Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan… tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan berjanji akan selalu ada bersama mereka.
Tahun lalu, ketika masih ‘pejuang magang’ mode on, Maristha ngajakin gue nonton film Sabtu Bersama Bapak. Waktu itu, gue yang emang masih skeptis sama film lokal tbh, until now *lol* rada males. Terlebih gue emang lagi hectic ngurusin buat PPL. Tapi, setelah bujuk rayu ular mautnya, gue luluh juga. Ketika itu juga, gue harus merelakan punggung gue jadi pegel karena harus nonton di bioskop yang, katakanlah, bukan langganan gue nonton. Malah, gue paling anti kalo diajak nonton disitu. Prinsip gue, mending ga jadi nonton daripada harus nonton disitu. Wkwkwk *iya, gue emang idealisnya sampe ke hal beginian*
Kali ini, gue bukan mau cerita lagi tentang filmnya, karena udah gue posting juga. Now, I’d like to tell you after I finished reading the novel.
Adhitya Mulya dikenal sebagai salah seorang novelis Indonesia yang produktif. Too bad, gue baru kenal beliau ketika film SBB rilis. Padahal, novelnya sendiri udah dua puluh lima kali cetak ulang di tahun 2016 kemarin.
Gue ulangi, pemirsa : dua puluh lima kali.
DUA PULUH LIMA.
25 X.
WAPULUHLIMAKALI SODARA-SODARA!!!!
Itu tahun lalu loh ya. Tahun ini, gue gak tau udah naik cetakan ulang ke berapa. SBB ini pun sebenernya ga sengaja kebeli. Awalnya gue mau nyari buku-buku sejarah buat diserahin ke perpustakaan sebagai prasyarat yudisium. Eh, ternyata budget gue masih ada lebih, yaudah salah satu bucket list dari sejak filmnya rilis ini kebeli juga deh! *terharu* Hahaha, tapi yaa begini ini yang kadang bikin gue berasa jadi pithecanthropus lagi. Astaga… selama ini gue kemana aja??? *jiwa book-worm gue langsung mewek di pojokan meratapi nasib karena kudet*
Tapi ya udah sih. Better late than never.
#StayChill
#PadahalNyeselAbis
T___T
Sampe sekarang, gue masih amazed kalo SBB ini ternyata novel alias beneran fiksi. Pertamanya gue pikir ini merupakan based on true story-nya bang Adhit. Ulala~~~ ternyata oh ternyata, “Saya sering berpikir, apa yang ada di dalam benak seorang ayah di detik terakhir sebelum dia berpulang.” (Prakata, paragraph ke 2)
Duh, mak. Baru baca prakatanya aja nih jujur ya, gue udah melting banget. Seketika benak gue juga ikut mikir, “Masih ada gak ya, stok kaya bang Adhit ini buat calon suami?” *tuhkan malah kebablasan ngelantur lagi Risda -__- *
Okayyyy, enough for my chit-chat. Sekarang gue beneran mau beneran ‘ngebedah’ buku ini. But, as usual. SPOILER ALERT!!!!
Cover buku yang gue beli ini kebetulan adalah hasil cetakan ulang ke-25. Dan dari apa yang gue liat, SBB ini punya cover yang cukup catchy. Simple, tapi cukup mewakili keseluruhan isi buku. Pun demikian dengan cover bagian blurb-nya. Satu hal yang mungkin menurut gue ‘gak banget’ untuk covernya ini adalah, pemilihan font yang bold dan kaku. But, that’s okay. At least, first impression nya dapet nilai 75 deh.