Lelaki Berinisial R

Semalam aku bermimpi tentang seorang kawan lama. Dalam mimpi tersebut, aku dan dia akan melakukan perjalanan ke Leuwiliang. Setahuku itu daerah di Bogor. Aku mencoba kembali mengingat apakah seharian kemarin aku ada terlintas pikiran tentangnya. Karena aku berhipotesa bahwa setiap mimpi yang kualami jika menyangkut seseorang berarti hari itu sebelum tertidur aku terlintas memikirkannya. Memang tidak semuanya, tapi sebagian besar mimpiku berawal seperti itu.

Kami melakukan perjalanan. Wajahnya. Tidak salah lagi dia adalah R.

R, teman sekolahku dulu. Teman yang kutaksir diam-diam. Hingga saat ini tidak ada satu orangpun tahu bahwa aku pernah menyukainya, bahkan sahabatku sendiri yang juga akrab dengannya. Aku dan R pernah sekelas.

Entah darimana awal mulanya. Semua terjadi begitu saja. Awal semester, aku melihatnya dari belakang. Aku duduk di barisan paling belakang pojok kiri, ia duduk di barisan kedua dari depan pojok kanan. Kami berasal dari sekolah yang berlainan hingga akhirnya satu kelas.

Rasa itu perlahan berkembang. Aku mulai mengulik informasi tentangnya. R ternyata lihai dalam olahraga basket. Namun, R begitu misterius. Ia sangat tertutup. Jika teman-teman lelakiku yang lain masih bisa berhahahihi dengan teman-teman perempuan, nah, R ini agak ‘pelit’ berteman. Dari pengamatanku, hanya satu dua orang saja yang terlihat akrab dengannya, itupun laki-laki.

Aku suka melihatnya mendribel bola basket saat jam pelajaran olahraga sekolah. Benar kata teman-temanku, dia memang lihai bermain basket. Gerakannya lincah. Kutangkap satu kebiasaannya kala ia hendak memasukkan bola dalam keranjang, ia kerap menjulurkan lidah. Hahaha.. lucu. Saking menjiwainya mungkin, sama halnya jika seorang pianis atau violis yang menutup mata jika sedang memainkan instrumennya.

Kata teman-teman, R juga mahir memainkan alat musik, khususnya gitar. Aku makin terkagum-kagum setelah mengetahuinya. Sayangnya, saat itu hingga saat ini aku belum pernah memergokinya tengah memainkan gitar.

Suatu hari hingga bel berbunyi dan guru memasuki kelas, kulihat bangku R kosong. Aku bertanya-tanya dalam hati, kemana dia, kenapa tidak masuk. Bahkan guruku pun menanyakannya kepada kami semua ketika mengabsen. Kami semua mengedarkan pandangan, bertatapan satu sama lain, bertanya dalam diam mungkin ada yang tahu alasan R tidak masuk. Kemudian, salah satu teman akrab R yang juga teman semejanya bersuara. Ternyata R mengalami kecelakaan. Aku seketika diserang rasa pilu memandang bangku R yang tak berpenghuni.

Tiga hari kemudian, aku masuk kelas bertepatan dengan bel masuk sekolah berbunyi. Aku meletakkan tasku tergesa-gesa kemudian duduk. Saat mengedarkan pandangan, kulihat R sudah masuk. Aku menyunggingkan senyum. Sedetik kemudian, senyumku memudar. Aku melihat tangan kiri R dibalut gips. Kenapa dia, aku bertanya-tanya.

Jujur, aku juga tak bernyali untuk lebih dekat dengan R saat itu. Bahkan untuk sekadar menanyakan perihal tangannya yang digips saja aku tak berani, padahal kami sekelas, apa salahnya menanyakan. Ah, nyaliku ciut untuk hal yang satu ini.

Dengan tangan digips, tentu saja R tidak bisa mengikuti kelas olahraga. Saat kami semua sedang olahraga, ia hanya di pojokan lapangan memainkan bola atau mengedarkan pandangan kesana kemari.

Suatu kali aku mendapatkan kesempatan dekat dengan R. Saat itu pelajaran Sejarah, kami semua diminta guru wali kelas untuk mencatat bab penjelasan yang ditulis di papan tulis karena guru Sejarah kami saat itu ada keperluan hingga absen mengajar. Kemudian guru wali kelas menitipkan ketertiban kelas ke ketua kelas lalu pergi ke kelas lain dimana ia kedapatan jam mengajar.

Tidak ada guru adalah sukacita bagi kami, aku rasa juga bagi semua murid di sekolah manapun, benar tidak? Murid-murid yang rajin mematuhi amanah guru wali kelas, termasuk aku, sedangkan yang agak pemberontak memutuskan bermain-main atau menyelinap ke kantin sekolah. Karena aku duduk di barisan belakang, aku sedikit terganggu dengan tulisan sekretaris kelas yang menulis terlalu kecil padahal sudah kami protes. Aku mengalah, aku menarik bangku ke barisan meja paling depan menebeng dua meja teman yang dirapatkan jadi satu.

Saat tengah khusyuk menulis, aku menyadari seseorang telah duduk di samping kananku yang sebelumnya kosong. Aku menaikkan pandangan, menatap wajah orang di sampingku.

Ternyata, R.

Aku sadar mataku agak membelalak karena kaget. Aku mengalihkan pandangan ke buku catatanku kemudian ganti ke papan tulis, tak benar-benar menatap yang ada di depanku. Penglihatanku masih tertinggal pada sosok di sebelah kananku.

Aku kemudian menguasai diriku, menarik dan menghela nafas panjang, menenangkan diri. Entah kenapa, naluri isengku muncul. Aku membubuhkan coretan gambar di buku catatan R, mengganggunya. R kemudian diam sejenak mungkin kaget dengan aksi spontanku itu. Kemudian dia tersenyum, mengembang jadi tawa kecil, lalu geleng-geleng kepala, menatapku sambil berkata:

Tela, Tela, lu mah bisa aja bikin orang ketawa.

Aku terpana dengan tawanya terlebih ucapannya. Kemudian aku kembali mencatat. Sambil menulis sebenarnya aku malu sekaligus tersipu-sipu dengan ucapannya barusan. Aku dan R diam saja berdampingan sepanjang jam pelajaran saat itu.

Berkat mimpi semalam, aku jadi kembali menyusun kepingan-kepingan memori tentang R dulu. Setelah kejadian di kelas itu, aku jadi teringat R pernah membuatku tersipu-sipu untuk kedua kalinya.

Kejadiannya terjadi di Facebook. Seingatku saat itu kami sudah lulus dari sekolah, tidak berkomunikasi atau bertemu lagi pasca lulus. Aku mempublikasikan sebuah status. Kurang lebih isi statusku saat itu menuliskan tentang imajinasiku apabila sedang berdiri di atas motor, kemudian kurentangkan kedua tangan, laju motor yang kencang membuat angin menerpa wajahku, mempermainkan rambutku, dilatari lampu-lampu kuning jalanan.

Tak lama berselang kemudian, statusku itu mendapat komentar dari R. Kurang lebih R menuliskan begini:

Bagus, Tel status lu, imajinatif. Lu punya bakat menulis.

Aku kembali tersipu-sipu dibuatnya. Ah, R, tahukah kamu, hatiku berdebar-debar membacanya…hahaha..terima kasih, R.

Siang ini masih dalam nuansa mimpi tentang R, aku menonton kembali film berjudul Song One yang diperankan oleh Anne Hathaway dan Johnny Flynn. Sebuah film manis berkisah tentang seorang kakak bernama Franny yang terlibat perasaan dengan musisi folk favorit (James Forrester) adiknya yang tengah koma karena kecelakaan.

Film ini manis sekali, banyak adegan ketika Franny dan James sedang mengulik gitar, bernyanyi, dan menciptakan lirik lagu bersama-sama.

Seketika pikiranku liar. Kenapa pikiranku tertuju pada R..hahaha.

Aku memang punya obsesi suatu hari nanti bisa bernyanyi sembari diiringi gitar oleh siapapun lelaki spesial di hati. Namun, lagi lagi gara-gara mimpi semalam, aku menarik R dalam lamunanku. Aku membayangkan ia mengiringiku bernyanyi dengan gitarnya itu. Angin berhembus, malam berbintang, lampu jalanan berpendaran.

Mungkin lagu I Need You oleh band America yang dinyanyikan Franny di film Song One itu bisa jadi lagu yang akan aku nyanyikan, seandainya …….

Advertisements Share this:
  • More
Like this:Like Loading... Related