Pertemuan kedua bersama Kelompok Petualang Belajar Semi Palar (KPB Smipa) ini menjawab pertanyaan saya tentang apa yang siswa-siswi KPB pelajari, apa itu “kelas semesta”.
Pagi ini saya berkesempatan mengikuti kelas semesta bersama Pak Ahmad Yunus, seorang jurnalis dan penulis buku. Beliau menceritakan pengalamannya ketika traveling ke 80 pulau menggunakan motor bersama temannya sesama penulis, perjalanan mereka namakan “Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa”. Menghasilkan sekitar 10.000 foto dan 80 jam rekaman video serta kisah perjalanan yang tertuang dalam sebuah buku berjudul “Meraba Indonesia”.
Ada beberapa hal positif yang disampaikan Pak Yunus setelah melalui perjalanan tersebut, terutama saat di Flores. Berbekal profesinya sebagai jurnalis Detik Bandung, disana beliau pun menjadi editor di Flores Post, dan tinggal di belakang gereja disana. Pak Yunus menyampaikan bahwa dengan keberagaman etnis, solidaritas dan toleransi agama disana sangat kuat. Hal itu tampaknya sangat berkesan untuk beliau, ketika menyampaikan tentang pesta adat disana. Disaat warga memasak babi, mereka menawarkan Pak Yunus untuk menyembelih ayam dan menghidangkannya untuk dimasak bersama.
Selain mengenai kehidupan sosialnya, Pak Yunus juga menyampaikan bahwa pendidikan disana sangat diutamakan, karena pemerintah daerah paham betul jika sumber daya alam disana tidak memungkinkan untuk menghasilkan komoditi, maka disiapkanlah manusianya yang mampu bersaing dan memajukan daerahnya.
Siswa-siswi KPB sangat serius mendengarkan hingga suara haru bergemuruh di ruangan ketika Pak Yunus bercerita tentang kamera, laptop dan handphonenya terjatuh di Mentawai saat mereka melakukan perjalanan dengan sampan dan terjebak pada pertemuan arus laut dan sungai. (T_T)
Selesai dengan cerita mengenai ekspedisi, beliau kemudian membahas tema utama yaitu tentang “Doctor Share”. Misi utama Doctor Share yaitu menyediakan fasilitas kesehatan maupun penyuluhan kesehatan di sekolah-sekolah untuk wilayah yang sulit dijangkau atau terisolir. Ada dua metode, yaitu “Floating Hospital” dan “The Flying Doctor”.
“Floating Hospital” adalah pelayanan kesehatan yang berkonsep rumah sakit di atas kapal. Kapal ini berlabuh selama tiga bulan di perairan kepulauan Maluku dan kepulauan lain di wilayah Indonesia. Hingga saat ini sudah ada tiga kapal yang beroperasi, dengan jumlah 200 orang dalam kapal termasuk dokter, bidan, perawat dan ahli anastesis serta beberapa relawan. Berawal dari kapal pinishi hingga kapal besar yang fasilitasnya sudah memadai seperti alat kesehatan di rumah sakit perkotaan.
Adapun “The Flying Doctor” sesuai namanya, merupakan pelayanan kesehatan untuk wilayah pegunungan dengan menggunakan helikopter. Karena alat transportasinya, maka dokter yang bertugas pun tidak sebanyak floating hospital. Kendala lain juga pada faktor alam seperti cuaca, jika cuaca buruk maka tidak ada helikopter yang bisa mendarat di lokasi.
The flying doctor sudah melakukan pengobatan di distrik Wandai, Papua. Dokter melakukan pelayanan kesehatan dengan fasilitas seadanya, jika perlu melakukan bedah, mereka akan melakukan bedah minor di lapangan saat itu juga. Dikatakan juga bahwa penyakit yang paling banyak muncul di daerah ini adalah ISPA (pernafasan) dan hernia (pada perempuan karena mengangkat beban berat dan kurang minum).
Kegiatan Doctor share ini bersifat relawan, dengan pendanaan berasal dari dana CSR perusahaan maupun sumbangan individu. Ke depannya, Doctor share akan mengembangkan konsep untuk memberikan pelatihan kepada tenaga medis lokal. Doctor share juga membuka peluang untuk menjadi relawan dengan mengakses website resmi mereka. (klik disini)
Siswa-siswi KPB saat antusias mendengar cerita dari Pak Yunus, dan mereka pun berbinar-binar ketika beliau mengatakan bahwa siswa-siswi KPB berkesempatan untuk menjadi relawan di Doctor Share. Ayo berangkat!! (^.^)
Advertisements I wanna spread a good news: