Pertama kali saya melihat Okky Madasari di sebuah panel literatur, saya kira dia artis:
Okky Madasari di tengah sedang tersenyumTernyata beliau adalah penulis beberapa novel, yang salah satunya berjudul Entrok. Entrok pun diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Years of the Voiceless. Arti “entrok” itu sendiri adalah pakaian dalam wanita/bra, itulah mengapa sampul novel Entrok menampilkan seseorang yang sedang menggunakan bra. Pernahkah terpikir betapa menakutkan hidup ini apabila kelompok intelektual bersenjata yang kewajibannya ialah melindungi masyarakat, malah memeras orang awam secara semena-mena? Itulah mengapa versi Inggris novel ini disebut sebagai The Years of the Voiceless —- tahun-tahun dimana masyarakat kecil tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan opini mereka.
foto dari google brooNovel Entrok fokus kepada pasangan ibu dan anak — sang ibu bernama Sumarni, sedangkan anaknya bernama Rahayu. Pertama kali membaca novel ini memang agak membingungkan, sebab cerita diawali dengan sebuah prolog yang seharusnya berada di akhir novel. Prolog dengan judul Setelah Kematian ini merupakan kisah akhir dari sudut pandang Rahayu, dimana ia berusaha menghibur ibunya untuk bangkit dari kepedihan dan depresi. Prolog Setelah Kematian ini kemudian diikuti oleh 7 bab dengan tulisan tahun kejadiannya:
Ketika ia kecil, hidup Sumarni susah. Ia harus pergi ke pasar dengan ibunya untuk mengupas singkong. Mereka berdua hanya mendapatkan upah bahan makanan atas hasil kerja keras tersebut. Karena tidak mendapatkan uang sesungguhnya, Sumarni tidak bisa membeli entrok/bra saat ia menginjak pubertas. Tidak ingin dikalahkan oleh nasib, Sumarni pun berinisiatif untuk nguli setiap pagi agar dapat membeli sebuah entrok. Otak Sumarni berputar semakin cepat ketika ia menginginkan uang. Sumarni pun memutuskan untuk kulakan (membeli barang yang kemudian dijual dengan harga lebih mahal). Selain kulakan, Sumarni juga meminjamkan uang kepada tetangganya yang membutuhkan; uang tersebut harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu dengan persenan. Melalui kegiatan masa kecilnya di pasar, Sumarni belajar banyak mengenai bisnis dan pertengkaran antara dua wanita dengan suami yang sama — Sumarni kecil sering mendengarkan ibu-ibu dengan bebas mengucapkan kata lonte. Saat ia beranjak remaja, Sumarni memutuskan untuk menikah dengan kuli bernama Suteja. Masa-masa awal mereka berkeluarga sangatlah tentram. Namun, kehidupan mereka mulai terganggu ketika individu-individu dengan jabatan tinggi seperti lurah, bupati, hingga tentara, menginginkan sebagian dari kekayaan mereka. Sumarni merasa tidak adil, uang yang selama ini ia kumpulkan dengan susah payah haruslah pergi dengan begitu saja. Akan tetapi, Sumarni sangat takut dipenjara ataupun ditembak oleh individu berpangkat tinggi dan bersenjata tersebut. Dengan terpaksa, ia pun memberikan sebagian uangnya setiap bulan kepada orang-orang berpangkat itu. Terkadang ia berpikir, mengapa orang berseragam loreng dengan senapan yang seharusnya memberi perlindungan, malahan memberi kecemasan bertubi-tubi? Sumarni tidak peduli dan terus bekerja keras sehingga ia dapat hidup nyaman. Tetapi, kehidupan berputar seperti roda. Dan Sumarni merasa selalu saja berada di bawah. Sahabatnya yang keturunan Tionghua ditangkap tanpa nasib yang pasti, hanya karena dianggap sebagai penyembah dewa. Anak satu-satunya, Rahayu, yang ia sekolahkan dengan susah payah hingga universitas, memilih menikah dengan lelaki beristri. Karena Sumarni tidak memeluk agama, ia dituduh sebagai pendosa yang selalu melakukan pesugihan dengan tumbal. Selain itu ia juga dijuluki sebagai rentenir, karena ia selalu menagih hutang orang-orang atas uang nya sendiri. Selalu memberikan persenan sebesar 8% kepada orang yang berhutang kepadanya, Sumarni harus mengalah saat institusi besar seperti bank memberikan persenan sebesar 3% saja. Saat suaminya meninggal, Sumarni harus berhadapan dengan seorang wanita yang mengaku sebagai istri kedua Suteja. Wanita ini bersikeras meminta setengah dari harta kekayaan Sumarni, sehingga mereka bertengkar hebat. Saat itulah Sumarni teringat akan kejadian yang sering ia lihat saat kecil di pasar, dimana dua orang wanita bertengkar dikarenakan oleh satu pria. Tidak sampai disitu saja, Sumarni harus rela melihat anak satu-satunya dipenjara. Selama puluhan tahun, Sumarni berusaha agar tidak ditembak ataupun dipenjara oleh pihak otoriter; oleh karena itu, ia selalu rajin memberikan uang suapan. Sekarang, ia harus melihat anaknya sendiri dipenjara.
Semenjak Rahayu duduk di Sekolah Dasar, ia selalu mendengar desas-desus tak sedap tentang ibunya. Mereka mengatakan bahwa Sumarni memelihara tuyul, melakukan pesugihan, dan dianggap sebagai seorang lintah darat serta rentenir kurang ajar. Rahayu mengerti tentang kebiasaan ibunya menyembah “Mbah Ibu/Bapak Bumi MahaKuasa”, tetapi ia tidak percaya apabila beliau memelihara tuyul (“Mosok ibuku nduwe tuyul to?“). Beranjak remaja, Rahayu tumbuh menjadi seorang intelektual dan rohaniwan. Ia mulai merasa malu akan ibunya yang ia anggap sebagai pendosa karena menyembah dewa. Rahayu bersitekad untuk tidak kembali ke rumah setelah menyelesaikan kuliahnya di luar kota. Mulai saat itulah Rahayu melihat kekejaman yang dilakukan pihak otoriter bersenjata atas kaum awam, pemerkosaan keji, serta pembunuhan. Saat menjadi mahasiswa pada tahun 1980an, Rahayu melihat pembunuhan oleh tentara atas rakyat kecil yang tidak sengaja kentut. Ketika Rahayu menjadi seorang guru di sebuah desa yang akan digusur oleh negara berbumbu kapitalisme, ia melihat suaminya (Amri) meninggal karena ditembak oleh otoriter bersenjata tepat di bagian perut. Rahayu juga melihat salah satu muridnya yang masih berumur 12 tahun diperkosa oleh pamannya sendiri dan disuruh ayahnya untuk ngelonte kepada tentara, agar tanah mereka tidak jadi digusur. Pada akhirnya, Rahayu sendiri pun diperkosa oleh pihak otoriter tersebut, dan harus dipenjara selama bertahun-tahun karena ia termasuk salah satu demonstran penggusuran tanah.
Pada akhirnya, Sumarni dapat bertemu kembali dengan anaknya, setelah bertahun-tahun terpisah. Rahayu yang dulunya menganggap Sumarni sebagai pendosa, mulai toleran terhadap pilihan ibunya mengenai siapa yang beliau sembah. Sumarni mengetahui bahwa Rahayu tidak dapat lagi bekerja dikarenakan oleh cap “Bekas Narapidana” yang terdapat di KTP. Ia melihat Rahayu menjadi seorang yang telah mati jauh sebelum tanggal kematian yang sebenarnya. Dalam bab Raga Hampa, Sumarni gagal menikahkan Rahayu dengan pria layak (lelaki tersebut mengetahui bahwa Rahayu adalah bekas narapidana) — jiwa Sumarni pun hilang entah kemana, dan pikirannya menjadi tidak beres.
Walau dikemas dengan bahasa sederhana bercampur kosa-kata Jawa, novel Entrok menceritakan alur yang berat. Okky Madasari menulis mengenai pihak otoriter bersenjata yang berbuat semena-mena atas rakyat awam, pemerasan uang, pemerkosaan, perbedaan agama, perselingkuhan pria berujung dengan pertengkaran antar 2 wanita, serta yang terpenting — kasih antara ibu dan anak. Hidup Sumarni dan Rahayu tidaklah sempurna, selalu naik turun. Tetapi pada akhirnya mereka kembali bahagia, karena begitulah hidup. Kadang senang dan kadang susah, selalu begitu bagi manusia awam.
Sumber foto: Google
Advertisements Share this: