[Review] Guilty Pleasure by Christian Simamora

Judul: Guilty Pleasure
Penulis: Christian Simamora
Penerbit: GagasMedia
Editor: Alit Tisna Palupi
Proofreader: Jia Effendi
Penata letak: Gita Ramayudha
Desainer cover: Jeffri Fernando
Ilustrasi isi: Levina Lesmana
Ilustrasi paperdoll: Levina Lesmana & Bening
Cetakan: Pertama
Terbitan: 2014
Tebal: xiv + 410 Halaman
ISBN: 978-979-780-713-4
Genre: Contemporary Romance

BLURB

“Berhentilah mencari laki-laki untuk membuatmu bahagia.
Mulailah menjadi perempuan bahagia yang dicari laki-laki.”

Dear pembaca,

Sebelumnya, aku minta maaf karena terpaksa mengakui kalau cerita ini dimulai dengan adegan paling klise di sepanjang sejarah fiksi: tabrakan. Pembelaan dariku hanyalah, saat menuliskannya di bagian awal cerita, entah kenapa aku yakin sekali ini cara paling pas untuk mempertemukan Julien dan Devika, mengingat keduanya berasal dari dua dunia yang sama sekali berbeda.

Guilty Pleasure adalah sebuah cerita, yang tentu saja terasa sangat sederhana kalau dibandingkan dengan rumitnya hubungan percintaan di dunia nyata. Novel ini bercerita tentang keraguan; bisakah kamu memercayakan masa depan di tangan orang yang belum bisa berdamai dengan masa lalunya?

Bolehkan aku bertanya sekarang, apakah bacaan yang seperti ini yang sedang kamu cari? Kalau benar begitu, aku bersyukur sekali bisa mempersembahkan cerita ini untukmu. Selamat membaca dan, seperti biasa…

selamat jatuh cinta.

CHRISTIAN SIMAMORA

REVIEW

Devika Kirnandita—atau yang lebih sering disapa Dev saja—is a TV bitch who loves to drinks americano. Kenapa dia disebut TV bitch? Itu karena dia selalu mendapatkan peran antagonis di berbagai FTV, sinetron, dan film yang ia bintangi. Dev juga paling suka minum kopi jenis americano. Di Jakarta, ia tak tinggal sendirian di apartemennya, melainkan bersama Renhart Rumahorbo yang merupakan besties (bestfriend with testicles) sekaligus manajernya sendiri. Renhart yang biasa dipanggil Ren ini adalah lelaki bertubuh macho tetapi tidak selera sama sekali dengan wanita alias dia adalah gay. Oleh karena itulah Dev tidak masalah harus tinggal satu atap dengan Ren selain karena supaya ia tidak merasa kesepian jika tinggal sendirian.

Semua cewek straight BUTUH sahabat gay. Pengalaman membuktikan, berteman dengan sesama cewek jauh melelahkan—ya drama, ya kemungkinan perasaan insecure dan sirik-sirikan, belum lagi aturan tak tertulis di dunia cewek yang segambreng banyaknya. – (hlm. 186)

Suatu hari saat Dev sedang menyetir mobil sambil menyesap americano favoritnya, ia tak sengaja menabrak sebuah mobil. Tanpa Dev sangka, ternyata si pemilik mobil itu ganteng pisan saat dia keluar dari mobilnya. Dev memperkirakan cowok itu seumuran om-om dan ternyata judes banget. Lelaki itu meminta pertanggungjawaban Dev karena telah merusak bagian mobilnya, lalu ia mengambil foto plat mobil Dev dengan kamera di handphone-nya untuk jaga-jaga kalau misalnya Dev mengingkari janji dan lari dari tanggungjawab. Ia juga menyerahkan sebuah kartu nama pada Dev dan meminta Dev untuk segera menghubunginya besok. Di kartu nama itu tertera nama Julien Ang dengan jabatan sebagai CEO sebuah perusahaan besar.

Tapi, sejujurnya, umur jelas nggak menggerus aura seksi yang menguar dari diri cowok itu. Dan saat dia menyebut seksi, bukan jenis kualitas fisik yang membuat kita cewek-cewek mengeluarkan air liur mupengsepertisaat melihat Zac Efron setengah telanjang, misalnya. Julien Ang seksi karena kematangannya. – (hlm. 79)

“C’mon, it’s not like there is something wrong with you. Secara fisik, lo undeniably keren, selera berpakaian lo bagus, dan lo mapan—di dunia cewek, triple qualities begitu pasti tipe ideal banget deh!” – Dev (hlm. 98)

Setelah memenuhi sebuah perjanjian pertemuan demi urusan mobil di bengkel langganan Dev, mereka pun berpisah dan tak pernah bertemu lagi selama beberapa bulan. Sampai akhirnya secara tak disengaja Dev bertemu lagi dengan Julien saat mereka sama-sama mendatangi acara dari desainer Pamela Ang. Sejak pertemuan itulah semuanya berawal bagi Dev dan Julien selanjutnya. Mereka makin sering bertemu dan jadi dekat. Kedekatan itu pula yang menggiring mereka akhirnya mengetahui masa lalu masing-masing pasangan—Dev yang dicampakan dan Julien yang harus merelakan kekasihnya untuk selamanya. Lalu, siapakah di antara mereka yang masih belum bisa sepenuhnya melepaskan masa lalu? Bisakah salah satunya menerima kondisi tersebut atau malah mundur teratur?

“Gue bukan tipe pemaksa, Dev. Kalo lo nggak bales, gue asumsikan lo memang nggak tertarik untuk kenal gue lebih jauh. Somehow, gue bisa mengerti alasannya. Gimanapun juga, gue nggak bisa menyangkal, kalo perkenalan kita memang berawal dari sesuatu yang nggak baik.” – Julien (hlm. 99)

LET’S PEEL IT…

“Pada akhirnya, kita harus pasrah pada seperti apa pun kekurangan pasangan kita, Dev. Karena memang begitulah prinsipnya cinta.” – Mama Dev (hlm. 32)

Berdasarkan pengakuan dari si penulis sendiri yang ada di blurb, memang awal mula pertemuan Dev dan Julien itu klise banget. Tapi sebenarnya saya nggak terlalu mempermasalahkan ke-klise-an suatu tema cerita, asalkan si penulis bisa meramu sisanya secara jenius dan tetap menarik bagi pembaca. Untungnya, tabrakannya ini dibuat lebih elit dengan media mobil, bukan sekadar nggak sengaja nabrak di pengkolan trus buku yang dipegang pada berhamburan kayak anak sekolahan. That is definitely very last decade, yes?