Buat kamu yang pernah mengajakku berdebat tentang cinta,
Jika ingin memahami bagaimana cara berpikirku, kusarankan kamu pergi ke toko yang menjual buku import dan carilah novel “Strange Weather in Tokyo” karangan Hiromi Kawakami. Mengapa, tanyamu? Karena aku mau kamu mengerti apa makna “absurd” dan “random” yang sering kau tempelkan pada keningku saat kita bertukar pikiran tentang cinta. Kamu yang selalu mengatakan bahwa cinta itu mesti masuk akal sementara aku merasa bahwa jika masuk akal maka itu bukanlah cinta. Masuk akal bagimu salah satunya adalah harus bisa diprediksi, namun bagiku cinta bisa muncul begitu saja, tanpa bisa ditahan.
Tsukiko Omachi seorang wanita yang bahkan ga bisa dibilang terlalu muda dengan usia 37 tahun, punya hobi minum sake dan beer di bar yang kemudian dihampiri seorang pria yang berusia hampir 70 tahun (berdasarkan fakta bahwa selisih usia mereka dikatakan lebih dari 30 tahun). Pria tua itu ternyata adalah seorang guru yang pernah mengajar Tsukiko saat sekolah dan kebetulan punya hobi yang sama seperti Tsukiko: minum sake dan beer, juga merupakan pengunjung tetap bar lokal.
Pria tua itu bernama Harutsuna Matsumoto yang tak usah diingat lengkapnya karena Tsukiko pun tak mau repot-repot, lebih suka memanggilnya: Sensei. Pertemuan mereka unik menurutku karena saat itu Sensei yang terlebih dahulu menyadari keberadaan Tsukiko yang duduk di sebelahnya, dan kemudian membuka pembicaraan setelah memesan menu makanan yang sama dengan Tsukiko namun disebutnya secara terbalik namun berurutan. Tsukiko yang cuek mau tidak mau merasa aneh dan kemudian menengok dan akhirnya merasa familiar dengan wajah pria itu… Sensei lah yang pertama menebak nama Tsukiko dikarenakan dia merasa familiar dengan kebiasaan Tsukiko memakai asesoris di rambutnya. Kenyataannya adalah Sensei beberapa kali melihat Tsukiko di bar itu dan bahkan langsung melihat pada data administrasi dan buku tahunan untuk memastikannya.
Tsukiko pun berusaha untuk mengingat keberadaan pria di samping dan akhirnya mengingat suatu hal yang cukup unik bahwa Sensei selalu memegang penghapus papan tulis yang kerap digunakannya untuk menghapus tulisan-tulisan yang bahkan baru saja ditulisnya. Dari sekian banyak hal yang pasti pernah terjadi selama proses belajar-mengajar antara Tsukiko dan Sensei, mengapa hal itu yang paling diingatnya? Entahlah…
Lalu mereka bincang-bincang, lalu pulang, lalu ketemu lagi secara tidak sengaja, lalu minum-minum lagi, lalu bincang-bincang lagi, dan seterusnya seperti itu.
Perjumpaan di dalam bar sambil minum sake dan beer sampai mabuk nampaknya memiliki 50% bagian dari keseluruhan isi cerita novel ini. Herannya aku merasa tidak bosan karena kebanyakan setting cerita di dalam bar karena si Penulis bisa memberikan nuansa yang tepat sehingga aku seakan ikut duduk di dalam bar yang sama dan melihat dua orang berbeda generasi membicarakan hal-hal yang menurutku aneh. Ada kecanggungan tersirat di dalam pembicaraan itu namun entah mengapa karisma seorang Sensei bisa mengatasi gaya cuek seorang wanita karir yang seakan tidak peduli dengan kehidupannya sendiri.
Penulis mampu mendeskripsikan dengan cara yang tenang dan elegan sikap karismatik seorang Sensei yang tentunya memiliki lebih banyak pengalaman hidup dan sering memberikan kritik-kritik ringan tentang bagaimana seorang wanita seusia Tsukiko harus bersikap – berhasil membuat seorang wanita independen menyadari bahwa dirinya ternyata kesepian. Betapa ternyata intonasi suara mampu membuat rasa kesepian itu melahirkan rasa rindu yang kemudian bertumbuh menjadi kebutuhan untuk ditemani dan kemudian memiliki dan sejalan dengan itu menyerah untuk dimiliki…
Hanya lewat intonasi suara – apakah ada hal “absurd” lain yang bisa kamu temukan yang mampu membangkitkan reaksi seperti itu?
Penulis menggunakan gaya bertutur yang unik, sering kutemukan tak ada pemisah antara imajinasi dengan kenyataan saat berbicara atau bergumam. Seorang wanita sungguh-sungguh jatuh cinta pada pria yang lebih cocok untuk menjadi ayahnya ternyata memang mampu membuatnya melayang dalam khayalan. Tanpa perlu banyak usaha, selain menjelaskan dengan sangat detil lewat tiap tingkah yang dilakukan dan kata yang diucapkan oleh seorang Sensei, Penulis mampu memberikan gambaran tentang apa yang membuat Tsukiko bisa mabuk kepayang – selain mabuk beneran karena kebanyakan minum minuman keras – bahkan mabuknya pun bukan karena ketampanan Sensei. Hanya saja memang Penulis menyiratkan bahwa Sensei rajin berolahraga sehingga mempunyai postur tubuh yang bagus dan membuatnya tetap apik memakai pakaian-pakaian yang bahkan terlihat agak out of date.
Dalam buku ini kurasakan adanya kegamangan, Tsukiko bahkan tidak tertarik dengan seorang pria yang dulu sempat kencan dengannya saat masih sama-sama bersekolah dan yang memang lebih pantas menjadi kekasihnya, bahkan merasa bersalah saat ingin berjalan dengan pria sesusianya itu. Sementara kutangkap kesan bahwa memang sesungguhnya Sensei pun menyukai Tsukiko namun dia masih “terikat” bersama kenangannya dengan istri yang meninggalkannya dan aku rasa akal sehatnya pun membuatnya menjaga keinginan itu. Well, perbedaan usia terpaut sangat jauh, akan terlihat aneh pastinya kan? Tak heran akhirnya ada seorang pria yang marah-marah karena melihat keanehan itu… Namun dapat kulihat juga bagaimana seorang Sensei mampu memainkan perannya sebagai manusia yang lebih banyak pengalaman hidup membawa Tsukiko ke dalam pengalaman-pengalaman baru yang bahkan tidak disadari bahwa Sensei melakukan semacam “rekonsiliasi” antara masa lalu dengan masa kini, dirinya di masa lalu dengan dirinya bersama Tsukiko. Namun aku salut, Sensei mampu menahan hasratnya (baik cinta maupun nafsu…) pada Tsukiko yang kerap kali sudah menunjukkan kebersediaannya untuk disentuh oleh Sensei dan pada akhirnya mengaku bahwa dia jatuh cinta pada pria tua itu. Pengakuan yang dilakukan pada saat sedang mabuk namun seperti yang telah kubilang tadi bahwa cinta itu memang memabukkan, tiada batas antara nyata dengan khayal.
Sesederhana itulah ide cerita buku ini, namun aku sungguh kagum akan kepiawaian Penulis membuat pembaca terhanyut dalam permainan kata dan kalimat – bahkan setelah diterjemahkan dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Inggris. Beberapa kali kubuka kamus digital untuk mengetahui arti dari kosa kata baru yang kutemukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang padahal telah kumengerti jika memakai kosa kata yang “umum”. Namun memang itulah keindahan bahasa, ada kata-kata yang memang jauh lebih indah dan tepat untuk menjelaskan situasi tertentu – sesuai keinginan si Penulis. Aku angkat jempol untuk Allison Markin Powell sebagai penerjemah.
Banyak yang mengatakan bahwa cerita yang baik harus mengandung twist agar pembacanya merasa penasaran dan cerita menjadi tidak mudah ditebak. Aku tidak menemukan twist yang seperti itu, semua berjalan dengan apa adanya bahkan cenderung linier. Twist mungkin perlu jika cerita dituturkan tidak dengan kalimat yang detil. Sungguh, kalimat-kalimat detil tersebar di setiap bagian buku ini, jika engkau tidak sabar membacanya (bahkan jika engkau bukan penikmat permainan kata dan kalimat) niscaya engkau akan bosan dan merasa bahwa memang memerlukan twist. Sempat mengingatkanku pada tulisan a la Haruki Murakami namun tidak sekelam/semurung dia. Buku ini adalah 176 halaman cerita yang sangat rugi jika kamu melewatkan satu saja darinya. Lalu, apakah hubungannya dengan judul yang menyiratkan cuaca yang aneh di Tokyo? Hmmmm… Pernahkah kamu merasa kepanasan saat cuaca dingin dan kedinginan saat sesungguhnya cuaca sedang panas? Ya, mungkin kamu akan menyebutnya sakit meriang! Namun alam punya jadwal tersendiri kapan seharusnya panas atau dingin sudah dimulai, manusia mencoba memprediksinya dan kerap gagal karena semua itu adalah alami. Itulah cinta. Alami.
Ide cerita yang sangat sederhana ini tak akan menjadi sederhana jika kamu membacanya dengan sungguh-sungguh, seperti aku yang akhirnya menempatkan diri sebagai Tsukiko sekaligus sebagai Sensei dan merasakan dengan jelas konflik yang terjadi. Absurd? Memang! Tapi bukankah cerita cinta yang dimulai dengan ke-absurd-an mampu membuatmu terhuyung-huyung pusing karena berusaha memilah mana yang bisa diterima dengan yang tidak? Dan tak ada yang mampu kamu lakukan selain menerimanya dan menikmatinya, meski tidak tahu untuk jangka waktu berapa lama… Satu hal yang kuminta, bukalah pikiranmu saat membaca cerita ini, tak usah engkau mengaitkannya dengan dogma-dogma atau aturan aturan, tokh kita semua tahu bahwa kerap ditemukan keunikan dan keanehan (kinky, penjelasan tepatnya) dalam kebiasaan orang Jepang…
Ah, jangan berargumen lagi untuk kemudian menyatakan bahwa ini tak bisa dipercaya karena hanya sekedar fiksi…
Engkau tahu bahwa hidupku ini adalah fiksi… Tulisan unik Sang Penulis Besar yang pada awalnya aku pun tak bisa mempercayainya, namun ini nyata… Fiksi buatmu, kenyataan bagiku…
Karena aku mengalaminya…
Sacramento, 1 Mei 2017
Advertisements Share this: