BAB 12
Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari pelukan Damian, dia berlari penuh air mata, ke kamar perawatan Rafi, kerinduannya membuncah, rasa syukurnya tak tertahankan.
Ketika sampai di depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena pintu itu masih di tutup rapat, suster Ana tergopoh-gopoh mengejarnya, “Serena, jangan masuk dulu, dokter baru menstabilkan kondisinya.”
Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian Serena diijinkan masuk, hanya lima menit untuk sekedar menengok Rafi, setelah itu dokter harus mengevaluasi kondisinya Rafi lagi.
Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas menatapnya, mata yang selama ini terpejam, tertidur dalam damai, membuat Serena menanti, mata itu sekarang terbuka, hidup, dan balas menatapnya.
“Rafi,” suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak, dia menghampiri tepi ranjang, ke arah Rafi yang masih terbaring, pucat dengan alat-alat penunjang kehidupan yang masih menopangnya, tapi hidup dan membuka mata.
Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya, lalu menangis. “Rafi.”
Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap syukur karena Rafi akhirnya bangun, dia ingin merajuk karena Rafi memilih waktu yang begitu lama untuk terbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan suaranya tercekat di tenggorokan.
Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi tampak begitu susah payah, “Stttt…Kau tidak boleh bicara dulu,” gumam Serena lembut, mencegah Rafi berusaha terlalu keras, “mereka memasang selang di tenggorokanmu, untuk makanan, kau koma selama kurang lebih dua tahun.”
Mata Rafi menatap Serena, tampak tersiksa, dan dengan lembut Serena mengusap air mata di pipi Rafi, “Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka akan melepas selang itu dan kau akan bisa berbicara lagi, tapi sekarang, kau cukup mengangguk atau menggeleng saja ya, sekarang…” Serena menelan ludah, menahan isak tangis yang dalam, “Sekarang kita harus mensyukuri karena kau akhirnya terbangun, ya?”
Rafi menganggukkan kepalanya, dan seulas senyum dengan susah payah muncul dari bibirnya.
“Sekarang istirahatlah dulu, dokter akan mengecek kondisimu lagi.” bisik Serena lembut ketika melihat isyarat dari dokter yang menunggui mereka.
Ketika Serena akan beranjak, genggaman Rafi di tangannya menguat, Dengan lembut Serena menoleh dan memberikan senyuman penuh cinta kepada Rafi.
“Aku tidak akan kemana-mana, aku harus menyingkir karena dokter akan memeriksamu lagi, tapi aku tidak akan kemana-mana, aku akan berada di dekat sini sehingga saat kau butuh nanti aku akan langsung datang.”
Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu mau mengerti. Dengan lembut Serena mengecup dahi Rafi dan melangkah menjauh keluar ruangan perawatan. Air matanya mengucur dengan derasnya ketika dia melangkah menghampiri suster Ana. Suster Ana masih berdiri di sana dan Serena langsung berlari ke arahnya, menangis keras-keras.
“Dia sadar suster…dia akhirnya sadar…aku masih tak percaya, selama ini aku hampir kehilangan harapan. Mulai berpikir kalau Rafi memang tidak mau bangun, mulai berpikir kalau semua perjuanganku ini sia-sia… Tapi sekarang…”, Serena terisak, “Aku tak percaya bahwa pada akhirnya dia sadar… dia kembali dari tidur panjangnya, dia ada di sini untuk aku…“
Dengan lembut Suster Ana mengelus rambut Serena, “Ini semua karena perjuanganmu Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka ia mengabulkannya.” mata suster Ana juga berkaca-kaca, terharu melihat pasangan yang sudah hampir menjadi legenda karena kekuatan cintanya di rumah sakit ini, akhirnya akan berujung bahagia.
Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian di ujung ruangan, masih bersandar di pintu lorong ruang perawatan, dengan wajah tanpa ekspresi.
Dengan lembut dilepaskannya Serena dari pelukannya, “Eh mungkin aku harus pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin kalian bicarakan?“ suster Ana mengedikkan bahunya ke arah Damian,
Baru saat itulah sejak pemberitahuan suster Ana tadi, Serena menyadari kehadiran Damian di ruangan itu. Pipinya langsung memerah mengingat pernyataan cinta Damian, sesaat sebelumnya. Tapi dia sungguh tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah Suster Ana meninggalkan ruangan itu, suasana menjadi canggung, dalam keheningan yang tidak menyenangkan.
“Dia sadar.” gumam Damian akhirnya, memecah keheningan. Serena menganggukkan kepalanya, belum mampu bersuara. Damian tampak berfikir, “Kau bahagia?” tanyanya kemudian, lembut.
Serena mengernyitkan keningnya, Damian telah berubah, menjadi sedikit lebih manusiawi, menjadi sedikit mudah disentuh. Damian yang dulu tidak akan mungkin menanyakan itu padanya. Damian yang dulu pasti akan langsung memaksa membawanya pulang tanpa peduli perasaan Serena.
“Ya, aku bahagia.” seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan Rafi.
Damian mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika membayangkan lelaki lain, ketika membayangkan Rafi.
“Bagus,” gumamnya datar, kemudian menatap Serena lembut, “mungkin kita harus melakukan pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak ini, tetapi aku tidak mau mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan kondisi Rafi… jadi kupikir aku akan kembali lagi saja nanti.”
“Terima kasih Damian.” akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan. Damian tersenyum miring,
“Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih, Serena yang aneh.” dengan hati-hati Damian mendekat, lalu setelah yakin bahwa Serena tak akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya, “Ingat kata-kataku tadi.” bisiknya lembut, lalu menunduk dan memberikan Serena sebuah ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena.
Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku, memegangi bibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.
***
“Dia sadar.” Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.
Vanessa, yang masih bersama Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah menceritakan semuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari komanya. Dan sekarang lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata ‘dia sadar’ ‘dia sadar’ sambil menatap keluar.
Vanessa menarik napas mulai tak sabar, sedangkan Freddy hanya mengetuk- ketukkan tanggannya di lutut. Damian masih belum menunjukkan tanda-tanda memaafkannya jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.
“Kurasa karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya memutuskan untuk melepaskan Serena?”
Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan tajam menghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
“Dia belum memilih,” gumam Damian setengah menggeram. “detik terakhir sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku dan aku yakin akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku.”
“Sudahlah Damian, sekarang kan tunangannya yang setia ditungguinya selama dua tahun sudah sadar, kau tidak bisa……” tanpa sadar Freddy bersuara memberikan pendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti mendadak ketika menerima tatapan tajam penuh permusuhan dari Damian, “Aku….aku hanya mencoba memaparkan kenyataan di depanmu.” suara Freddy hilang tertelan karena tatapan Damian makin tajam.
Vanessa menghela napas sekali lagi, “Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah merupakan tujuan hidup Serena selama ini? Biarkan mereka berbahagia Damian, mereka pantas mendapatkannya setelah tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang menyiksa.”
“Tidak!” Damian tetap bersikeras, “aku tidak bisa menyerah begitu saja dan membiarkan Serena salah memilih. Dia mencintaiku. Perasaannya pada Rafi mungkin hanya kasihan.”
“Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin hanya perasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan? Kau pernah dengar apa itu Stockholm Syndrome?” sela Vanessa jengkel.
Damian tercenung, tentu saja dia tahu apa itu Stockholm Syndrome, dan menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena kepadanya mungkin ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar diusapnya rambutnya,
“Aku akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya lebih baik.”
Vanessa tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa lagi.
***
Dua hari kemudian, Serena berdiri di depan ruangan perawatan Rafi dengan cemas, tangannya menggenggam tangan suster ana setengah menangis. Matanya semakin berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam. Teriakan Rafi.
“Suster….” hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang dikeluarkan Rafi setelah 2 tahun adalah teriakan kesakitan.
“Tidak apa-apa Serena, itu pertanda bagus, Rafi memang kesakitan, mereka sedang melepas selang di tenggorokan dan di dadanya, tetapi kalau Rafi bisa mengeluarkan suara, itu pertanda kondisinya sudah semakin membaik.” suster Ana menggenggam tangan Serena, membagikan kekuatannya.
Suara teriakan itu terdengar lagi, begitu serak hingga Serena hampir tak mengenalinya. Air matanya mulai menetes satu-satu tanpa dapat ditahannya.
“Berapa lama lagi suster?” menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan yang paling mengerikan.
“Sebentar lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya,” dengan lembut suster Ana mengusap-usap Serena, “dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan banyak kesakitan lagi, tapi ini proses penyembuhan, dia pasti akan sembuh.”
Serena menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.
Penantian itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan perawat keluar dan mengizinkan Serena masuk.
Dengan hati-hati, Serena melangkah masuk ke ruangan perawatan Rafi. Ruangan yang sangat akrab, sangat dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda, Rafinya tidak tidur. Rafinya tidak menutup mata, dia bangun, sadar dan hidup. Hati Serena sesak oleh euforia yang membuncah.
Serena duduk di sebelah ranjang, dan Rafi langsung menyadari kehadirannya, tangannya membuka dan dengan lembut Serena menyelipkan jemarinya kesana.
“Hai”, sapa Serena lembut.
Rafi tersenyum, lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata menyakitinya, “Sa…kit”, gumamnya susah payah.
Serena tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus, berhati-hati agar tidak menyentuh luka di dadanya, “Mereka sudah melepas selang di tenggorokan dan dadamu”, Rafi mengeryit lagi.
“Berapa lama?”, suaranya serak dan terpatah-patah.
“Apanya?”
“Tidur… Berapa lama?” Serena mendesah lembut.
“Dua tahun”, jawabnya pelan. Dan langsung menerima tatapan penuh kesedihan dari Rafi, “Tapi dua tahun tidak terasa lama kok, yang penting kau bangun, kau berjuang dan aku bangga padamu.” sambung Serena cepat-cepat.
Rafi tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit lagi, “Mama… Papa….?”
Serena menggenggam tangan Rafi erat-erat, “Mereka meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi.”
Dan hati Serena bagaikan diremas-remas ketika melihat Rafi memejamkan mata dan menangis, dengan lembut diusapnya air mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu yang pucat dan tirus.
“Tapi aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang, mengetahui kau sudah sadar.”
Rafi membuka matanya dan menatap Serena lembut, “Maaf.”
“Kenapa?” Serena mengernyit.
“Karena… Kau… Ditinggal..sendiri…” Air mata ikut mengalir di pipi Serena.
“Aku tidak apa-apa, lihat? Aku sehat dan baik-baik saja. Aku bertahan buat kamu. Dan sekarang kamu yang harus berjuang buat aku ya, kamu harus berjuang untuk pulih lagi, bersamaku.”
Rafi mengangguk dan memejamkan mata, percakapan singkat itu membuatnya begitu kelelahan,
Dengan lembut Serena mengusap rambut Rafi, “Istirahatlah sayang, tidurlah, aku akan ada saat kau terlelap, aku akan ada saat kau bangun lagi.”
Dengan lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu berubah teratur dan tertidur pulas.
“Dia kuat, dia akan baik-baik saja.”
Suara dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia menoleh dan mendapati dokter Vanessa sudah berdiri di sana, entah sejak berapa lama.
“Dokter Vanessa?”
Vanessa tersenyum dan melangkah mendekat.
“Yah kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini bersama seseorang.” Vanessa mengedikkan kepalanya ke arah pintu, Serena mengikuti arah pandangan Vanessa dan wajahnya memucat melihat Freddy berdiri di sana, tidak melangkah masuk, hanya berdiri di ambang pintu dengan ragu-ragu.
“Dia datang untuk minta maaf.” jelas Vanessa lembut begitu melihat ekspresi takut Serena, “dia sudah meminta maaf kepada Damian dan Damian mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena kaulah yang dilukainya.”
Damian. Nama itu melintas di benak Serena. Damian dan pernyataan cintanya. Tiba-tiba dada Serena terasa penuh, tapi lalu dia mengernyit. Tidak, dia harus membunuh perasaan apapun itu yang muncul untuk Damian. Dia harus fokus kepada Rafi.
“Mungkin kita bisa berbicara di luar?” Vanessa berucap setengah berbisik, melirik ke Rafi yang sedang tertidur pulas.
Serena mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan diam-diam Freddy mengikuti mereka.
“Maaf,” gumam Freddy ketika mereka sudah ada di lorong yang sepi, dia mengeryit sedikit ketika melihat bahwa Serena menjaga jarak kepadanya, sedikit berlindung di belakang Vanessa, terlihat takut kepadanya.
Freddy mengusap rambutnya penuh perasaan bersalah, “aku sendiri tak tahu setan apa yang menghinggapiku saat itu, aku salah paham dan berbuat fatal… Mungkin aku memang pantas menerima luka-luka akibat semua pukulan ini….” Freddy mencoba menatap Serena selembut mungkin, menunjukkan ketulusannya sebesar mungkin agar Serena yakin, “kumohon jangan takut kepadaku Serena, aku minta maaf, aku benar-benar menyesal, aku malu.”
Kata-kata itu merasuk ke dalam jiwa Serena, dia menatap lelaki di depannya ini. Dia memang tidak terlalu akrab dengan pengacara Damian ini, mereka berinteraksi hanya kalau perlu dan kebanyakan Freddy hanya berinteraksi dengan Damian, mengabaikannya. Tetapi sekarang lelaki ini terlihat begitu tulus, tulus dan berantakan, dengan memar di mana-mana, meskipun tidak mengurangi ketampanannya.
Serena mencoba menganguk dan memunculkan senyum kecil meskipun dia masih menjaga jarak, “Iya”, jawabnya pelan.
Freddy menatap Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang dilihat di mata Serena adalah ketulusan,
“Aku dimaafkan?” tanyanya pelan.
Serena akhirnya tersenyum lepas, “Iya.”
Dengan lembut Freddy membalas senyuman Serena, “Sekarang aku tahu kenapa hati Damian yang keras itu bisa melumer menjadi begitu lembut.” gumamnya pelan, membuat pipi Serena merona.
Dengan lega Vanessa menarik napas panjang.
“Kalau begini masalah sudah selesai,” Vanessa menoleh ke arah Freddy, “nah Freddy bisakah kau ke tempat lain dulu? Aku ingin berbicara berdua dengan Serena, percakapan dokter dengan keluarga pasien, kau tahu.”
Freddy meringis dengan pengusiran itu, lalu mengangguk, “Oke, telpon aku kalau kalian sudah selesai.” gumamnya dan membalikkan tubuh melangkah pergi setengah diseret mengingat kondisinya yang babak belur setelah dihajar habis-habisan.
Mereka berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum, “Dia sangat menyesal kau tahu.”
Serena mengangguk, “Saya mengerti,” lalu Serena menatap Vanessa dengan penuh ingin tahu, “Dokter ingin berbicara tentang apa kepada saya?” kecemasan tampak terdengar dari suara Serena, apakah terjadi sesuatu dengan Rafi?
Vanessa tersenyum mencoba menenangkan Serena, “Tenang saja, Rafi akan baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan dokter yang menangani Rafi, dia bilang Rafi bisa kembali pulih meski proses pemulihannya bisa berlangsung lama,” dengan lembut Vanessa menggenggam tangan Serena, “Serena apakah dokter sudah memberitahukan kepadamu tentang kemungkinan…. Kemungkinan bahwa Rafi bisa lumpuh selamanya?”
Serena mengangguk, tidak tampak terkejut, “Pada saat Rafi jatuh koma pun, dokter sudah memberitahukan kemungkinan itu kepada saya, dokter bilang kalau meskipun nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh selamanya.”
“Tapi kemungkinannya tidak seratus persen, masih ada harapan 20 persen bahwa Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan yang tepat…..”
“Maksud dokter?”, Serena mengernyitkan keningnya,
“Maksudku, aku merekomendasikan diriku untuk merawat Rafi, kau tahu aku sedang mendalami spesialisasi pemulihan tulang dan saraf, jadi aku bisa merawat Rafi dengan baik….. Nanti ketika dia sudah boleh keluar dari rumah sakit, Rafi harus terus menjalani terapi dengan begitu masih ada kemungkinan dia bisa berjalan lagi.”
“Apakah…. Apakah dokter diminta Damian melakukannya?” Serena menatap dokter Vanessa sedikit curiga. Kebaikan hati perempuan cantik di depannya ini tampak diluar dugaan, apakah Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini kepadanya?
Vanessa mengangkat bahu dan tersenyum lagi, “Damian memintaku memang, tapi bukan itu alasan aku ingin merawat Rafi,” Vanessa menepuk pundak Serena hangat, “Kau tahu almarhum suamiku…. Dia meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan kedua orang tuamu dan melukai rafi.”
“Astaga”, Serena menutup mulutnya dengan jemarinya, terkejut.
“Yah astaga”, Vanessa tersenyum, “dunia ini sempit bukan? Kadang kebetulan- kebetulan yang terjadi sering membuatku bertanya-tanya,” tatapan Vanessa berubah serius, “tapi sungguh Serena, kondisi Rafi ini kupandang sebagai kesempatan kedua, aku tidak bisa merawat suamiku pada saat itu, tapi kurasa Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat korban yang selamat dari kecelakaan yang sama, itupun kalau kau mengizinkan.”
Serena menganggukkan kepalanya, terharu, “Iya dokter, saya akan senang dan lega sekali menyerahkan perawatan Rafi di tangan dokter.”
***
Advertisements Share this: