BAB 16 – END
Serena masih tertidur di ruang perawatan. Vanessa menungguinya. Sementara Damian yang baru terbangun, dua jam setelah kecelakaan itu berjalan pelan, menuju ruang tunggu, dia sudah mencuci muka dan agak segar, tapi mau tak mau nyeri di kepala dan bahunya membuatnya mengernyit ketika berjalan.
Rafi sedang duduk membelakanginya di kursi roda. Menatap ke luar, ke arah jendela lebar yang ada di ruang duduk itu, hujan sedang turun deras di luar membuat suasana ruangan itu begitu suram.
“Bagaimana keadaan Serena?” Tanya Rafi, menyadari kehadiran Damian tetapi tidak menoleh untuk menatapnya.
“Baik, Vanessa sudah mengatur perawatan dan obatnya, sekarang dia masih tertidur.” Damian berdiri, bersandar di tembok dekat Rafi, ikut menatap hujan yang mengalir deras di luar yang gelap, hanya menyisakan tetes air yang berkilauan terkena cahaya lampu.
“Kau pasti tahu kenapa aku ingin berbicara denganmu.”
Damian mengangguk meski tahu Rafi tidak menoleh untuk melihatnya.
Hening sejenak, terasa begitu lama sampai kemudian terdengar Rafi menghela nafas panjang.
“Apakah kau mencintainya?” tanyanya pelan.
“Sangat.” jawab Damian cepat, tulus.
Rafi memejamkan mata ketika rasa perih menyengat di dadanya mendengar ketulusan Damian kepada Serena. Mengetahui bahwa ada lelaki lain yang mencintai Serena dengan intensitas begitu besar kepada Serena ternyata menyakitinya, membuatnya terasa terpuruk dan di kalahkan. Tapi Rafi menguatkan hatinya, semua demi Serena, demi kebahagiaan Serenanya.
“Apakah kau akan membahagiakannya?”
“Kebahagiaannya akan menjadi tujuan hidupku.” gumam Damian jujur, dia lalu menoleh menatap Rafi yang sedang menatapnya, dua laki-laki yang mencintai satu wanita saling bertatapan.
“Maafkan aku…” Damian mengehela nafas, “Aku tidak pernah bermaksud mencuri Serena darimu, aku tidak mengetahui keberadaanmu sampai saat terakhir, kau tahu.”
Rafi mengernyit mendengar informasi yang baru didapatnya itu, Vanessa belum menceritakan semua ini padanya, mungkin Vanessa ingin Rafi mendengar sendiri dari mulut Damian.
“Serena tidak menceritakan alasan kenapa dia menjual diri padamu?”
“Tidak, mungkin semua akan berbeda jika dia menceritakan semuanya dari awal,” gumam Damian penuh penyesalan, “aku memang jahat dan selalu mengambil apa yang kuinginkan tanpa tanggung-tanggung, tapi aku tidak pernah mengambil keuntungan dari penderitaan seseorang. Saat itu dia datang padaku, menjual dirinya padaku…kau tahu apa yang kupikirkan waktu itu?” Damian menatap Rafi dengan sedih, “Kupikir dia pelacur penggemar barang-barang mahal yang putus asa membutuhkan uang untuk memenuhi hasratnya akan kemewahan.”
“Serena tidak seperti itu.” geram Rafi marah.
“Ya, dia tidak seperti itu,” Damian setuju, “Tapi waktu itu apa yang bisa dipikirkan lelaki seperti aku? lelaki dengan kekayaan yang selalu mendapatkan wanita karena uang? aku memang salah waktu itu, aku menginginkan Serena dan aku punya uang yang diinginkannya, jadi kuterima tawarannya.”
“Tapi pada akhirnya kau tetap jatuh cinta padanya meskipun kau menganggap dia pelacur murahan.” Rafi merenung.
Sekali lagi Damian menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku jatuh cinta kepadanya, bahkan aku mulai tidak peduli kalau ternyata memang hanya menginginkan uangku, aku berpikir, tidak apa-apa, toh aku punya uang banyak, tidak apa-apa selama dia ada di sisiku.” Damian menghela nafas panjang.
“Kenyataan tentang keberadaanmu pada akhirnya menghantamku… Bahwa dia melakukan semua ini demi cintanya kepadamu.”
Rafi memejamkan matanya. “Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan dan merasa bertanggung jawab.”
“Dia tetap mencintaimu,” Damian tersenyum sayang ketika membayangkan Serena, “hatinya selalu dipenuhi cinta tanpa pandang bulu, mungkin karena itulah dia berhasil menyentuh hatiku yang gelap.”
Rafi menganggukkan kepala, ikut tersenyum ketika membayangkan Serena.
“Yah… Meskipun begitu, hatinya sudah kau miliki,” Rafi menghela nafas, “Aku akan melepaskan Serena.”
“Kau pikir dia akan mau?” sela Damian sedih, “Dia sudah memutuskan akan menjagamu, dia tidak akan mau.”
“Dia pasti mau, aku sendiri yang akan berbicara padanya, aku tidak perlu dijaga, terapi ini berhasil dan Vanessa meyakinkan kalau aku rutin melakukannya, dalam waktu empat bulan aku sudah akan bisa berjalan dengan normal. Aku masih bisa melanjutkan karirku sebagai pengacara setelahnya, mungkin butuh waktu lama dan aku harus belajar lagi, tapi kurasa aku bisa melangkah dengan kekuatanku sendiri.”
Damian menganggukkan kepalanya, yakin kalau Rafi pasti mampu melakukan apa yang dikatakannya.
“Maafkan aku.” gumamnya tulus.
“Kenapa?”, Rafi mengernyit menatap Damian ingin tahu.
“Karena sudah mengalihkan hati Serena darimu.”
Rafi tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar tulus, “Seharusnya aku berterimakasih kepadamu, kau menjaganya selama aku tidak bisa ada untuk menjaganya.”
Damian terdiam, Rafi juga terdiam lama.
Lalu Damian mengaku, “Kau mungkin ingin memukulku, bahkan membunuhku setelah aku mengatakannya padamu…”
“Tentang apa?” mau tak mau Rafi merasakan ingin tahu ketika mendengar nada misterius di suara Damian.
Sesaat Damian tampak kesulitan berbicara, “Aku… aku punya rencana jahat untuk merebut Serena darimu, aku pikir kalau Serena tidak mau memilihku, aku akan memaksanya memilihku.”
“Rencana jahat apa?” sela Rafi, langsung waspada.
Damian tertawa getir, “Bukan… rencana ini tidak menyakiti siapapun… kau tahu… Aku ingin sengaja membuat Serena hamil… agar mau tak mau dia menjadi milikku.”
Sejenak Rafi terdiam, pengakuan Damian ini mau tak mau menyulut kemarahannya. Menyadari bahwa Damian memanipulasi kepolosan Serenanya.
“Dasar Brengsek.” geram Rafi pelan.
Damian menganggukkan kepalanya. “Ya memang, aku brengsek. aku putus asa, setengah gila untuk memiliki Serena, aku minta maaf.”
“Menurutmu apakah rencana jahatmu itu sudah berhasil?” Tanya Rafi kemudian, tiba-tiba menghubungkannya dengan kondisi sakit Serena.
Damian mengangguk, menahan perasaannya untuk menjaga perasaan Rafi, tapi mau tak mau Rafi melihat sorot bahagia yang menyala-nyala di mata Damian. Tiba-tiba dia merasa tenang, lelaki ini sungguh mencintai Serena, putusnya dalam hati, mungkin lebih dalam dari cintanya sendiri kepada Serena…
“Vanessa tadi sore menghubungiku, memberitahu kondisi Serena, dan entah kenapa aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum mereka melakukan test, aku tahu begitu saja.”
“Dan karena itu kau kecelakaan, kau dalam perjalanan menemui Serena?”
Damian tersenyum, tidak berkata-kata, tapi matanya menjelaskan semuanya.
“Lelaki bodoh.” gumam Rafi getir. Dan Damian tertawa mendengarnya.
“Memang,” gumamnya dalam tawa, lalu mengulurkan tangannya kepada Rafi, “Terimakasih atas kebaikan hatimu.”
Rafi menyambut jabatannya dengan hangat.
“Aku melakukannya demi Serena, bukan demi kamu, jadi ingat saja, kapanpun kau berani-beraninya membuat Serena tidak bahagia, kau akan mendapati dirimu berhadapan denganku.”
Damian tersenyum mempererat jabatan tangannya, “Aku berjanji kau tidak akan pernah berhadapan denganku.”
***
Ketika Serena membuka matanya, dia mendapati Rafi duduk di sisi ranjangnya. Menatapnya dalam senyum.
Serena langsung sadar bahwa karena kepanikannya tadi dia melupakan keberadaan Rafi. Ya Tuhan!! Apa yang dipikirkan Rafi ketika menyaksikan semuanya tadi?? Pikiran itu membuatnya panik dan hendak bangkit dari ranjangnya, tapi Rafi menahannya dengan tangannya.
“Tidak apa-apa, tetap berbaring.” gumamnya lembut.
Serena menurut membaringkan tubuhnya, tetapi menatap Rafi dengan kepanikan mendalam.
“Rafi aku…”
“Sudah kubilang tidak apa-apa, aku sudah tahu semuanya Serena, dan aku mengerti.”
Kata-kata itu membuat wajah Serena pucat pasi, “Tahu apa? mereka mengatakan apa padamu?” bisiknya lemah.
“Semuanya, tentang dirimu dan Damian, dan perasaanmu kepadanya.”
“Aku tidak punya perasaan apa-apa kepada…”
“Sttttt,” Rafi menghentikan kata-kata Serena, “Tidak perlu membohongi dirimu sendiri lagi Serena, aku sudah tahu semuanya, kau begitu menyayangiku sehingga mau berkorban untukku, tubuhmu kau korbankan,” Rafi menghela nafasnya pedih, “Dan sekarang, bahkan jiwa dan kebahagiaanmu mau kau korbankan juga untukku?”
Mata Serena mulai berkaca-kaca.
“Aku tidak merasa mengorbankan apapun Rafi, aku mencintaimu, aku ingin menjagamu, aku…”
Dengan lembut Rafi meraih tangan Serena dan menggenggamnya.
“Ya aku yakin, kau sangat mencintaiku, aku percaya itu,” dengan lembut Rafi menoleh ke arah pintu, “Dia ada di luar, menunggu waktu untuk menemuimu, aku sudah berbicara dengannya dan yakin bahwa cintanya padamu begitu besar, bahkan mungkin lebih besar dari cintaku padamu.” desah Rafi getir.
“Jangan berkata seperti itu.” air mata mulai menetes di pipi Serena, dan Rafi mengapusnya dengan lembut.
“Itu kenyataannya, dia begitu mencintaimu sehingga mau mengambil resiko apapun agar kau bahagia, dan dia rela dibenci olehmu agar kau bahagia,” Rafi tersenyum lembut, “Terus terang aku mengaguminya dan aku merasa tenang kalau dia yang menjagamu.”
“Jangan berkata seperti itu.” Serena mulai merasa dirinya seperti kaset yang rusak, mengulang-ulang kalimat yang sama.
“Aku harus mengatakannya.” gumam Rafi sedikit geli dengan kata-kata Serena. Yah, dia ternyata bisa bahagia juga menyadari bahwa pada akhirnya dia akan memberikan kebahagiaan pada Serena, kebebasan yang akan di berikan pada Serena akan membawa perempuan yang dicintainya itu kepada kebahagiaan, dan Rafi merasakan kebahagiaan tersendiri ketika dia pada akhirnya merelakan Serena. Semua patah hati dan kesakitannya akan sepadan dengan senyum dan kebahagiaan Serena pada akhirnya. “Tapi sebelumnya aku harus bertanya kepadamu, Serena, apakah kau mencintai Damian?”
Pertanyaan yang diungkapkan secara langsung tanpa diduga itu membuat Serena tertegun.
“Rafi… aku…”
“Tanyakan kepada hatimu Serena,” bisik Rafi lembut, mendorong Serena agar mau jujur kepada dirinya sendiri, “Aku yakin kau sudah menyadarinya, kau hanya perlu mengakuinya kepadaku.”
Di luar, Damian yang menunggu sambil bersandar di tembok dekat pintu masuk mendengar semuanya, jantungnya berdetak keras, penuh antisipasi, ikut menanti jawaban Serena.
Kumohon katakan Ya, bisik Damian dalam hati, menjeritkan permohonannya dalam diam, kumohon katakan Ya , kau mencintaiku Serena.
Di dalam ruangan Serena tertegun, menatap Rafi, menatap ketulusan yang ada di sana. Tidak apa-apakah kalau dia mengakuinya? Tidak apa-apakah kalau Rafi akhirnya mendengarnya?
Serena menarik napas dalam dalam, menahankan debar jantungnya, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
“Ya Rafi,” gumamnya lembut setengah berbisik, “Ya, aku mencintai Damian, aku sangat mencintainya.” air mata menetes lagi di pipinya.
Rafi mengusap air mata itu dengan lembut, sedikit melirik ke pintu, menyadari kehadiran Damian di sana. Kau dengar itu, Damian? Gumamnya dalam hati, Permataku ini mencintaimu, dia sangat berharga dan dia mencintaimu, kau harus menjaganya baik-baik, jangan pernah menyakitinya…
Di luar Damian memejamkan matanya mendengar pengakuan Serena itu, dia dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Serena hampir tidak pernah mengungkapkan perasaan padanya, Damian harus selalu mengukur-ukur, menebak-nebak dari mata dan tindakan Serena. Dan mendengar sendiri kalimat itu dari bibir Serena, diucapkan dengan penuh keyakinan, mau tak mau membuat tubuhnya dibanjiri aliran kebahagiaan.
“Dia pasti akan menjagamu Serena, kau tidak usah mencemaskan aku lagi, aku sudah tidak perlu dijaga.”
“Tapi, Rafi…”
Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Dokter Vanessa mengajakku ke jerman. Disana dia punya kenalan spesialis tulang dan saraf yang sangat ahli, yang bisa menyembuhkanku lebih cepat, dan kupikir aku akan mengambil kesempatan itu.”
Serena membelalakkan matanya, pucat pasi.
“Rafi…. Kau akan pergi??”
Rafi menganggukkan kepalanya.
“Aku akan mengejar kebahagiaanku, aku akan menyembuhkan diri dan memulai karirku, masih ada harapan dan aku tidak akan menyerah. Kau sudah memberiku contoh dengan berjuang untukku tanpa putus asa padahal kemungkinan aku terbangun dari koma sangat kecil, jadi sekarang aku akan berusaha berjuang.”
Serena tertegun, kehabisan kata-kata mendengar kalimat Rafi. Dia hanya punya satu hal untuk diungkapkan, kata maaf, maaf karena aku mencintai orang lain, maaf karena aku mengkhianati cintamu, maaf karena aku membiarkan hatiku dimiliki orang lain.
Ketika dia akan membuka mulutnya untuk meminta maaf, Rafi mencegahnya dengan menaruh jemarinya di bibir Serena.
“Jangan meminta maaf, aku tahu kau akan meminta maaf,” Rafi tersenyum simpul, “Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak pernah berniat mengkhianatiku, bahkan kau malah berniat mengorbankan hati dan perasaanmu demi aku. Seharusnya aku yang berterimakasih padamu.”
Dengan lembut Rafi melepaskan cincin emas pertunangan di tangannya, dan meletakkannya dalam genggaman Serena.
“Aku melepaskanmu, Serena, tunanganku yang berharga. Terimakasih untuk cinta yang pernah kita bagi bersama. Terimakasih untuk semua perjuangan yang telah kau korbankan untukku, Terimakasih karena pernah mencintaiku,” dengan lembut Rafi mengecup jemari Serena yang terpaku, “Sekarang kau bebas, kejarlah kebahagiaanmu sendiri.”
Air mata mengalir deras makin tak terbendung di mata Serena. Hatinya penuh sesak, campur aduk antara penyesalan dan kelegaan luar biasa, akhirnya dengan pelan Serena duduk lalu memeluk Rafi erat-erat. Berbagi tangis bersamanya.
“Terimakasih Rafi, aku mencintaimu.” isak Serena pelan.
“Aku juga mencintaimu.” suara Rafi bergetar oleh air mata yang mulai datang.
***
Semua berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat serta Vanessa hilir mudik di ruangan itu untuk memeriksa keadaannya. Serena merasa sudah baikan, hanya sedikit mual dan demamnya sudah turun, tapi entah kenapa Vanessa bersikeras agar dia tetap di rawat inap di rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit apa? Serena mulai bertanya-tanya.
Rafi sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter Vanessa, mengatakan akan mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman, kemungkinan dua minggu lagi. Dan saat Serena sendirian, pikirannya melayang. Dimana Damian? Apakah dia di rawat di rumah sakit ini? Bagaimana kondisinya? Kenapa Damian tidak menemuinya? Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.
Ketika bangun hari sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena lagi-lagi hujan turun di luar membuat langit kelihatan gelap, Serena menatap hujan di jendela dan mendesah.
“Sudah enakan?” suara itu terdengar lembut dan tiba-tiba sehingga Serena terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Damian duduk di ranjang, di sampingnya. Lelaki itu begitu diam, Serena mengernyit, pantas dia tidak menyadari kehadirannya.
“Maaf aku mengagetkanmu,” Damian tersenyum samar, lalu menyentuh dahi Serena, “sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih memuntahkan makananmu?”
Serena menggelengkan kepalanya, masih belum mampu berkata-kata.
“Aku… Aku sudah bisa menelan sup panas dari rumah sakit tadi.”
Damian mengangguk dan tersenyum.
“Aku sudah berbicara dengan Rafi, Serena,” Damian segera berseru ketika melihat Serena akan menyela kata-katanya, “apapun yang akan kau katakan, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi tidak akan kusia-siakan, kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau melepaskan diri dariku.” suara Damian tegas dan penuh ancaman, matanya menyala-nyala.
Dalam hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang biasa. Tidak berubah meski mencintainya, tetap saja arogan dan terbiasa mengungkapkan keinginannya dengan mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini Damian yang sama yang dicintainya.
“Ya Damian.” jawabnya dalam senyum.
Jawaban sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi penolakan yang mungkin dilakukan Serena, terpana.
“Apa?” Damian bertanya seperti orang bodoh.
Serena tersenyum lembut, otomatis tangannya bergerak menyentuh dahi Damian yang berkerut bingung, mengelusnya lembut, menghilangkan kerut yang ada di sana.
“Ya Damian, aku tidak akan melepaskan diri darimu.”
Damian seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana Serena, tetapi ketika dia bisa memahaminya, seketika itu juga Damian merengkuh Serena, memeluknya erat-erat.
“Demi Tuhan… Aku sepertinya masih butuh berkali-kali diyakinkan olehmu,” bisiknya serak di rambut Serena, “Kau selalu membuatku bertanya-tanya, dengan mata lebarmu yang selalu tersenyum, dengan kelembutanmu, kau selalu membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku.”
Serena membalas pelukan Damian dengan lembut.
“Aku mencintaimu.”
“Katakan lagi,” Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan pelukannya, “aku butuh diyakinkan.”
“Aku mencintaimu.” ulang Serena patuh.
Damian melepaskan pelukannya lalu mengusap rambut Serena lembut, kemudian meraih tangannya, mengernyit ketika melihat Serena masih memakai cincin dari Rafi, bersebelahan dengan cincin darinya.
Dengan lembut disentuhnya tangan Serena, disentuhnya cincin Rafi disana.
“Boleh aku melepaskannya?”
Damian tetap akan melepaskannya meskipun Serena menggeleng, Serena tahu itu. Tapi Serena menghargai Damian yang menyempatkan diri bertanya kepadanya.
Dengan lembut ia mengangguk.
Hati-hati Damian melepaskan cincin pertunangan Serena dengan Rafi, lalu meletakkannya di meja. Setelah itu dikecupnya jemari Serena yang memakai cincin pemberiannya.
“Aku ingin kau menikah denganku, segera.”
Sekali lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian. Bukannya bertanya ‘maukah kau menikah denganku?’ lelaki ini malah menyatakan keinginannya dengan arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan keningnya mencerna kalimat Damian.
“Kenapa harus segera?”
Dan entah kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena jadi bertanya-tanya apa yang salah dengan pertanyaannya.
“Kau… Eh, mungkin kau tidak menyadari perubahan tubuhmu….” Damian tampak kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia melemparkan kebenaran itu, “Kau… Sedang mengandung anakku.”
Kata-kata itu membuat Serena ternganga, itu adalah kebenaran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Damian sangat hati-hati kalau bercinta dengannya. Bahkan dalam kondisi berhasratpun dia selalu ingat untuk memakai pelindung, jadi Serena tak mungkin hamil. Karena itulah meskipun tubuh Serena menunjukkan gejala seperti perempuan hamil, tidak datang bulan, mual, kram di perut dan sebagainya, tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya kalau dia sedang mengandung.
Kemudian kesadaran itu melintas di benaknya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali kalau Damian menginginkannya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali kalau Damian sengaja….
“Kau selalu menggunakan pelindung,” gumam Serena menatap Damian dengan waspada, “Malam itu kau tidak memakainya.”
Pipi Damian agak memerah tapi dia menatap mata Serena tanpa penyesalan.
“Aku memang sengaja, semua yang terjadi malam itu memang sudah kurencanakan,” dengan angkuh Damian mengangkat dagunya, “aku ingin kau memilihku.”
Pipi Serena memucat sedikit marah.
“Kau berencana menjebakku dengan kehamilan?”
Damian menggenggam tangan Serena erat-erat memejamkan matanya penuh kepedihan.
“Aku memang brengsek dan licik, tapi itu semua kulakukan karena aku hampir gila putus asa ingin memilikimu, aku mencintaimu dan menderita karenanya, aku bersedia minta maaf kalau kau menginginkannya, tapi aku tidak pernah menyesal sudah membuatmu hamil…”
Kata-kata itu, yang diungkapkan dengan sepenuh hari, melelehkan kemarahan Serena, dengan lembut diraihnya kepala Damian dan dipeluknya. Lama mereka berpelukan dalam diam.
“Karena itu kau mencium perutku.” gumam Serena, teringat keanehan perilaku Damian saat itu.
“Ya,” Damian tersenyum bangga, “saat itu aku yakin dia sedang terbentuk, aku memerintahkannya supaya tumbuh sehat agar aku bisa memiliki ibunya,” Damian mengangkat bahu, “Aku konyol sekali ya.”
Serena tertawa mendengarnya, sisi santai Damian yang jarang diperlihatkannya ini juga sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar mencintai lelaki ini, dengan segala arogansinya, dengan segala kekeras kepalaannya, sekaligus dengan segala kasih sayangnya yang Serena tahu, melimpah untuknya.
Dengan lembut Serena mengelus perutnya, menyadari bahwa buah cinta mereka sedang bertumbuh di perutnya, semakin lama semakin kuat, hingga akhirnya nanti akan terlahir ke dunia.
Mata Damian mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya mengikuti Serena, mengusap perutnya lembut.
“Dia kuat dan baik-baik saja di sana.” gumam Damian setengah berbisik.
“Ya.” Serena berbisik juga.
“Mungkin nanti dia akan mulai menendang-nendang.” dahi Damian berkerut, mengingat isi buku-buku referensi kehamilan yang mulai dibacanya.
Serena, mengangguk, tersenyum simpul.
“Pasti, seperti pemain sepakbola.”
“Aku lebih suka dia seperti CEO handal.” dahi Damian tetap berkerut.
Serena terkekeh. “Ya, seperti CEO handal,” suara Serena berubah seperti bisikan, “Seperti Ayahnya.”
Mereka bertatapan, mata Serena berkaca-kaca, mata Damian berkilauan penuh perasaan. Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang tua tentang anaknya di masa depan.
Lalu Damian mengecup dahi Serena.
“Terimakasih sudah hadir di hidupku,” bisiknya serak penuh perasaan, “Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih sudah menyentuh hatiku yang gelap dan jahat sehingga bisa merasakan indahnya mencintai seseorang, dan yang terpenting terimakasih sudah mau mencintaiku.” lalu dia meraih dagu Serena dan mengecup bibirnya lembut, kecupan penuh kasih sayang yang dengan segera berubah menjadi panas dan bergairah.
Lama kemudian Damian baru mengangkat kepalanya, meninggalkan bibir Serena yang panas dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan diri dan mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut.
“Nanti, setelah kau sehat,” janjinya penuh arti, membuat pipi Serena memerah, lalu memeluk Serena lagi, “Aku mencintaimu Serena, dan aku berjanji akan membuatmu serta anak-anak kita nanti bahagia, kau boleh pegang janjiku itu.”
Serena tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Damian.
“Aku tahu Damian, aku juga mencintaimu.”
Mereka tetap berpelukan, dipenuhi perasaan cinta yang hangat. Hanya ada mereka berdua dan kebersamaan mereka, Serena dengan Damiannya yang akhirnya menyerahkan hatinya untuk termiliki satu sama lain. Yang pada akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.
THE END
Advertisements Share this: