Rate this book

86 (2011)

by Okky Madasari(Favorite Author)
3.36 of 5 Votes: 3
languge
English
genre
publisher
PT Gramedia Pustaka Utama
review 1: Yah, buat mahasiswi hukum yang masih hijau-hijau kayak gue gini cocok lah baca novel ini. Itung-itung pengenalan dan langkah-langkah awal. Hahaha.Arimbi adalah tokoh utama dari novel ini. Gadis idealis, culun, dan terlalu polos yang merupakan seorang sarjana dari universitas medioker di Solo. Orangtuanya tinggal di kampung cuma bekerja sebagai petani jeruk gitu. For the name of altering destiny, si Arimbi lalu merantau ke Jakarta, melamar kerjaan, lalu diterima sebagai pegawai pengadilan, yah semacam tukang ketik atau tukang suruh gitu lah di pengadilan.Di pengadilan, Arimbi jadi anak buahnya panitera. Bayangin aja, panitera aja udah kacungnya hakim, nah Arimbi ini masih jadi kacungnya panitera pula. Atasannya namanya Bu Danti. Terus dia bersahabat juga sama Anisa, teman s... moreepangkatnya. Kehidupan di kantornya ini kusut. Yah, sesuai realita banget lah. Karena Arimbi ini gue tebak adalah tipe cewek yang dulunya pas kuliah nggak pernah hang out sama kawan, (dia bahkan sampe kaga tau apa makna istilah '86') jadi kehidupannya rada cupu gitu. Jadi dia nggak punya banyak pengetahuan tentang kehidupan luar. Dia menjadi the only one orang yang polos di tengah keruh bin kusutnya orang-orang pengadilan. Arimbi ketemu sama Ananta, teman satu kosnya. Terus married lah mereka berdua.Arimbi yang baru melek, terlena dengan kenikmatan 'basah' nya menjadi seorang pegawai pengadilan, meskipun cuma pegawai rendahan. Ketagihan doi, eh suatu hari dia dimanfaatin sama Bu Danti, atasannya tadi. Ketangkeplah si Arimbi dan Bu Danti ini dengan tuduhan kasus penyuapan.Arimbi dipenjara. Di sini fase baru hidupnya dimulai. Arimbi, yang lagi-lagi terlalu naif, baru sadar kalo kehidupan di penjara itu sama aja kotornya dengan kantornya dulu, malah tergolong lebih parah. Mulai dari penjara bisa dibeli, pungli, sampe gembong narkoba yang dengan bebasnya ngedarin narkoba dari dalem sel juga baru diketahui Arimbi. Karena kehidupan yang makin mencekik, Arimbi dan si Ananta, suaminya yang juga cuman berprofesi sebagai tukang survey kredit, makin terdesak. Beralih kerjaan lah mereka, jadi pengedar sabu-sabu, di bawah perintah Cik Alin apa ya kalo ga salah namanya. Worse, dia malah jadi kena biseksual gitu sama Tutik, kepala kamar selnya. Hadohh. Idupnya pokonya jadi makin ribet. Pas gue bilang di Twitter sama Kak Okky tentang kekusutan idupnya Arimbi, beliau ngejawab, "Sebab setiap manusia menyimpan kekusutannya masing-masing". Hahaha.Terus? Kelanjutannya? Ya udah, beli aja bukunya terus baca sendiri.Overall sih bagus. Benar-benar representasi dari potret keadaan hukum Indonesia sekarang. Semua yang terdeskrip di adegan demi adegan sama dengan cerita atau pengalaman yang gue tahu dari orang-orang terdekat gue, tentang bagaimana kusutnya kehidupan hukum Indonesia. Good deed. Minat nih gue baca novel dengan genre hukum kayakgini lagi. Ada rekomendasi judul lain?
review 2: 86Rasanya buku ini lebih seram dari cerita horror manapun. Selama membaca, saya bisa merasakan kengerian terus menerus menyerang saya. Ya, korupsi adalah yang paling mengerikan di muka bumi ini. Pekerjaan saya sekarang juga identik dengan uang panas dan sebagainya. Tapi tetap saja semua pilihan ada di tangan kita; mau ikut jadi koruptor atau tidak.Saya memilih untuk berkata dan bertindak ‘tidak’.Bukan sok suci. Saya hanya merasa korupsi saya sudah sedemikian banyak. Korupsi waktu, korupsi fasilitas kantor, dsb. Sudahlah itu saja korupsi yang harus saya perbaiki. Jangan lagi terlibat korupsi-korupsi yang akibatnya pelik dan sangat laten. Astaghfirullah!Novel 86 ini sukses menyajikan cerita tentang gambaran korupsi di Negara kita, khususnya di ranah hukum. Instansi yang digadang-gadang sebagai penegak keadilan nyatanya malah sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan proses hukum yang baik. Kalau uang sudah berbicara, lunturlah hukum. Hukum bisa dibeli, begitu kata orang banyak. Lihat saja itu koruptor yang di selnya bisa setara dengan kenyamanan hotel berbintang. Atau para koruptor yang melewati masa hukuman yang begitu singkat. Coba bandingkan dengan maling ayam di kampung sana. Ironis. Dan hal ini nampaknya sudah bukan hal yang mengejutkan lagi buat Negara kita.Di buku ini dijelaskan bagaimana seorang yang polos seperti Arimbi saja akhirnya bisa tergiur untuk melakukan praktik haram itu. Alasannya sederhana. Karena ia ingin menjadi orang yang bisa membanggakan orangtu dan membahagiakan orang yang dia sayang. Juga dia berpikir kalau dia kaya dia bisa membantu banyak orang susah. Ya sebenarnya niatnya mulia. Sayang saja nniat mulia itu harus ditempuh dengan cara korupsi.Akibatnya tidak tanggung-tanggung. Seperti yang sering dilihat di televisi, Arimbi akhirnya masuk penjara. Di penjara pun ia sebenarnya menyesali perbuatannya, hanya saja penulis ingin member penglihatan kepada pembaca bahwa korupsi tak ubahnya seperti lingkarang setan yang terus menerus mengekang manusia yang pernah sekali terjun ke dalamnya sehingga tidak bisa keluar lagi. Di penjara, si tokoh utama ini malah ditawari bisnis kotor lagi. Yaitu menjual sabu-sabu. 86, katanya. Alias semua beres. Cincai. Malah di penjara, praktik penjualan sabu-sabu ini lebih aman dibandingkan kalau dijual di luar penjara. Sudah gila kan!Melalui bukunya ini, saya rasa Okky mencoba menyampaikan kepada pembaca tentang dunia hitam hokum di Indonesia, ih, sampai bergidik ngeri saya membaca kalimat demi kalimat dalam buku ini. Tidak satu pun tokoh di buku ini bisa menarik simpati saya. Semuanya sama saja. Terlihat baik di luar padahal aselinya ya busuk-busuk juga. Mulanya berniat ingin menawarkan bantuan gak tahunya malah nggetok di belakang. Selalu begitu. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan. Begitu dalihnya.Benar-benar mengerikan jika kita sudah menjadi budak uang. Dan hal ini tersampaikan dengan baik oleh penulis melalui buku ini. Seorang pegawai negeri gajinya memang tidak seberapa, tapi dengan seragam yang mereka kenakan, mereka kerapkali memanfaatkan seragamnya itu untuk ‘membantu’ melicinkan segala urusan orang-orang. Dari situlah mereka mendapat penghasilan tambahan yang hasilnya jauh di luar gaji bulanan bahkan bisa sampai sering-sering berlubur ke luar negeri padahal sejak jam dua belas siang saja sudah tidak ada di kantor. Entah pergi ke salon mana, ke mall mana. Tanpa maksud menjelekkan pegawai negeri di Indonesia, itulah kenyataannya. Hal ini saya temui nyata-nyata ketika saya ke Pontianak minggu lalu. Saya pergi ke kantor dinas perhubungan dan tidak mendapati ada petugas yang saya cari. Pegawai lain bilang orang yang saya cari sedang istirahat padahal itu baru pukul 10.30. luar biasa. jam kerja pun dikorupsi. Yah seperti saya ini yang mengetik review ini dengan computer kantor dan mengetik di jam kerja. *ditembak meriam*Buku ini membuat saya gemas. Sudah sedemikian kotor ternyata pemerintahan kita. Saya membayangkan kalau buku ini dibaca oleh para koruptor-koruptor negeri ini. Apakah merekan akan sibuk menyangkal, mesam-mesem saja, atau malah bergumam “Ah, ini sih belum seberapa!”Wah wah wah. 4 dari 5 bintang. less
Reviews (see all)
Lola
Lame as duck. Maybe I should quit giving stars to this author's books.
anku
Novel Mbak Okky paling jelek ya ini, kayak sinetron misteri ilahi.
swetha
Cukup berani, lugas, dan tetap saja menunjukkan potret Indonesia!
Write review
Review will shown on site after approval.
(Review will shown on site after approval)