Rate this book

Travellous: A Travel Journal (2009)

by Andrei Budiman(Favorite Author)
3.52 of 5 Votes: 5
languge
English
genre
publisher
Travellous Publishing
review 1: Tulisan di bawah ini bukan review saya, hanya review dari pembaca Travellous yang mereview dengan baiknya karya saya:Setengah subuh, setengah buku, awalnya tak terpikir untuk membaca buku sejenis ini, sampai saya bertamu ke rumah artdeco di krasak. dan bertemulah dengan Andrei...yang kabarnya Budiman dan sudah hampir jadi "highlander kampus", mendekati abadi, hahahabermalam di rumah nyaman ini, dengan suasana kampung halaman yang membuat setiap mahasiswa rantau akan diajak bernostalgia, dan nostalgialah yang dibawa Travellous, yang membuat saya mesti tak tidur lagi malam ini.dan sesudah setengah buku, merah marun lantai marmer buat saya kangen menyesap rokok gendut montok yang udah tandas dari bungkusnya, terbayang bagaimana si Rei yang tak bisa iseng seenaknya merokok di ... moresana, di Eropa.saya melangkah meninggalkan rumah, menuju jalan sepi, kabarnya trotoar di jogja suka begadang. dan saya tau di belokan ada angkringan. namun malam ini tampaknya angkringan malas kesiangan, di sana trotoar cuman sendiri, tidur diselimuti bayangan pohon. Mungkin begini rasanya tak ketemu nasi berminggu-minggu, si Rei cuman makan roti kering, cereal dan produk gandum lainnya yang kita kenali sebagai cemilan."Di sini ku masukakan pandiran Banjar jua" katanya, sebelum menyerahkan draft cetakan tak bersampul dengan penjepit karatan. aha..saya selalu punya motivasi lebih untuk membaca saudara sepulau. teringat ketika teman menyadarkan bahwa saya membaca Korrie Layun Rampan, bukan karena dia wartawan yang sastrawan, tapi dia orang Kalimantan.dari hampir setengah Travellous, saya menganggap buku ini harus dihabiskan sekali teguk, habiskan dengan cepat, selagi busanya belum mencair. maka saya harus mencari segelas kopi dan rokok, biar mata ngantuk ini tak terlalu sentimentil dihasut pesona Jules dan Ling. dengan ini marilah ikuti saya ke Stasiun Lempuyangan, di sana pasti ada yang masih menikmati malam.Saya menyusuri rel kosong yang menggigil sunyi, menanti kereta pagi yang akan menggeseknya hangat. tentunya bukan kereta secepat peluru yang ditemui Rei di sana, tentunya bukan stasiun dengan harga air mineral selangit, dengan kantin yang pelit ngasih air panas. di sini, bangku stasiun adalah hostel para penunggu kereta ajaib-- kereta yang tak penah penuh, walau diisi dua kali kapasitasnya.Stasiun tua ini sudah berubah sanasini, tempat parkir dulu jadi deretan warung, ada lampu neon penanda, terbaca "lempuyangan", yang menjadikan stasiun ini mirip kafe malam, dengan norah jones di dalamnya, menyajikan pie blueberry. seperti di film Wong Kar Way itu, salah satu sutradara favorit Rei.dan urat filmnya lah yang membawa Rei ke kontinen asal para penjelajah hingga penjajah, lalu tulisannya mengalir seperti scene-scene stop motion, penuh cuplikan padat; menziarahi eiffel baginya seperti bermalam di mina; lembah Lucerne tak lebih indah dari lelap di pangkuan Jules; ban sepeda bocor adalah keramahan Anne; belajar adalah keceriaan yang ditularkan Ling; indahnya pedesaan ada di jempol para hicthhiker.saya akhirnya menemukan tujuan, warung yang masih buka, di trotoar depan stasiun yang masih belum kering, akhir-akhir ini jogja senang mandi. mungkin kota hujan tak lagi di sana, di tempat Rei pernah menambat sauh, begitu lama, pada yang ditulisnya dengan F yang kapital.setelah membeli bekal untuk menenggak sisa Travellous, saya menyusuri jalan sepanjang lempuyangan, berderet puluhan becak di sana, lelap bersama sang tuan yang meringkuk di perutnya, seperti kangguru dan anaknya. terbayang mereka lelah bekerja seharian, pasti hasilnya tak pernah mendekati uang yang di dapatkan Rei saat kerja membolongi kertas untuk menyambung jalan, di Belanda. dan enaknya, tak ada pekerjaan yang inferior di sana, kata Rei, mungkin itulah impian benua biru yang dikejar banyak orang.menuju jalan pulang, ada beberapa rel mati dan gerbong yang tak terpakai, detail yang begitu sendu saat malam setengah subuh seperti ini, suasana yang sama saat menikmati hubungan Rei dengan sahabat lamanya, yang mendapatkan hadiah terakhir dari ibu di Indonesia: sekantung beras. Atau Ali yang bersepeda meninggalkan Iran, yang sudah kenyang diajar jalanan, detail ini bukan ornamen, kecil memang, namun kadang tak kalah indah dari bangunan besar yang selalu dipindahkan Jules ke gambar-gambarnya.dan saat hari terang Travellous sudah tertenggak habis, tak perlu dipikirkan, Rei mengajak kita santai, menikmati bukunya dengan pengalaman yang kita bawa masing-masing, karena perjalanan fisiknya hanya pengantar yang membawa pada dua kata yang jadi tagline blognya: Senyum Dunia.Baihaqi (Fikom Unpad, Bandung)
review 2: Saya sudah lama mencari-cari buku ini di toko buku. Akhirnya ketemu jugaaaa. Faktor utama yang menyebabkan saya tertarik untuk membaca buku ini adalah karena si penulis menceritakan pengalamannya pergi ke Prancis SENDIRIAN. Itu juga mimpi saya, soalnya. :)Di buku ini, Andrei menceritakan perjuangannya yang luar biasa untuk sampai di Prancis. Salut deh pokoknya. Yaaahh..meskipun dibumbui oleh kisah cinta sang penulis juga sih. Tapi, keren kok. FYI, buku ini diadaptasi dari blog milik sang penulis. Dulu saya sempat mampir membaca-baca tulisan di blog tersebut dan saya mengetahui tentang buku ini pertama kali juga dari blog travello.us itu. :)This book is recommended to read. Lagian lumayan tipis kok. Jadi cepet lah bacanya. :p less
Reviews (see all)
nenashort
every person have their own miracle.i wanna like him, got chances to go to everyplace.
muffinman8380
It's so inspiring book.. bikin mupeng,, dan serasa pgn cepet2 menjamah Eropa..
rinkuera21
kerennnn...jadi pengen jalan-jalan ke europe :D
luona
nekat and fun!
duetoy
Cool novel
Write review
Review will shown on site after approval.
(Review will shown on site after approval)
Other books by Andrei Budiman