BAB 11
“Dimana ruangan tempat perawatan Rafi Ardyansyah?” Damian berdiri di depan resepsionis.
Resepsionis itu mendongak dan ternganga. Terpesona melihat penampilan dan ketampanan Damian.
“Ruangan perawatan Rafi Ardyansyah?” Damian mengulang jengkel karena resepsionis itu hanya menatapnya seperti orang bodoh.
“Oh….Untuk Rafi…Anda…Anda mungkin harus menemui Suster Ana dulu, beliau suster kepala penanggung jawabnya.”
“Dimana?” gumam Damian tak sabar. “Lantai tiga, ruangan perawat nomor dua.”
Tanpa basa-basi Damian meninggalkan resepsionis yang masih ternganga itu. Pintu itu tertutup rapat dan Damian mengetukknya.
“Masuk” sebuah suara yang tegas terdengar dari dalam. Damian masuk dan langsung berhadapan dengan suster Ana.
Suster Ana langsung menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Dia tidak mungkin salah mengenali.
Penggambaran Serena sangat akurat. Lelaki ini memang benar-benar luar biasa tampan dengan keangkuhan yang sudah seperti satu paket dengan auranya.
“Apakah anda akhirnya berhasil menemukan kebenaran?” gumam suster Ana langsung tanpa basa-basi.
Damian mengernyit mendengar sapaan pertama suster Ana yang sama sekali tidak diduganya. Tapi dia lalu teringat telelepon di tengah malam yang tanpa sengaja dia angkat. Penelepon itu mengatakan dirinya adalah suster Ana…
“Ya,” Damian mengakuinya pelan, “Anda sudah tahu semuanya?”
“Semuanya, dan pertama, sebelum anda menghina Serena lagi. Saya akan jelaskan kepada anda, semalam Serena datang kepada saya, dengan kondisi mengenaskan. Mental dan fisik yang rapuh, dan dia bilang ingin melepaskan diri dari anda, menurut saya itu wajar mengingat perlakuan anda padanya,” Suster Ana menatap Damian dengan pandangan mencela yang terang-terangan hingga wajah Damian merona, “Uang yang dia pakai untuk melunasi anda, itu adalah uang pinjaman dari saya dan beberapa staff rumah sakit lain, bukan uang hasil menjual dirinya kepada lelaki lain seperti apa yang anda tuduhkan kepadanya tadi pagi.”
Sebuah kebenaran lagi. Lebih keras daripada tamparan di pipi, lidah Damian terasa kelu.
“Saya ingin bertemu Serena.” gumam Damian akhirnya. Suster Ana mengangkat alisnya.
“Untuk apa? Ketika hubungan hutang piutang itu lunas. Tidak ada lagi perlunya kalian bertemu, lagi pula saya tidak yakin Serena bersedia menemui anda.”
“Tidak ada hubungannya dengan uang! Saya tidak peduli dengan uang!!!” Damian hampir berteriak, lalu berdehem berusaha meredekan emosinya, “Saya harus bertemu dengan Serena, meminta maaf, saya tahu selama ini saya salah….”
“Anda bisa menyampaikan permintaan maaf anda melalui saya.” sela Suster Ana tegas.
Damian mengernyit, “Saya mohon…..Saya harus bertemu dengan Serena, saya butuh bertemu dengan Serena.”
Suster Ana mengamati lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki ini terlalu tampan, terlalu kaya sehingga wajar dia tampak begitu arogan. Tapi sekarang Damian tampak begitu menderita, dan dia rela memohon agar bisa bertemu Serena. Suster Ana menarik napas, ketika sebuah kesimpulan muncul di benaknya.
Lelaki ini sedang jatuh cinta.
Bagaimana mungkin dia menolak permintaan Damian? Kalau saja Damian hanya lelaki sombong yang menginginkan bayaran setimpal atas apa yang diberikannya kepada Serena, suster Ana akan mengusirnya tanpa ragu. Tapi Damian yang ada di depannya ini tampak begitu kesakitan menanggung rasa bersalah, tampak remuk redam di dera perasaannya sendiri. Lelaki ini sama menderitanya dengan Serena. Bagaimana mungkin Suster Ana tega mengusirnya?
“Tapi tolong jangan menyakiti Serena lagi jika kalian bertemu nanti, jangan memaksanya…..” mata Suster Ana melembut membayangkan Serena, “sudah cukup beban yang ditanggung anak itu.”
“Saya berjanji.” Damian menjawab yakin.
Sekilas suster Ana mencuri pandang ke arah Damian. Dan tersenyum ketika mendapati ekspresi Damian ikut melembut karena membayangkan Serena.
Ah Serena, Lelaki ini benar-benar sedang jatuh cinta…….
***
Ruangan itu hening terletak di lorong paling ujung. Dan Serena hanya berdiri di depan ruang perawatan sambil menatap melalui jendela kaca lebar yang membatasinya dengan Rafi, saat ini bukan jam besuk dan Serena tidak boleh masuk.
Pikiran Serena terasa berat, dia tidak punya pekerjaan sekarang. Suster Ana dan yang lain-lain bilang akan membantu, tetapi Serena tidak mungkin menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain terus menerus, apalagi dengan biaya perawatan Rafi yang begitu mahal yang harus ditanggungnya setiap bulannya…..
Dengan sedih Serena menatap Rafi, lelaki itu masih terbaring dalam kedamaian yang sama, begitu pucat, hanya bunyi mesin-mesin penunjang kehidupan itulah yang menunjukkan kalau masih ada harapan hidup yang tersimpan di sana.
Serena mengusap air mata di sudut matanya.
Ah Rafi….. Sampai kapan kau tertidur begini? Aku merindukanmu kau tahu. Aku membutuhkanmu. Saat ini aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri, aku takut jika kau tidak segera bangun nanti aku akan……
Saat itulah Damian masuk, diantarkan oleh Suster Ana di belakangnya. Perasaan sedih yang aneh menyeruak di dada Damian ketika dia melihat Serena menatap Rafi yang terbaring di balik kaca dengan tatapan sendu.
“Serena….” Damian bergumam pelan, mendadak dikuasai keinginan yang dalam untuk mengalihkan perhatian Serena dari Rafi.
Suaranya seperti menyentakkan Serena hingga gadis itu menoleh kaget. Wajahnya langsung pucat pasi, tidak menduga bahwa Damian akan muncul di sini, matanya menatap Suster Ana meminta pertolongan.
“Dia datang disini untuk berbicara Serena, dan dia sudah berjanji tidak akan melakukan atau mengatakan sesuatu yang akan menyakitimu,” gumam Suster Ana lembut, menyadari kegelisahan yang dirasakan Serena, dia lalu mengamit lengan Serena, “Mari, kuantar kalian ke ruanganku di mana kalian bisa berbicara dengan tenang, aku akan meninggalkan kalian di sana.”
Seperti kerbau yang di cocok hidungnya, Serena hanya mengikuti ketika di tuntun ke ruangan Suster Ana, sedangkan Damian hanya mengikuti di belakang dalam diam.
Ruangan tetap hening lima menit kemudian ketika suster Ana menutup pintu ruangan dari luar.
“Aku minta maaf.” gumam Damian dengan lembut akhirnya. Serena bersedekap, seolah ingin melindungi dirinya.
“Ya…Sudah di maafkan…Sekarang…Sekarang bisakah kau pergi?” Serena mulai menahan tangisnya. Damian telah benar-benar melukai hatinya, kehadiran lelaki itu sekarang, berdiri di depannya, menatapnya dengan begitu lembut, benar- benar membuat emosinya bergejolak.
“Aku tidak tahu tentang semua ini Serena, baru tadi Vanessa mengungkapkan kebenaran di depanku. Aku tidak tahu. Tidakkah itu bisa membuat semuanya sedikit dimaklumi?” sambung Damian pelan. “Selama ini aku salah paham, aku berpikiran buruk tentangmu dan semakin memupuknya dari hari ke hari. Itu… Itu juga menyiksaku, antara dorongan untuk menyayangimu atau menghukummu karena jauh dilubuk hatiku aku mengira aku hanya dimanfaatkan,” Damian mengerjapkan matanya pedih, “Kalau aku tahu tentang semua ini, segalanya akan berbeda Serena.”
Serena memejamkan matanya. Mau tak mau permintaan maaf Damian yang begitu tulus itu mulai menyentuh hatinya. Damian memang tidak bisa disalahkan. Dia tidak tahu. Lagipula apa yang harus dipikirkan Damian tentang gadis yang melemparkan diri padanya demi uang selain bahwa gadis itu adalah pelacur?
“Aku…Aku mengerti….tidak apa-apa, pilihanku juga untuk tidak mengatakan ini semua kepadamu,” suara Serena terdengar serak. “Dan apapun konsekuensinya aku sudah bersedia menanggungnya….Jadi kita impas.”
Damian menatap Serena sedih.
“Serena…. Aku….” Damian mengulurkan tangan hendak meraih Serena, tapi lalu tertegun ketika Serena mundur seperti ketakutan.
Kesadaran itu menghancurkan Damian, kesadaran bahwa Serena takut dengan sentuhannya, mungkin akibat kekasarannya semalam.
Damian mengusap rambutnya dengan kasar.
“Aku….. Mungkin semua sudah terlambat. Tapi aku harus mengatakannya…..Aku mencintaimu Serena, mungkin kau bertanya-tanya kenapa. Tapi aku juga tidak bisa menjawabnya. Aku juga baru menyadarinya. Itu terjadi begitu saja,” Damian menatap Serena yang hanya termangu dengan wajah pucat pasi, “Tapi sekarang itu tak penting lagi bukan? Kesalahanku tidak bisa di maafkan semudah itu. Dosaku terlalu besar.”
Dengan ragu Damian melangkah ke arah pintu, terdiam sejenak.
“Semua hutangmu anggap saja sudah lunas. Aku tidak akan menuntut apapun darimu, aku akan menjauh darimu dan kau tidak perlu takut harus menghadapiku lagi. kau bebas sebebas-bebasnya. Dan kalau kau masih mau bekerja di perusahaanku. Aku akan sangat senang….Tapi aku tidak akan memaksa. Aku sudah terlalu sering memaksakan kehendakku padamu. Sekarang tidak akan lagi,” punggung Damian tampak tegang, “Selamat tinggal Serena.” gumamnya pelan sebelum membuka handle pintu.
Serena termangu menatap punggung yang begitu tegang itu. Pernyataan cinta Damian begitu mengejutkannya hingga dia tidak bisa mengatakan apa-apa, memang Damian telah menyakitinya, tapi ada saat saat dimana Damian berhasil membuat hatinya terasa hangat. Dan kalau dipikir-pikir, selama kebersamaan mereka itu. Tidak pernah sekalipun Damian menyakitinya dengan sengaja, kecuali saat kemarahan menguasainya kemarin.
Sekarang ketika Serena menatap punggung Damian, yang tampak begitu tegang sekaligus rapuh. Sebuah perasaan hangat menyeruak ke dalam hatinya, sebuah perasaan yang bertumbuh pelan tanpa dia sadari.
“Damian,” Serena bergumam pelan, tapi cukup untuk membuat Damian membatu di tempat. Tetapi lelaki itu tidak menoleh, hanya berdiri di sana. Membeku seperti patung.
“Damian.” kali ini Serena mengulang lagi, lebih lembut sehingga Damian menoleh menatap Serena.
Entah karena mata Serena yang menatapnya penuh kelembutan, Entah karena Damian pada akhirnya sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Serena tidak tahu, yang pasti ekspresi Damian berubah seketika.
Dia membalikkan tubuh. Menatap Serena ragu-ragu. Dan ketika dilihatnya Serena membuka lengan menyambutnya, Damian mengerang. Kemudian melangkah tergesa ke arah Serena, tersandung-sandung menghampiri Serena.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Lalu Damian jatuh berlutut dan memeluk pinggang Serena, membenamkan wajahnya di perut Serena. Napasnya tersengal menahan perasaan.
Dengan lembut Serena memeluk dan mengelus rambut Damian.
“Aku mencintaimu,” Damian berbisik dengan suara parau, wajahnya masih terbenam di perut Serena, “entah sejak kapan aku mencintaimu. Mungkin sejak pertama kali aku melihatmu, aku….” napas Damian tersengal, “Aku mungkin manusia paling kejam, paling jahat…tapi aku…Aku tidak…..”
“Damian,” sekali lagi Serena berbisik lembut. Damian mendongakkan wajahnya dan menatap Serena, wajah Serena penuh air mata, dan tiba-tiba mata Damian terasa panas.
“Jangan menangis,” Tiba-tiba Damian berdiri dan merengkuh Serena ke dalam pelukannya, memeluknya erat-erat, “Jangan menangis lagi, aku bersumpah tidak akan pernah membiarkanmu menangis lagi.”
Serena memeluk Damian erat-erat. Permintaan maaf Damian dan kelembutan sikapnya meluluhkan hatinya, menumbuhkan perasaan baru di dalam hatinya, mereka telah begitu dekat selama ini, kedekatan yang dipaksakan, tetapi mau tak mau telah membuka pembatas yang selama ini ada di hati Serena.
Lama mereka berpelukan, dalam keheningan. Serena menumpahkan tangisnya di pelukan Damian dan lelaki itu memeluk Serena erat-erat, membenamkan wajahnya di rambut Serena.
Setelah tangis Serena mereda, Damian mengangkat dagu Serena agar menghadap ke arahnya, mengusap air mata di pipi Serena dengan lembut.
“Pulanglah bersamaku, kembalilah bersamaku Serena, bukan karena uang tiga ratus juta itu. Aku ingin kau melupakan masalah hutang itu, aku ingin kau bersamaku karena kemauanmu sendiri. Pulanglah bersamaku Serena, kita mulai lagi semuanya dari awal….Dan jika…Dan jika….” Damian menarik napas, menahan perasaannya, “Jika kau memang belum mencintaiku, aku akan menunggu. Bahkan aku tidak akan menyentuhmu kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksakan kehendakku, kau bisa tenang. Aku… Aku hanya ingin kau ada di tempat dimana aku bisa melihatmu setiap hari.”
Serena menatap Damian, dan melihat ketulusan di sana, melihat cinta di sana yang tidak di tahan-tahan lagi.
Dia baru membuka mulutnya untuk menjawab ketika pintu ruangan itu terbuka. Suster Ana membuka pintu, terlalu panik dan terengah-engah untuk merasa malu ketika menemukan Damian dan Serena sedang berpelukan.
“Serena!!!” Suster Ana berusaha menormalkan nafasnya, dia tadi setengah berlari ke sini, “Cepat!!! Cepat ikuti aku ke ruang perawatan!!!! Rafi sadar!!! Dia terbangun dari komanya!!!!!”
***
Advertisements Share this: