Review Buku #82 – Until Friday Night (2015)

Not everything is what it seems. Not everyone is what they should be or appear to be.

Perempuan itu menyaksikan ayahnya membunuh ibunya. Pria itu sedang menderita menyaksikan ayahnya yang perlahan menuju waktu kematian. Kemudian dengan beban yang terus bergantung di pundak, perempuan dan pria itu bertemu.

Dua tahun yang lalu Maggie Carleton menyaksikan kematian ibunya di hadapannya langsung dan ayahnya pun dijebloskan ke penjara. Maggie menjadi depresi dan shock. Karena Maggie takut orang sekitarnya bertanya mengenai peristiwa kematian ibunya, ia pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi sejak saat itu.

Sebelum ayahnya dinyatakan sekarat, hidup West Ashby tidak ada masalah. Prestasinya di bidang football membuat dirinya terkenal. West juga selalu mempunyai momen menyenangkan bersama sahabatnya dan banyak perempuan yang mengantri untuk menarik perhatiannya. Dari luar terlihat hidupnya tidak ada perubahan. Tetapi dari dalam, hidup West berubah menjadi gelap sejak ia harus melihat ayahnya menderita. West juga tidak mau berita keadaan ayahnya tersebar dan melihat pandangan sedih tertuju padanya.

Maggie pindah ke kota yang sama dengan West. Pertemuan pertama mereka tidak bisa dibilang menyenangkan. West tahu Maggie tidak bisa berbicara dan memanfaatkan kondisi itu untuk melampiaskan kemarahannya pada kondisi rumah dengan mencium Maggie. Namun Maggie tidak berusaha kabur saat itu. Maggie tidak melihat West sebagai pria brengsek yang berbuat seenaknya, melainkan sosok pria yang sedang bertarung melawan kepedihan. Maggie bisa melihat kesedihan yang mendalam dalam sorot mata West karena ia juga pernah jatuh mendalam dalam keadaan yang sama. Jika ia melampiaskan perasaan sakit dengan tidak berbicara, West melampiaskannya dengan menyakiti orang lain.

Ketika mereka bertemu lagi, West bercerita tentang kondisi ayahnya dan ketakutannya jika ayahnya sungguh meninggal. West berpikir karena Maggie tidak berbicara, ia bisa aman menceritakan rahasianya. Maggie tahu betapa sengsaranya ditinggal orang yang disayangi. Karena Maggie ingin menyelamatkan West dari kesedihannya, ia pun merespon cerita West. Sejak saat itu Maggie hanya berbicara di depan West. Maggie mendengarkan semua keluh kesah West dan selalu ada di tempat setiap West membutuhkan dukungan. Tapi jika Maggie bisa menyelamatkan West, apa ia juga bisa menyelamatkan dirinya dari masa lalu?

When you are silent, you can observe so much more. I see others’ mistakes more easily.

Di awal cerita, gue bersemangat ingin melihat bagaimana Maggie menghadapi lingkungannya dengan kondisinya yang tidak berbicara. Ditambah lagi sosok West yang dari awal sudah terpikat pada Maggie. Tapi ketika Maggie sudah berperan dalam menenangkan emosi West… oke, gue bosan dan ingin cepat cerita ini berakhir. Bukan berarti gue tidak suka Maggie dan West. Oh hell, gue senang sekali saat mereka sudah jadi pasangan. Tapi perjalanan ke tahap itu terlalu bertele – tele tidak penting. West kebanyakan berlarut dalam kegalauannya sedangkan Maggie terus berputar di pikiran “semua ini demi pertemanan”.

Ini buku pertama dari Abbi Glines yang gue baca, dan sepertinya gue tidak ada niat lanjut ke buku doi lainnya. Style penulisannya entah kenapa tidak srek di gue. Kalimat yang dipakai juga tidak sesuai umur si author yang sudah dewasa. Gue seperti melihat remaja yang hobi menulis dengan kebetulan banyak kalimat mutiara di stoknya.

Pain came to all of us at some time or another.

Intinya, banyak momen roller coaster yang gue rasakan dari buku ini. Naik turun lalu berputar. Untung saja gue berhasil sampai di titik finish roller coaster. Untung saja pula endingnya ditutup dengan momen manis Maggie dan West. Tanpa ending itu, score gue untuk cerita ini bisa saja lebih rendah.

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related