serena ada di pelukan Freddy dan Freddy bilang Serena rela menjual diri padanya?
“Waktu itu semua sudah kurencanakan, Damian,” gumam Freddy pelan seolah bisa membaca pikiran Damian, lalu mengernyit ketika menerima tatapan menusuk itu lagi, “Aku…. Waktu aku mendampingimu mencari Serena yang menghilang waktu itu, aku melihat betapa emosionalnya dirimu, itu menggangguku karena kau berubah, tidak seperti biasanya, aku berpikir Serena telah menimbulkan pengaruh buruk padamu…..Jadi aku mengambil keputusan…..aku merekayasa semuanya…..Ciuman itu adalah paksaan dariku….Serena sama sekali tidak sukarela, dia menolakku sekuat tenaga. Dia memanggil namamu…”
Damian langsung merangsek maju dengan marah, tanpa diduga. Langsung meraih kerah kemeja Freddy. Tak peduli tubuh Freddy yang memar dan lebam akan kesakitan menerima sentuhan seringan apapun.
“Brengsek kau Freddy!!! Brengsek kau!!! Aku mempercayaimu!!” Damian menggeram di antara ke dua giginya, “Kau tahu malam itu aku memperlakukannya sebagi pelacur rendahan??! Aku memperkosanya!!!!”
“Damian, tenanglah dulu”, gumam Vanessa hati-hati, berusaha membuat Damian melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Freddy, “Kau menyakiti Freddy, tidakkah kau sadar kau sudah cukup menyakitinya kemarin? Lepaskan dia Damian”, bujuknya lembut.
Damian bergeming, sejenak seolah-olah akan menghajar Freddy, tapi kemudian dia melepaskan lelaki itu dengan kasar.
“Harusnya kubunuh saja kau sekalian!”, desisnya geram sambil mengacak rambutnya,
Lalu sebuah pertanyaan merasuk di benaknya.
“Kenapa harus Serena yang menanggung seluruh biaya perawatan Rafi? Kenapa bukan keluarga Rafi?”
“Rafi tidak punya keluarga.” Freddy yang menyahut setelah berhasil meredakan napasnya yang terengah karena perlakuan kasar Damian tadi, “Dia pengacara juga, kebetulan aku mengenalnya”, suaranya tertelan melihat tatapan bermusuhan Damian, tapi dia bertekad melanjutkan, ” Sebenarnya aku tidak begitu mengenalnya, tetapi Rafi cukup terkenal di kalangan profesi kami karena reputasi baiknya, aku… Eh… Melakukan penyelidikan singkat tadi dan mendapati bahwa Rafi dibesarkan di panti asuhan, dia sebatang kara….karena itulah kabar setelah kecelakaan yang menimpanya menjadi simpang siur, dia menghilang begitu saja dan gosip yang beredar mengatakan Rafi sudah meninggal, tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya Rafi masih hidup dan ada dalam kondidi koma”, Freddy menatap Damian sungguh-sungguh, “Aku menyesal dan aku meminta maaf Damian. Aku memang bodoh dan gegabah, aku juga menyesal setengah mati.”
Damian tercenung. Lama tidak mengatakan apa-apa. Sejenak ruangan itu begitu hening.
“Damian, mungkin lebih baik kita melepaskan Serena, sudah cukup berat beban yang dia tanggung,” gumam Vanessa pelan memecah keheningan. Lalu dia berubah ragu-ragu dan berhati-hati dengan reaksi Damian, “Mengenai hutang-hutang Serena baik kepadamu dan kepada perusahaan, aku bersedia menggantinya.”
“Tidak.”
“Tidak?” Vanessa mengernyit mendengar gumaman pelan Damian itu.
“Tidak akan kulepaskan. Aku tidak peduli dengan uang itu. Serena tidak akan kulepaskan.”
“Damian!!”, Vanessa mengernyit jengkel. “Hentikan! Kau tidak tahu betapa banyak penderitaan yang ditanggung Serena selama ini! tidak bisakah kita biarkan dia tenang bersama tunangannya? Lagipula kau bisa mencari wanita lain untuk memuaskanmu bukan? Kau bisa mendapatkan pengganti Serena dalam beberapa menit!”
Damian mengusap wajahnya, tampak begitu menderita,
“Tidak, aku tidak bisa Vanessa.” erangnya parau.
Mata Vanessa melebar melihat ekspresi Damian, tidak pernah sebelumnya Vanessa melihat Damian begitu penuh emosi. Apakah ini berarti Damian benar-benar mencintai Serena?
“Dia punya tunangan Damian, jangan lupa, semua yang dilakukannya adalah demi menyelamatkan Rafi.”
Kebenaran itu menyakiti hati Damian, sengatan cemburu itu kembali melukainya.
“Kalau begitu aku akan membuatnya memilihku,” mata Damian penuh tekad, “Dimana alamat rumah sakitnya?”
***
Advertisements Share this: