BACAKILAT

Master Trainer Bacakilat, Agus Setiawan | Copyright: Aquarius Learning

Mulanya saya mengetahui istilah Bacakilat dari buku “Bacakilat for Students” karya Agus Setiawan dan Juni Anton. Cukup lama saya memutuskan untuk membaca buku ini, meski beberapa kali meliriknya di rak toko buku Gramedia. Tepatnya pada tahun 2016, saya akhirnya membeli dan mulai menukil benda bersampul dominan biru langit tersebut. Berpuluh kali membaca buku ini (tanpa pernah menerapkan inti sistem Bacakilat), saya mulai memahami secuil. Satu yang paling mengesankan adalah ‘Menetapkan Tujuan’. Tentang betapa kelemahan umumnya orang Indonesia ialah tak kuat menancapkan komitmen untuk meraih tujuan.

Berangkat dari pemahaman sedikit tadi, saya menumpuk rasa penasaran untuk ‘mendengar’ langsung dari peracik sistem Bacakilat ini. Lewat tempo setahun, pada April 2017, saya menemukannya dalam lini masa Facebook: “Seminar Bacakilat 3.0 di kota Medan”. Wah. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seantusias banteng liar, saya mulai menggandeng beberapa rekan sejawat serta Istri saya, Eva Susanti Barus untuk turut dalam acara tersebut.

Satu ide kemudian terbersit dalam benak saya, bagaimana jika penelusuran untuk belajar sistem Bacakilat ini dituangkan menjadi sebuah tulisan. Meski tak sama hebat, setidaknya saya juga bisa belajar gairah dan gaya meliput Malcolm Gladwell maupun mas Andreas Harsono. Saya bersyukur karena pionir Bacakilat, Agus Setiawan menyambut baik permohonan saya (padahal disampaikan secara lisan). Malah, Master Trainer dan juga Pimpinan Aquarius Learning itu bermurah hati memberi saya ‘kursi’ ikut dalam Workshop Bacakilat 3.0, angkatan ke-158 di Medan, pada 20 Mei 2017.

Setelah bimbang memilih sudut pandang, saya putuskan menulis dalam pengalaman saya sendiri. Sungguh beresiko mengambil perspektif secara umum, sebab belum tentu ‘apa yang saya pandang berhasil pada diri saya, berlaku juga bagi orang lain’. Meski demikian, inspirasi positif layak mendapat ruang di hati setiap insan. Sebab buku yang baik sudah pasti ‘positif’ AIDS atawa Aku Ingin Dibaca Sekarang. Tabik.

***

Agus Setiawan seorang murah senyum dan senang humor. Walau berbadan agak tambun, dengan lincah dan penuh energi dia memberi materi dalam Seminar Bacakilat 3.0, pada (Sabtu) 6 Mei 2017 di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Angkasa – Medan. Gerak lincah itu mungkin disebabkan gaya hidup vegetarian yang dianutnya selama puluhan tahun. “Memang benar kok. Jangan percaya lagi dengan slogan ‘4 Sehat, 5 Sempurna’, karena itu dicetuskan oleh Dinas Peternakan. Bukan Dinas Kesehatan,” tutur bapak dua anak ini, disambut gelak tawa hadirin.

Namun, para hadirin datang bukan untuk mendengar gaya hidup sehat Agus. Mereka hendak menagih janji-janji yang ditawarkan oleh Bacakilat.   Diantaranya: “Menguasai Buku Apapun yang Anda Inginkan”, “Membaca 1 detik/ halaman”, serta “Mencapai 100% Tujuan Membaca”. Semua itu diladeni dengan sebuah terobosan belajar yang disebut Agus sebagai Brain Based Learning.

Pus Pus, Tolong Cari Informasi Ini

Sebelum meracik sistem Bacakilat, Agus menekuni berbagai seminar — dalam dan luar negeri — mengenai kiat meningkatkan potensi diri. Dia juga melahap berbagai literatur tentang pengetahuan tersebut. “Saya ingat nyaris berinvestasi sampai Rp1 Miliar. Dan tentu sampai berhutang sana-sini,” katanya. “Semua itu untuk belajar, belajar dan belajar.”

Dalam penelusuran Agus ada satu yang menggelitik perhatiannya, yakni potensi otak manusia dalam belajar. Belajar, di konteks ini, adalah bagaimana proses otak menyerap dan mengolah setiap informasi. “Dalam proses ini, ada tiga bagian yang berperan vital: Pikiran Sadar (PS), Hipo-kampus (HK), dan Pikiran Bawah Sadar (PBS).” Perbandingan kinerja antara Pikiran Bawah Sadar vs. Pikiran Sadar adalah 10% berbanding 90%. “Dalam penelitian diketahui bahwa PS hanya bisa mengolah 5-9 informasi per detik. Ini lah sebabnya jika membaca secara konvensional, terutama buku dengan informasi yang baru bagi otak, kita cenderung mengantuk dan bosan.”

Bagaimana bisa?

PS sejatinya ‘mengail’ informasi dari PBS. Di saat meminta informasi, alat pancing tersebut melewati sebuah ‘gerbang’ bernama HK. “Sebagai misal, saya tanya kepada Anda: Coba  bayangkan (Tugu) Monas. Maka PS akan berkata kepada HK: Pus Pus, tolong cariin info gambar Monas. HK kemudian mencari info gambar Monas di PBS dan segera mengirimkannya ke PS,” terang Agus. “Bagaimana jika saya meminta informasi yang tidak pernah Anda ketahui? Katakanlah saya bilang: Coba bayangkan buah Tutuli (nama buah ini hanya karangan Agus). Prosesnya tetap berlangsung sama. Hanya saja HK menyampaikan bahwa informasi yang diminta tidak ditemukan. “PBS tidak bisa memberikan referensi jika ia tidak ada datanya. Makanya buah Tutuli tidak muncul,” terang Agus. “Jadi seringkali kita jenuh membaca buku karena buku tidak ada di PBS. Di mana, setiap kali baca buku HK tidak bisa menarik informasi dari bawah sadar karena belum ada. Jadi kita hanya mengandalkan pikiran sadar kita saja.”

“Akhirnya pikiran sadar yang hanya memproses 5-9 hal (dari riset George A. Miller) akan bekerja keras untuk membaca. Dan akhirnya membaca menjadi proses yang berat dan tidak menyenangkan. Tidak heran kegiatan membaca selalu kalah dengan yang lain,” katanya.

Brain Based Learning mengubah kiat belajar secara konvensional yang hanya mengandalkan PS, sebaliknya memaksimalkan potensi PBS. Argumentasinya adalah PBS memiliki kapasitas dahsyat. Yaitu, bisa menampung data sebanyak mungkin hingga akhir hayat manusia. Prof. Sean Adams dari Alpha Learningn Center menyatakan bahwa pikiran manusia hanya akan penuh jika satu detik belajar satu hal selama 30 juta tahun!

Akan tetapi, PBS memiliki satu kelemahan yang bisa juga menjadi kekuatan pemiliknya. PBS cenderung mudah menumbuhkan pemikiran negatif. “Mari kita analogikan seperti kebun. Jika tidak dirawat, tidak ditanami tanaman yang Anda inginkan. Maka, apa yang akan tumbuh? Tepat sekali, rumput liar,” Agus menjelaskan. “Untuk mengatasinya, kita perlu memupuk pengetahuan, memperluas wawasan, dan menanamkan pikiran positif terus-menerus. So, hati-hati dengan pikiran Anda!” Ini ada benarnya. Richard Brodie, dalam buku “Virus AkalBudi” mengatakan bahwa otak sangat mudah menyerap meme (virus akalbudi), terutama yang bersifat negatif.

“Dalam penemuan tersebut, kita memahami bahwa PS bukan lah tempat menampung informasi, melainkan tempat untuk dilewati informasi. Dengan metode Bacakilat, saat membaca buku apa pun yang diinginkan, kita membuat PBS belajar duluan. Yakni dengan menggunakan priming, kemudian membuat PS belajar. Dengan demikian, preconscious processing terjadi.

Tunggu dulu, apa pula itu priming dan preconscious processing?

Ada tiga cara otak memproses informasi: conscious processing, subliminal processing, dan preconscious processing. “Sementara, Priming subliminal adalah melakukan subliminal dengan sengaja.”

Conscious Processing merupakan cara kerja otak mengolah semua informasi secara sadar. Yakni, hanya memproses 5-9 hal per detik. Sementara subliminal processing adalah informasi yang masuk di luar kemampuan pikiran sadar saat memprosesnya. “Bayangkan saat anda mendengar alunan musik favorit di dalam mobil yang menyusur keramaian. Apakah semua suara sekitar, bersamaan dengan alunan musik, Anda dengar dengan fokus? Tidak. Pikiran kita akan lebih khusyuk pada musik tersebut,” terang Agus.

Priming berarti memberikan informasi lebih dahulu ke pikiran kita, umumnya tanpa disadari PS. “Memberikan priming ke PBS, akan membantu Anda saat memahami buku yang dibaca,” imbuh Agus. “Dalam Bacakilat, metode membaca memadukan priming dengan preconscious processing. Yang terakhir ini, dimaknai dengan membuat PBS belajar lebih dahulu, dan kemudian PBS akan memiliki referensi yang bisa diberikan PS.”

Agus mengilustrasikan kapasitas PS dan PBS seperti corong terbalik (PBS lebih besar). Proses Priming dan Preconscious Processing seperti tampak di gambar ini. Sehingga otak belajar dan menyimpan setiap informasi dari buku tanpa disadari (mulai dari PBS lebih dahulu) | Copyright: 123rf.com

 

Bacakilat dengan otak & mata

Organ tubuh lainnya yang dipadukan dalam Bacakilat, tentu saja adalah mata. Agus mengingatkan, bahwa Bacakilat tidak diperuntukkan bagi tuna netra. “Sebab cara belajar ini memberdayakan organ mata yang dapat menyerap 100 juta bit per detik. Baik yang kita lihat secara fokus (sel kerucut di mata) maupun di luar fokus yang umumnya ­terlihat kabur atau blur (sel batang di mata), atau lebih dikenal pandangan peripheral,” kata Agus. Karena jumlah sel batang lebih banyak daripada sel kerucut, maka Bacakilat memberdayakan potensi sel yang pertama tersebut.

Saat praktik Bacakilat, saya dan beberapa hadirin workshop merasa bingung. Bagaimana mungkin setiap halaman yang dipandang secara kabur itu bisa masuk ke dalam otak? Agus mulanya membimbing peserta untuk melirik cover, back cover buku yang kami bawa. Kemudian menuntun kami membaca Daftar Isi dan Prakata (Kata Pengantar) dari penulisnya. “Ini lah informasi yang perlu kita ketahui sebelum menjawab: Apa yang saya butuhkan dari buku ini? Artinya, buku harus lah menjadi pelayan Anda. Bukan Anda yang harus melayani-nya dengan membaca seluruh isi buku tersebut. “Menurut. Prof. Russel G. Stauffer isi buku yang bermakna hanyalah 4-11%,” ujar Agus sebelum melanjutkan pada (semacam) ritual meditasi untuk menenangkan otak. Dia menyebutnya ‘kondisi genius’. Tak lama, hanya sekira satu menit.

Satu hal mulai terjawab dalam penjelasan tersebut. Yah, memang benar. Suatu kebiasaan lazimnya adalah pembaca merasa harus membaca seluruh isi buku hingga tuntas. Ini mengingatkan saya pada tugas-tugas masa kuliah dulu. Yakni, dengan mengutip beberapa bagian penting dari buku-buku perpustakaan yang kami buru.

Namun, membaca dengan pandangan yang kabur dengan tempo 1 halaman/ detik, sepertinya masih tampak absurd. Suara gesekan kertas yang dinukil setiap detiknya mendominasi suasana ruangan training di Karibia Boutique Hotel. Kegusaran berkelindan dan seorang ibu bertanya: “Apakah benar informasi dalam buku ini telah terserap ke dalam otak saya?” Agus bertanya dengan seulas senyuman: “Apakah ibu menyadarinya? Jika tidak, berarti bagus. Karena memang PBS belajar tanpa disadari PS.”

Agus kemudian menguak rahasia Bacakilat ini. “Otak tak bisa mengelak dari pertanyaan. Ketika orang lain atau diri kita membuat pertanyaan, terjadilah kontak antara PS, HK dan PBS. Informasi yang Anda baca dengan potensi sel batang mata tadi telah terserap di PBS dan kemudian memberi kepada HK saat PS memintanya,” katanya. “Agar memudahkan proses tersebut ada satu tahap yang hendaknya Anda lakukan. Yakni membuat pemetaan pikiran atau populer disebut Mind Map. Dengan membuat Mind Map, akan terjadi preconscious processing. Di samping itu, akar-akar seperti cabang dahan pohon sangat disukai otak. Sebab seperti juga pola saraf dalam otak kita.”

Agus membawakan workshop Bacakilat | Copyright: Aquarius Learning

Saya coba menerapkannya di rumah, dan mendapati beberapa buku yang mulanya saya baca secara konvensional dan acak kini lebih mudah dimengerti. Benar bahwa kunci pertama ialah menegaskan tujuan dari buku yang hendak dibaca. Apakah dipahami sepenuhnya untuk dijadikan bahan pengajaran? Atau sekedar menguasai beberapa bagian untuk menunjang bisnis atau karir. Itu akan menjadi ‘bahan bakar’ dalam menuntaskan setiap buku yang hendak dibaca. Jika diandaikan pertarungan, Bacakilat bagai senjata untuk mengupas setiap bagian buku yang menguatkan pemahaman dan pembelajaran.

Saya teringat, petuah seorang pengusaha dari negeri Paman Sam, Elon Musk, bahwa dia belajar dengan cepat karena fokus agar informasi tersebut mudah dipahami. “Jangan pernah pulang membawa informasi yang tidak kau pahami,” katanya sebagaimana dikutip Inc.com. “Gunakan buku sebagai pelayan Anda. Untuk meningkatkan kapasitas kecerdasan Anda. Bacalah dengan cepat, karena waktu Anda sangat terbatas. Hidup ini bukan hanya untuk membaca buku saja,” pungkas Agus.

***

Di akhir sesi workshop, Agus mendatangi saya untuk memberi sertifikat. “Jangan lupa mengirim challenge (tantangan) 10 Mind Map ya, pak Bangun,” katanya mengingatkan. Saya menyambut uluran jabat tangannya dan juga berseloroh,”Jangan lupa mengirim jawaban atas pertanyaan wawancara dengan majalah Lentera ya, mas Agus.”

“Wah. Iya, iya. Saya akan kirimkan. Hehehehe.”

Kami berdua larut dalam gelak tawa. Sementara senja meliputi kota Medan. Perlahan-lahan, tak secepat kilat, menuju malam.

 

Pustaka: #1 Bacakilat 3.0. Agus Setiawan. Penerbit Buku Aquarius #2 Virus AkalBudi. Richard Brodie. Kepustakaan Populer Gramedia #3 Blink. Malcolm Gladwell. Gramedia Pustaka Utama #4 www.inc.com/quora/elon-musks-surprising-strategy-for-thinking-about-everything.html

 

— ditulis sebagai laporan Feature untuk majalah online Lentera (www.majalahlentera.com)

 

  • Selingan: bagi yang berminat untuk belajar Bacakilat lebih lanjut, sila lirik info brosur ini. 
Brosur Bacakilat

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related June 5, 2017May 31, 2017 by Ananta Bangun Categories: feature, Lentera, MenulisTags: agus setiawan, bacakilat, cepat, feature, Lentera, majalah, membaca, online, paham