Review: Kisah Seorang Pedagang Darah – Mengintip Kesempurnaan Gaya Terjemahan Agustinus Wibowo

Sumber gambar: demabuku

Ada dua alasan saya membeli buku ini: pertama, karena dari sinopsisnya ceritanya kayaknya mendayu-dayu dan sarat nilai-nilai kekeluargaan (ini tipikal cerita para penulis Tiongkok gaya klasik), dan kedua, karena penerjemahnya Agustinus Wibowo.

Saya pernah membaca “Titik Nol” karangan beliau dan betul-betul terkesan. Bukan hanya karena pengalamannya yang luar biasa kala mengarungi Asia, tetapi juga gaya menulisnya yang smooth, agak romantis, dan mampu menyeret penonton sampai terbawa ke posisinya dalam cerita. Gaya menulis ini saya yakini terbawa dalam terjemahan beliau, “Kisah Seorang Pedagang Darah”. Bagi saya, terjemahan yang dibuat oleh seorang penulis sekaliber Agustinus Wibowo adalah karya yang mungkin akan sama, bahkan lebih cemerlang daripada karya aslinya. Sebab tidak seperti terjemahan buatan penerjemah murni, ada jejak-jejak keindahan kata yang bisa dinikmati dalam karya terjemahan garapan seorang penulis/sastrawan. Itu yang saya yakini ketika memutuskan memasukkan buku ini dalam daftar belanjaan saya.

(Artikel sarat spoiler, putuskan sendiri mau dibaca atau tidak.)

Ringkasan Cerita

Ceritanya simpel. Xu Sanguan, si pengantar kepompong buat pabrik sutra, menikahi Xu Yulan si kembang desa dan melahirkan tiga anak. Celakanya, di awal cerita, ketahuan kalau si anak sulung mereka (Yile) ternyata adalah anak hasil hubungan Xu Yulan dan warga sekampung mereka, He Xiaoyong. Dari mana ketahuannya? Dari bisik-bisik tetangga, tentu saja.

Keributan soal Yile bertambah parah karena Xu Sanguan tidak mau mengakui Yile sebagai anaknya, sementara He Xiaoyong juga tidak mau menerima Yile masuk dalam keluarganya. Alhasil, Yile terkatung-katung dengan statusnya sebagai anak haram.

Tidak hanya soal Yile, dalam buku ini diceritakan pula berbagai masalah yang lumrah terjadi dalam keluarga pada masa itu. Kesulitan ekonomi, gosip-gosip tetangga, pengkhianatan, hingga perkelahian berdarah yang membuat gaduh satu kampung. Beberapa di antara masalah ini memaksa Xu Sanguan untuk jual darah. Kenapa jual darah? Karena pada masa itu, sekali menjual darah orang bisa dapat uang yang jumlahnya bahkan lebih banyak daripada penghasilan mereka bertani setahun. Kebayang ‘kan banyaknya?

Alur yang Tidak Dibuat-buat

Buku ini mengingatkan saya dengan film-film kartun garapan Studio Ghibli. Keduanya sama-sama membawakan kisah yang realistis dan memancing nostalgia, yang mana, tidak banyak penulis yang punya kemampuan menggarap cerita fiksi dengan cara yang alami dan tidak dibuat-buat. Dalam hal ini, Yu Hua, si penulis aslinya, berhasil menggarap kisah keluarga Xu Sanguan menjadi cerita yang nagih tanpa perlu banyak bumbu dramatisasi. Alur cerita yang alami membuat saya mendapat kesan bahwa penulis sedang menceritakan langsung hasil pengamatannya terhadap sebuah keluarga dan kampung yang benar-benar ada. Jalan ceritanya tidak dramatis karena, ya, kalau di keluarga yang nyata, nggak setiap hari ‘kan bakal ada drama keluarga yang sensasional? (That’s why Elif is a pure fiction! Hahaha. Tapi Elif mah serial, dan ceritanya bagus kok.)

Anyway, jalan cerita yang dramatis ini yang membuat klimaks dan antiklimaks cerita Yu Hua tidak berlebihan. Kalau dicari perbandingannya, kira-kira seperti novel “Padang Bulan” karangan Andrea Hirata. (Spoiler dari buku lain! Waktu itu saya sebenarnya berharap Enong bisa lanjut sampai kompetisi catur internasional. Tapi Andrea Hirata mengakhiri ceritanya dengan kemenangan Enong di kompetisi catur sekampung saja, habis itu ya Enong melanjutkan lagi kehidupan sehari-harinya yang dulu. Nah, kira-kira antiklimaks buku Darah ini mirip seperti itu. Saya nggak kecewa sih, cuma langsung ngerasa kalo saya terlalu banyak termakan drama dari buku lain wkwkwkwk).

Setelah saya telusuri latar belakang Yu Hua, ternyata memang benar kalau Yu Hua menulis ini berdasarkan pengalamannya sendiri di masa lampau. Sekali lagi, tidak banyak penulis yang mampu membuat cerita yang realistis sekalipun mereka pernah mengalami kejadian dalam cerita ini. Apalagi kalau ternyata penulisnya adalah seorang mantan dokter gigi. (Yesh baby, Yu Hua itu ternyata mantan dokter gigi! Pindahan karirnya lumayan ekstrim ya hehehe.)

Karakter yang Manusiawi

Sejak dulu, saya paling nggak suka karakter cerita yang martir banget. Bahasa Inggrisnya, too selfless. Karena manusia itu punya emosi, jadi seberapa kuatnya kita pun, kalau ditindas atau dihina, kita akan bereaksi. Entah itu bicara empat mata baik-baik, marah-marah, atau bahkan sampai tonjok-tonjokan. (Buat yang bikin sinetron di TV, always remember this!)

Menurut saya, karakter dalam cerita Yu Hua ini sangat hidup. Seluruh backstory dan kejadian di sekitar mereka benar-benar adalah milik mereka. Ketika Xu Sanguan tahu dia dikhianati istrinya, dia marah dan sampai berhari-hari nggak mau kerja. Dia nggak segan-segan mencaci-maki istrinya karena udah banting tulang bertahun-tahun malah membesarkan anak yang ternyata bukan anaknya. Namanya orang dikhianati sampai segitunya, tentu akan bereaksi seperti Xu Sanguan.

Tapi namanya manusia, sekalipun dikhianati, bisa masih punya rasa kasihan. Waktu Xu Sanguan ngajak satu keluarga (kecuali Yile) makan mie buat merayakan tahun baru, Yile ditinggal di rumah dan cuma dikasih ubi manis. Yile nangis sampai pergi ke rumah He Xiaoyong, lalu dari satu rumah ke rumah lain lagi, minta dijadiin anak asal mereka mau memberikannya mie. Setelah mendengar dari tetangga soal Yile yang keluyuran nangis-nangis di jalan, Xu Sanguan akhirnya mencari Yile dan mengajaknya makan mie. Di awal-awal dia menolak mengajak Yile, di akhir malah mengajak Yile makan bareng berdua.

Saya suka sekali adegan di atas ini karena, terlepas dari Xu Sanguan yang bad temper dan emang sensitif soal status Yile, masih ada kasih sayang yang mau diberikannya buat Yile. Sederhananya sih (pada titik itu), dia tidak sayang Yile, tapi juga tidak pure bersikap antagonis terhadap Yile. Nggak seperti tokoh antagonis di film Disney zaman dulu yang sekali jahat ya jahat terus, atau kayak Bu Rika di drama “Bidadari” yang saking jahatnya sama Lala jadi menciptakan mindset kalau yang namanya ibu tiri itu jahat semua. Afterall, there’s always side B behind side A, right?

Tidak hanya Xu Sanguan, sifat manusiawi juga ditunjukkan oleh tokoh lainnya seperti Xu Yulan. Contohnya, saat Xu Yulan meminta Yile menyelamatkan nyawa He Xiaoyong. Jadi, Xu Yulan ini hubungannya buruk banget sama He Xiaoyong. Apalagi sama istrinya He Xiaoyong, dong? Xu Yulan ini pernah sampai bersujud memohon-mohon sama istri He Xiaoyong biar mau mengasuh Yile, tetapi ditolak mentah-mentah. Nah, “hari pembalasan” datang ketika He Xiaoyong sakit sampai nggak sadar-sadar. Kalau kata omongan paranormal, He Xiaoyong itu sudah sekarat, rohnya sudah melayang keluar dari badannya. Jadi biar roh He Xiaoyong kembali lagi, anak cowoknya harus manjat ke atap dan berteriak-teriak memanggil roh ayahnya buat pulang.

Sialnya, He Xiaoyong cuma punya dua anak perempuan. Anak laki-lakinya cuma si Yile dari hubungan accident-nya dengan Xu Yulan. Jadilah si istri He Xiaoyong pergi mencari Xu Yulan buat memohon “meminjamkan” Yile.

Kalau mau didramatisasi, bisa saja Xu Yulan tiba-tiba jadi ibu peri, terus dibuat langsung memaafkan keluarga He Xiaoyong setulus-tulusnya dan seikhlas-ikhlasnya. Tetapi, sikap Xu Yulan ini dibuat sangat manusiawi. Sementara istri He Xiaoyong menangis-nangis memohon bantuan, Xu Yulan asyik nyinyir mengungkit-ungkit sikap ketus keluarga He di masa lalu. Dia puas-puaskan mempermalukan istri He Xiaoyong di depan para tetangga, kemudian sesudah puas, eh dia bujuk Yile agar bersedia membantu menyembuhkan ayah kandungnya. Walaupun Yile awalnya merengek-rengek karena tidak mau, dan walaupun Xu Yulan sendiri terasa banget enggan menolong keluarga He, toh dia tetap memaksakan diri untuk membantu istri He Xiaoyong. Saya nggak bilang sikap Xu Yulan yang kayak gini baik lho, tapi yang jelas, si penulis berhasil menggambarkannya sebagai karakter abu-abu, yang tidak baik-baik banget tapi juga nggak jahat-jahat banget. Saya pikir membuat cerita dengan karakter yang seperti ini sangat penting untuk mengajari pembaca bahwa di dunia ini, semua bersifat relatif.

Bahasa yang Agak Vulgar

Beberapa adegan di novel ini menggunakan deskripsi dan dialog yang agak kasar, bahkan vulgar–terutama di bagian perkelahian orang-orang dewasa. Tidak sevulgar itu juga, tapi paling tidak membuat saya menyimpulkan bahwa novel ini lebih cocok untuk orang dewasa.

Penuh Pesan Tersirat

Saya tidak menemukan keterangan umur pembaca yang cocok untuk buku ini. Tapi dengan pesan moral yang rata-rata bersifat tersirat, alias tidak dikemukakan dengan gamblang, menurut saya buku ini lebih cocok untuk kategori remaja hingga dewasa.

Banyak sekali pesan moral yang saya dapatkan dari kisah ini, tetapi yang paling utama adalah, kasih sayang mampu melampaui hubungan darah. Mungkin karena itu juga ceritanya bertemakan pedagang darah ya?

Suasana Khas Kampung

Saya pernah tinggal di daerah perkampungan. Jadi saya tahu persis, sekali bisik-bisik ke satu tetangga, ceritamu bisa menyebar hingga ke satu jagad kampung. Ini biasanya berkat para “agen CIA” alias para penggosip desa, yang tidak lain selalu diperankan oleh mamak-mamak yang di waktu bebasnya doyan banget keluyuran keliling kampung. Makanya saya ngakak-ngakak geli oleh kelakuan Xu Yulan yang suka lenggak-lenggok keliling desa buat ngobrol dan menjaring berita. Yah, tapi buat generasi muda yang tinggal di perkotaan, mungkin agak sulit membayangkan peran agen-agen ini (kecuali ibu kalian sering ngundang teman-teman arisan ke rumah!). Kalau di era milenium kayak sekarang, “agen-agen CIA” ini menjaring infonya bukan lagi dengan lenggak-lenggok keliling apartemen, tapi via chat dan medsos (hehe).

Tidak hanya keberadaan “agen CIA”, masih banyak lagi ciri khas kehidupan perkampungan yang bakal membuat kamu bernostalgia dengan masa lalu. Misalnya, kebiasaan main bareng anak tetangga (zaman-zaman belum ada gadget), terus kalau kelahi suka saling ancam mau ngadu ke abang masing-masing buat balas dendam. Di cerita ini, kebiasaan ngadu ini berakibat fatal karena Yile hampir membunuh anak sulung dari keluarga tetangga demi membela adiknya.

Terjemahan Bintang Lima

Kalau membaca buku terjemahan, ada dua macam kesan yang mungkin kita dapatkan: 1) kita seperti sedang menonton film Barat yang di-dubbing, atau 2) kita seperti sedang menyimak orang mengobrol. Yang satu baku dan agak kaku; tidak mudah menyelami emosi tokoh dengan tipe terjemahan yang begini. Yang kedua cenderung informal dan lebih melibatkan emosi. Emosi ini terasa karena biasanya terjemahan menggunakan kasta bahasa, sehingga terasa perbedaan nuansa ceritanya. Misalnya, dengan menggunakan kata “gue” instead of “saya”, “aku”, atau “aing”, kita bisa menebak seberapa dekat hubungan si A terhadap si B.

Menurut saya, terjemahan Agustinus Wibowo ini unik karena struktur kalimatnya lebih condong ke golongan pertama, tapi rasa dialognya masuk golongan kedua. Ini tergambarkan dengan jelas dalam beberapa dialog:
“Terus mesti bagaimana? Ya terus kamu jadi janda.”
“Sudah tidak ada cara, biniku sudah pegang kelemahanku.”
“Suaramu itu jangan keras-keras. Kenapa aku mesti jual darah? Aku jual darah ya supaya jadi pecundang.”

Terjemahan gaya beginilah yang membuat dialog tokoh dalam buku Darah ini terasa lebih emosional dan jauh dari kesan kaku. Indeed, ini salah satu buku terjemahan yang bisa dinikmati bukan hanya karena ceritanya, tapi juga karena terjemahannya.

Unsur Sejarah yang Tidak Cocok buat Awam

Salah satu klimaks dalam cerita ini berkisar pada kekejaman rezim Mao. Buat orang-orang yang tahu soal rezim Mao atau sejarah Tiongkok (dalam hal ini biasanya warga Tiongkok sendiri), bagian ini akan mendapat tempat tersendiri di hati mereka. Mungkin mereka sempat mengalami masa kepemimpinan rezim Mao atau bahkan pernah mengalami kejadian serupa dalam buku, sehingga akan sangat emosional begitu membaca bagian yang ini. Tetapi bagi kita-kita, warga Indonesia yang tentu tidak familiar soal era sejarah di Tiongkok, kita malah akan mendapat pengetahuan baru dan mungkin tidak akan terlalu meresapi bagian yang menggambarkan sejarah Tiongkok. Tidak apa-apa, karena menurut saya, bagian cerita tentang keluarga Xu sendiri jauh lebih menonjol dan sangat recommended untuk disimak.

Buku Bertema Keluarga yang Layak Koleksi

“Kisah Seorang Pedagang Darah” memang tidak dibawakan dengan dramatis, tetapi bagi saya sangat menyentuh hati. Ini berkat hubungan kasih yang erat antar anggota keluarga Xu, juga tidak lupa, berkat interaksi yang hangat dengan tokoh-tokoh di luar keluarga, entah warga sekampung atau sekadar orang tidak dikenal. Buku ini layak masuk dalam daftar koleksi, terutama buat yang suka tipikal cerita inspiratif seperti “Sepatu Dahlan”, “Chicken Soup”, atau bahkan yang seperti “Titik Nol” garapan si penerjemah. Buat kamu-kamu yang lebih suka cerita yang natural dan tidak sarat dramatisasi, ini jelas buku yang tepat buat kamu.

***

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading...