Perlindunganku

Seperti biasa, aku melakukan rutinitasku ketika sudah sampai di perpustakaan.

Mengembalikan buku yang sudah selesai kubaca hari sebelumnya, mencari buku yang belum pernah kubaca, mengambilnya, membawanya menuju meja pustakawan—atau bisa kukatakan, itu adalah tempat kerjaku—di dekat pintu masuk, menduduki kursinya yang nyaman, kemudian membaca buku yang sudah kuambil itu.

Aku Minerva, seorang wanita muda berumur 20 tahun yang sudah memiliki pekerjaan. Orang-orang sering menjuluki pekerjaanku sebagai ‘penjaga perpustakaan’. Tidak salah, hanya saja kurang tepat. Ya, aku seorang pustakawan yang setiap harinya harus datang ke perpustakaan untuk mengurus perpustakaan dari pagi hingga malam.

Aku mencintai pekerjaanku, sangat mencintainya. Rasanya aku rela menukar waktu hanya agar aku bisa datang ke perpustakaan setiap hari dari pagi hingga malam. Perpustakaan sudah seperti rumah keduaku. Aku senang dan merasa nyaman ketika aku dikelilingi oleh berjuta-juta buku dengan berjuta-juta informasi berbeda di dalamnya. Aku bisa saja membacanya seharian tanpa berhenti. Kenapa? Karena aku menyukainya.

Alasan lain aku lebih suka berada di perpustakaan dan menghabiskan waktu dengan membaca buku adalah… aku tidak perlu mengeluarkan suara. Biarkan otakku yang berbicara, jangan mulutku.

Hari ini, rutinitasku kembali kulakukan. Setelah memutuskan akan membaca buku apa, aku mengambilnya dan membacanya di meja kerjaku, meja pustakawan. Biasanya, jika tidak ada buku baru yang datang, aku bisa menghabiskan waktu membaca buku di meja kerjaku. Komputer kubiarkan menyala namun jarang sekali kupakai jika tidak ada sesuatu yang penting.

Hari ini, tidak banyak pengunjung yang datang. Wajar, sih. Lagipula ini hari kerja, orang-orang akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Justru lebih bagus seperti itu, karena aku bisa fokus dengan bacaanku.

Pintu perpustakaan pun terbuka. Seorang wanita yang tampaknya lebih tua beberapa tahun dariku itu mendatangi meja kerjaku sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket.

“Hai,” sapa wanita tersebut dengan senyuman lebar. “Ini benar perpustakaan kota, kan?”

Aku mengangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. Wajahnya bukan seperti orang-orang kebanyakan. Apakah ia bukan orang Jepang?

“Iya, benar.”

“Oh, oke.” Wanita itu mengangguk-angguk. “Lalu, kau Minerva?”

Aku mengerutkan dahi mendengar pertanyaannya sebelum memberikan anggukan singkat. “Benar… Anda siapa, ya?”

“Oh, perkenalkan. Namaku Reva Abhipraya, kau bisa memanggilku Reva.” Wanita itu mengulurkan tangannya yang kemudian kusambut dengan perlahan.

“Darimana kau tahu namaku…?” tanyaku heran.

Wajah wanita itu—Reva—tampak was-was. “Bisa kita bicara di tempat lain? Yang lebih tertutup, maksudku.”

Aku pun membawanya ke salah satu lorong jajaran rak yang selalu sepi akibat berada di pojok dan buku yang disuguhkan kurang menarik peminat.

“Ada apa?” tanyaku lagi.

“Kau keturunan Brechkovsky, kan?”

Loh, tahu darimana dia?

“Iya…”

“Ah! Kau yang selama ini kucari-cari.” Reva tersenyum senang. “Aku akan memberimu perlindungan, Minerva.”

“Perlindungan? Perlindungan… apa?”

“Tentu saja perlindungan dari keluargamu sendiri.”

“Memang kenapa…?”

“Kau sedang dikejar mereka, kau tahu?” Reva mengangkat satu alisnya.

“Selama ini aku memang selalu dikejar mereka, dan…” ucapanku terpotong.

“Dan sekarang mereka ada di Jepang. Kau tahu itu?”

Aku terkejut mendengar pernyataan Reva. “Kau yakin?”

“Tentu saja. Aku bukan orang sembarangan yang bisa memberimu informasi bohongan.”

“Lalu, aku harus bagaimana…?”

“Kau tidak perlu panik atau apa. Aku akan memastikan kau baik-baik saja. Yang perlu kau lakukan hanyalah menuruti perintahku, tapi tenang! Perintahku tidak datang setiap saat, kok. Bersikaplah seperti diri sendiri saja,” jawab Reva.

Hening beberapa saat. “Aku masih sulit memercayainya…”

“Yasudah. Kau ada waktu, tidak? Mungkin kita bisa mengobrol sambil minum teh, misalnya, daripada berbisik-bisik di balik rak-rak buku ini?”

Mau tidak mau, aku pun mengiyakan. “Baiklah…”

“Bagus! Kita pergi, kalau begitu? Pekerjaanmu ada yang menggantikan sementara, kan?”

Aku mengangguk cepat sebelum akhirnya mengikuti wanita tersebut.

Apakah ini merupakan sebuah permulaan dari semua insiden yang sudah kulalui? Apakah ini saatnya aku mulai menerima kehadiran seseorang untuk melindungiku dari keluargaku sendiri? Kalau memang iya, berarti Reva adalah orang yang tepat yang telah kutemukan, dan aku adalah orang yang tepat bagi Reva yang telah ia temukan.

 

#JanuaryProsody #JanuaryProsodyDay07

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related