BAB 14
Sejak saat itu Damian seolah-olah menghilang dari kehidupan Serena, Serena merenung dalam mobil rumah sakit yang membawa mereka pulang ke apartemen.
Hari ini Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit, bersama Vanessa dan suster Ana mereka pulang ke apartemen. Suster Ana memutuskan untuk tinggal sementara membantu Serena, dan Vanessa sudah berjanji akan berkunjung setiap hari untuk mengecek kondisi rafi dan melakukan terapi rutin.
Kata Dokter Vanessa, Damian memutuskan mengambil tugas perjalanan ke Eropa dan mungkin akan kembali dalam waktu yang lama.
Dada Serena terasa nyeri, ketika sekali lagi mengakui kenyataan itu kepada dirinya sendiri, Oh ya, dia merindukan Damian, sangat merindukannya. Ternyata cinta memang bisa tumbuh tanpa direncanakan. Serena mencintai Damian. Dia tidak tahu kapan perasaan ini bertumbuh. Dia hanya tahu dia mencintai Damian, itu saja.
“Aku tidak menyangka bosmu yang kelihatannya sombong itu bisa begitu baik, meminjamkan apartemennya”, Rafi memecah keheningan, menatap Serena dengan sedikit menyelidik, dia bertanya-tanya karena akhir-akhir ini Serena begitu murung,
“Aku yang membujuknya”, Vanessa yang duduk di kursi depan cepat-cepat menjawab, tahu bahwa Serena pasti kebingungan dengan pertanyaan Rafi itu, “Damian adalah sahabat suamiku, aku bilang merawatmu penting bagiku, karena kamu adalah salah seorang yang selamat dari kecelakaan yang menewaskan suamiku. Jadi Damian mau meminjamkan apartemen itu, toh apartemen itu tidak terpakai.”
Diam-diam Serena dan suster Ana menarik napas lega mendengar kelihaian dokter Vanessa menjawab.
Mereka sampai di apartemen, dan Serena mendorong kursi roda Rafi memasuki ruangan itu.
Begitu mereka masuk tanpa sadar Serena mengernyit, semua kenangan itu seolah menghantamnya. Di sini, di apartemen ini dia menghabiskan waktu berdua dengan Damian, makan malam bersama, bercakap-cakap bersama….
“Apartemen yang sangat bagus, kita beruntung Serena, bos mu sangat baik.” Rafi mendongakkan kepalanya ke belakang menatap Serena sambil tersenyum,
Mau tak mau Serena memaksakan senyuman di bibirnya. Kuatkah ia berada di sini? Apalagi di kamar itu… Serena melirik kamarnya, tempat Damian juga menghabiskan sebagian besar waktunya di sana. Tidak! dia tidak mau masuk lagi ke kamar itu!
Dengan cepat dan efisien mereka menyiapkan segalanya sehingga Rafi selesai di terapi dan beristirahat di kamarnya. Suster Ana menjaganya sebentar, lalu berpamitan untuk kembali ke rumah sakit, berjanji akan pulang dan menginap di sini nanti malam.
Setelah memastikan Rafi tertidur pulas, Vanessa menyeduh teh dan mengajak Serena duduk di ruang depan.
“Dia sudah kembali dari eropa.” Vanessa membuka percakapan, menatap Serena dari atas cangkir kopi yang diteguknya.
Seketika itu juga hati Serena melonjak, tahu siapa yang di isyaratkan sebagai ‘dia’ itu.
“Apakah dia baik-baik saja?” Tanya Serena pelan.
Vanessa tersenyum miring mendengar kelembutan dalam suara Serena,
“Kau itu baik hati ya, sudah menerima arogansinya yang tidak tanggung-tanggung, tetapi masih saja mencemaskannya,” dengan pelan Vanessa meletakkan cangkirnya, “Yah, dia baik-baik saja, sedikit kurus, terlalu memaksakan diri dan jadi pemarah seperti beruang terluka, tak ada yang berani menyinggungnya dan mendekatinya dalam radius 100 meter kalau dia sedang mengeluarkan aura pemarahnya, bahkan direktur keuangan memilih berhubungan dengannya via telepon,” Vanessa terkekeh. Lalu wajahnya berubah serius melihat kesedihan Serena, “Yah…. dengan melupakan fakta kalau akhir-akhir ini dia lebih seperti mayat hidup daripada manusia, sepertinya dia baik-baik saja.”
Serena memalingkan wajahnya dengan pedih,
“Dia menderita Serena…” desah Vanessa kemudian, “Aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.”
“Sudah…” Serena tidak tahan lagi mendengarnya, penderitaan Damian serasa mengiris-iris hatinya, “Sudah aku tidak mau mendengar lagi.”
Vanessa menarik napas, “Tapi tadi dia memintaku menyampaikan pesan kepadamu.”
Kata-kata Vanessa yang menggantung membuat Serena menoleh, tertarik,
“Pesan?”
Vanessa menggangguk, “Ya, sebuah pesan… malam ini jam delapan, ditunggu di restourannya,“ lalu Vanessa menyebutkan nama sebuah hotel, Dan Serena mengernyit, hotel tempat pertama kali dia bersama Damian.
***
Serena merasa tidak nyaman, pakaiannya terlalu biasa-biasa saja untuk ukuran hotel yang mewah ini. Dia berdiri dengan kikuk di lobby, tak tahu harus berbuat apa.
Entah dorongan apa yang membuatnya datang menemui Damian malam ini. Dia tahu dia nekat, seperti memancing iblis untuk membakarnya. Tapi dia tidak bisa menahan diri. Dia ingin bertemu Damian, walaupun mungkin ini untuk terakhir kalinya.
“Bisa dibantu, Nona?” Lelaki petugas hotel itu datang menghampiri, sepertinya melihat kebingungan Serena,
“Eh saya…saya Serena…saya sudah ditunggu…”
“Nona Serena,” petugas itu berubah sopan dan membungkukkan tubuh, “silahkan, anda sudah ditunggu, mari saya antar.”
Dengan ragu Serena melangkah mengikuti petugas hotel itu, memasuki restaurant yang tertata dengan mewah dan elegan.
Dan disanalah Damian, duduk dengan pakaian resminya, mata Damian sudah melihatnya ketika dia memasuki ruangan. Dan tidak lepas memandanginya dengan tajam setelahnya.
Ketika Serena mendekat, Damian berdiri dengan sopan lalu duduk lagi setelah Serena duduk,
Hening sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Terimakasih sudah datang.” gumam Damian lembut,
Serena mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kelembutan tatapan Damian.
“Mungkin ini untuk terakhir kalinya, mungkin setelah ini aku tidak akan datang lagi.” gumam Serena pelan.
Damian menggangguk, “Setelah ini aku tidak akan pernah memintamu datang lagi.”
Hening lagi. Sampai pelayan membawakan makanan pembuka, mereka makan malam dalam diam.
Sampai kemudian Damian menuangkan anggur ke gelas Serena,
Serena mengernyit, “Aku tidak pernah minum alkohol.”
Damian tersenyum menggoda, senyum pertamanya malam itu,
“Tenang saja, aku akan menjagamu. Kemungkinan terburuknya mungkin kau diperkosa saat mabuk.”
Pipi Serena langsung merona dan Damian terkekeh.
Anggur itu mencairkan segalanya, suasana menjadi hangat, dan percakapan mereka mengalir lancar, Damian menceritakan tentang perjalanannya ke Eropa dan Serena mendengarkannya dengan penuh minat.
Sampai kemudian, Damian menggenggam tangan Serena lalu mengecupnya,
“Aku ingin memelukmu.”
Hanya satu kalimat, tapi Serena mengerti. Dia menganggukkan kepalanya. Entah kenapa dia menyetujuinya. Mungkin karena anggur itu sudah mempengaruhi pikiran normalnya. Yang pasti Serena juga ingin merasakan pelukan Damian.
Dengan lembut Damian menghela Serena, melangkah ke lantai atas,
Ketika Damian membuka pintu kamar, Serena menatap Damian bingung, dan Damian tertawa menyadari kebingungan Serena,
“Yah… kamar yang sama… Kuakui… aku memang agak sedikit sentimental,” Damian mengangkat bahu, pipinya sedikit merona, “Kupikir… tempat saat pertama akan cocok untuk menjadi tempat saat terakhir kita.”
Serena tersenyum lembut, dan membiarkan Damian membimbingnya memasuki kamar,
Mereka berdiri dengan canggung, sampai Damian mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya,
“Aku membawa cincin keluargaku, cincin yang diberikan turun-temurun untuk pengantin perempuan,” dengan tenang dia membuka kotak itu dan menunjukkan cincin dengan berlian biru yang mungil dan cantik, “Aku ingin memberikannya kepadamu.”
“Tidak!!” Serena langsung berseru keras, menolak, “Jangan Damian, itu… itu cincin yang sangat penting, itu untuk pengantin wanitamu!”
“Bagiku, kaulah pengantin wanitaku,” Damian menarik tangan Serena, memaksa memasangkan cincin itu ketangannya, lalu menggenggamnya erat-erat ketika Serena berusaha melepaskan cincin itu, “Aku ingin kau memilikinya.”
“Damian…” Serena merintih penuh penderitaan, penuh air mata, Dan Damian mengusap air matanya lembut, mengecup air matanya lembut,
“Serena,” bisiknya seolah kesakitan, lalu mencium bibirnya dengan lembut dan penuh perasaan, “Astaga… Serena…. Serena… Betapa aku merindukanmu…”
Ciumannya semakin dalam, semakin bergairah, semakin penuh kerinduan, tak tertahankan….
***
Damian melepaskan ciumannya dan menatap Serena lembut,
“Kau mabuk ya?” senyumnya. Merasa senang karena Serena membalas ciumannya dengan sama bergairahnya.
Serena hanya merangkulkan tangannya erat-erat di leher Damian, merasakan benaknya melayang-layang. Sepertinya dia memang mabuk, karena sekarang dia merasa bebas dan begitu nyaman bersama Damian.
Damian terkekeh geli, “Aku senang kalau kau mabuk, kau begitu penurut dan tidak takut-takut,” dengan lembut Damian mengecup telinga Serena, mencumbunya dengan penuh kelembutan, “biarkan aku mencintaimu malam ini Serena….”
Dengan lembut Damian menghela Serena ke atas tempat tidur dan mengecupi wajahnya penuh perasaan, “selama ini kita berhubungan seks…tapi malam ini aku berjanji, kita akan…. bercinta.”
Damian menggerakkan tangannya menurunkan gaun Serena dan mulai mengecupi pundaknya, tersenyum senang ketika mendengar desahan Serena,
“Hmm, kau senang sayang? Kau menyukainya ya?” dengan penuh perasaan di kecupinya semua permukaan kulit Serena.
Serena merasa dirinya melayang-layang, pengaruh alkohol, ditambah kemesraan Damian yang luar biasa membuatnya merasa di awang-awang, dibukanya matanya, dan samar-samar dilihatnya Damian mengecupi jemarinya, ketika Damian menatapnya, mata laki-laki itu tampak berkilauan,
Posisi mereka begitu intim, telanjang bersama dengan tubuh menyatu. Damian mendesakkan dirinya lebih rapat, menikmati tubuh perempuannya yang melingkupinya. Dadanya serasa membuncah oleh perasaan hangat, ketika mata mereka bersatu dalam pesan yang tersirat,
“Aku mencintaimu.” bisik Damian lembut. Dan Serenapun melayang, terbawa oleh cinta Damian.
***
Damian memeluk tubuh Serena yang lunglai dan terlelap, tubuhnya rileks setelah percintaan mereka. Tapi otaknya berpikir keras.
Dia sengaja membuat Serena mabuk malam ini, agar Serena tidak waspada, agar Serena tidak menyadari, tidak menyadari apa yang sudah dia rencanakan jauh sebelumnya.
Dia tidak memakai pelindung saat mereka bercinta tadi. Dia berusaha membuat Serena hamil.
Damian memejamkan mata dan mengernyit ketika sengatan rasa bersalah menyerbunya. Dia telah memanipulasi ketulusan perasaan Serena dengan menjebaknya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah berusaha melupakan Serena. Tuhan tahu dia berusaha sangat keras, apa saja agar Serena bahagia bersama Rafinya yang sudah dipilihnya. Dia bahkan mengajukan diri untuk perjalanan bisnis ke luar negeri agar bisa melupakan Serena. Tapi perempuan itu membayanginya, membuatnya gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi. Damian merasa dirinya nyaris gila ketika memutuskan akan pulang dan memutuskan untuk memiliki Serena dengan cara apapun. Jika Serena tidak mau memilihnya, maka Damian akan memaksa Serena memilihnya!
Dengan lembut Damian mengecup dahi Serena yang berbaring di lengannya. Sebelah tangannya meraba perut Serena yang telanjang di balik selimut dan mengelusnya.
Anakku mungkin sudah bertumbuh di sini, pikirnya posesif. Rasa memiliki dengan intensitas luar biasa muncul tiba-tiba dalam hatinya ketika menyadari bahwa anaknya mungkin sudah mulai bertumbuh dan terbentuk di dalam rahim Serena. Dengan lembut diusapnya perut Serena, Damian tidak bisa menahan diri, pelan-pelan diletakkannya kepala Serena di bantal, lalu dia bergerak turun dan mengecup perut Serena,
“Kau harus tumbuh di sana,” bisiknya penuh tekad, “Kau harus tumbuh sehat dan kuat di sana, agar ayahmu bisa memiliki ibumu”, Damian berbicara sambil mengecup perut Serena.
Kemungkinan bayi itu terbentuk dari percintaan mereka adalah 80%, Damian sudah mempelajarinya dari semua referensi yang bisa ia dapat, ia mengetahui bahwa dari rata-rata umur mereka berdua kemungkinan Serena hamil malam ini sangat besar, dan diam-diam dia sudah mencocokkan dengan siklus Serena, dia tahu perempuan itu sedang dalam masa suburnya.
Ciuman-ciuman lembut di perutnya itu membuat Serena terbangun, dia membuka mata dan menatap Damian,
“Damian?” Serena bertanya-tanya kenapa Damian mengecup perutnya.
Damian tersenyum, senyum yang sedikit kejam menurut Serena, tapi usapan tangan lelaki itu yang dilakukan sambil lalu di sepanjang kulitnya yang telanjang, terasa begitu lembut sekaligus menggoda,
“Aku bergairah lagi.” gumam Damian Serak, lalu bergerak naik dan mengecup bibir Serena penuh gairah.
Damian berbeda dengan tadi, pikir Serena, kali ini sedikit lebih kasar, tidak menahan diri dan sangat posesif. Ciumannya begitu bergairah, melumat bibir Serena kuat-kuat, lidahnya menjelajahi mulut Serena dengan panas, tangannya mengusap tubuh Serena penuh gairah,
“Kau milikku Serena.” gumam Damian parau sebelum bercinta lagi dengan Serena.
***
Serena terbangun dalam pelukan Damian. Matahari fajar sedikit menembus tirai putih jendela hotel itu, masih gelap dan dingin. Dengan nyaman Serena makin bergelung dalam pelukan lelaki itu. Dan secara otomatis Damian mengetatkan pelukannya, melingkarkan lengannya erat-erat di tubuh Serena.
Serena memejamkan matanya, menenggelamkan wajahnya di dada telanjang Damian, menghirup aroma Damian kuat-kuat dan menyimpannya rapat-rapat dalam memorinya. Tiba-tiba air mata merembes dari sela bulu matanya, dan Serena menahannya agar tidak menjadi isakan.
Kenapa? Kenapa Tuhan membuatnya jatuh cinta lebih dulu kepada Damian sebelum kemudian mengabulkan doanya agar Rafi terbangun dari komanya? Apa rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini? Kenapa di saat Rafi benar-benar sudah bangun, hatinya sudah jatuh dimiliki oleh Damian?
Serena mengigit bibirnya agar tangisnya tidak semakin keras dan membangunkan Damian, dia tidak boleh menangis. Ini semua sudah menjadi keputusannya. Dia sudah memiliki Rafi. Rafi yang mencintai dan dicintai olehnya sejak awal. Rafi yang sebatang kara dan tidak akan punya siapa-siapa kalau Serena tidak ada di sampingnya. Rafi lebih membutuhkan Serena dibandingkan Damian. Tanpa Serena, Rafi akan rapuh, sedangkan tanpa Serena, Damian akan tetap kuat. Damian bisa mencari Serena-Serena yang lain dengan segala kelebihannya, sedangkan Rafi hanya memiliki Serena.
Dia sudah memutuskan dalam hatinya, tapi kenapa hatinya tetap terasa begitu sakit? Rasanya seperti disayat-sayat ketika memikirkan Damian, ketika ingatannya melayang pada setiap kebersamaan mereka. Kenapa rasanya masih terasa begitu sakit?
Dan malam ini Serena memutuskan bertindak egois. Hanya malam ini ya Tuhan, ampuni aku, desah Serena dalam hati. Dia tahu semua ini akan terjadi. Dia tahu jika dia datang menemui Damian pada akhirnya mereka akan berakhir di ranjang dan bercinta. Serena tahu itu semua akan terjadi, tapi dia tetap mengambil konsekuensi itu, dia butuh merasakan pelukan Damian untuk terakhir kalinya, dan kemudian meyakinkan dirinya bahwa ini adalah perpisahannya dengan Damian.
Pelukan Damian tiba-tiba mengencang dan lelaki itu dengan masih malas-malasan mengecup dahi Serena,
“Dingin?” tanyanya Serak.
Serena mendongakkan wajah dan mendapati mata biru itu menatapnya. Lalu tersenyum lembut, dan menggeleng.
Damian meraih dagu Serena dan mengecupnya dengan kecupan singkat,
“Aku menyakitimu tidak semalam?”
Sekali lagi Serena menggeleng dan menenggelamkan wajahnya ke dada Damian, menahan air mata. Ini adalah saat berharganya. Berada dalam pelukan erat Damian, merasakan kelembutan dan kemesraannya. Dia akan menyimpan kenangan ini dihatinya, biar di saat-saat dia merasa pedih dan merindukan Damian, dia tinggal menarik keluar kenangan tentang pagi ini, dan hatinya bisa terasa hangat.
Seperti inilah dia akan mengenang Damian nanti, lembut, penuh cinta dan memeluknya erat-erat.
Seolah mengerti pikiran Serena yang berkecamuk, Damian tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Serena erat-erat dan mengusap punggungnya dengan lembut, mereka larut dalam keheningan dan usapan Damian membuat Serena setengah tertidur,
“Aku harap kau tidak menyesali malam tadi.” bisik Damian lembut, menggugah Serena dari kondisi setengah tidurnya.
Serena mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Damian lembut,
“Kau tahu aku tidak menyesal.” tangannya dengan hati-hati mengusap wajah Damian, takut akan reaksi Damian karena dia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Tapi Damian langsung memejamkan mata, menikmati setiap usapan Serena dengan penuh perasaan.
Merasa mendapatkan izin, dengan lembut Serena menggerakkan tangannya, meraba wajah Damian. Mulai dari dahinya, lalu ke alisnya yang tebal, ke mata yang terpejam itu, ke bulu mata tebal yang hampir menyentuh pipi ketika Damian terpejam, ke hidungnya, ke tulang pipinya yang tinggi, ke rahangnya yang mulai ditumbuhi bakal janggut, hingga ke bibirnya yang tipis tapi penuh, bibir yang tak terhitung lagi sudah mengecupnya berapa kali.
“Serena…” Damian mendesah, mengernyitkan keningnya merasakan usapan lembut Serena di wajahnya, tangannya lalu menahan jemari Serena di bibirnya dan mengecupnya, mata birunya membuka dan menatap Serena bagai api biru yang menyala,
“Apapun yang akan terjadi nanti, aku akan membuat kau mensyukuri malam ini.” gumam Damian misterius.
Serena mengernyitkan kening mendengar kata-kata Damian yang penuh arti. Apa maksud Damian?
Tapi sebelum Serena bisa berpikir lebih lanjut, Damian sudah meggulingkan tubuh Serena dan menindihnya. Bercinta lagi dengannya.
***
Serena membuka pintu apartemen dengan berhati-hati dan menemukan dokter Vanessa sedang duduk di ruang tamu sedang menyesap kopi dan menonton televisi.
Dokter Vanessa tersenyum penuh pengertian ketika menatap Serena. Saat itu jam 8 pagi, Serena sengaja meminta Damian memulangkannya pagi-pagi sehingga Rafi belum bangun. Semalampun ia berangkat setelah yakin Rafi sudah tertidur pulas.
“Rafi belum bangun.” jawab dokter Vanessa tenang, menjawab pertanyaan di mata Serena.
Serena menarik napas lega, “Dokter menginap di sini?” tanyanya pelan.
Vanessa mengangguk, “Suster Ana memintaku menemani untuk berjaga-jaga, dan aku tidak keberatan, toh aku tidak ada acara apa-apa,” Vanessa tersenyum lembut kepada Serena, “kuharap semalam menyelesaikan segalanya.”
Pipi Serena memerah mendengar ucapan Dokter Vanessa yang penuh arti itu,
“Dia agak marah tadi pagi saat saya buru-buru pulang demi Rafi”, bisik Serena pelan.
Vanessa terkekeh sambil meletakkan cangkir kopinya,
“Dia memang begitu, tak usah pedulikan, aku yakin sebenarnya dia bahagia kau telah memberinya kesempatan,” suara dokter Vanessa berubah serius, “Dan setelah semalampun kau tetap pada keputusanmu Serena?”
Serena tercenung mendengar pertanyaan itu, sejenak ragu, tapi lalu menganggukkan kepalanya mantap, “Saya harus terus bersama Rafi, dia membutuhkan saya.” jawabnya lembut.
“Kau selalu memikirkan orang lain, bagaimana dengan dirimu sendiri?” tanya dokter Vanessa tiba-tiba.
Dengan masih tersenyum Serena menjawab, “Saya tidak apa-apa dokter, saya merasa bahagia karena semua orang bahagia.”
Semua orang bahagia selain kau dan Damian. Pikir Vanessa miris ketika Serena berpamitan ke kamar untuk berganti pakaian. Vanessa tahu kalau Serena sama tersiksanya dengan Damian. Dan dia ingin berteriak marah kepada Serena, memarahi ketidakegoisan perempuan itu, sekaligus bertanya sampai kapan Serena mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan orang lain? Untuk kebahagiaan orang lain? Vanessa merasakan dorongan kuat untuk memaksa Serena berbuat egois, mementingkan kepentingannya sendiri, berusaha meraih kebahagiaannya sendiri. Tapi dia tahu Serena, dengan kebaikan hatinya yang luar biasa itu tidak akan mau melakukannya.
Dan tiba-tiba Vanessa teringat pertemuannya dengan Damian ketika lelaki itu baru pulang dari eropa beberapa hari lalu, mata Damian saat itu tampak penuh tekad, setengah gila dan menyala-nyala, “Kalau dia tidak bisa memilihku, maka aku akan memaksanya memilihku.”
Wajah Vanessa memucat mendengar nada final dalam ucapan Damian waktu itu,
“Astaga Damian, kau tidak sedang berencana melakukan tindakan kasar dan pemaksaan untuk memiliki Serena kan?” berbagai pikiran buruk melintas di pikirannya, seperti kemungkinan Damian menculik Serena dan membawanya pergi, atau kemungkinan Damian akan menyingkirkan Rafi dengan cara kasar. Itu semua bisa dilakukan Damian dengan kekejaman dan kekuasaannya. Dan Vanessa takut Damian kehilangan akal sehatnya dan memutuskan melakukan salah satu dari hal yang ditakutinya itu.
Damian menarik napas panjang, “Aku akan membuatnya hamil anakku.” gumamnya setelah jeda yang cukup lama.
Vanessa menganga mendengarnya,
“Apa?” Vanessa sudah mendengar cukup jelas tadi, tapi dia sama sekali tidak yakin dengan apa yang didengar telinganya, dia butuh mendengar lagi.
“Aku akan membuatnya mengandung anakku.” gumam Damian penuh tekad.
“Kau sudah gila ya Damian??” suara Vanessa meninggi menyadari keseriusan dalam suara Damian,
Tapi Damian sama sekali tidak terpengaruh dengan nada marah dan ketidak setujuan Vanessan dia tetap tenang dan berpikir, “Jika Serena mengandung anakku, mengingat sifatnya, dia tidak akan mungkin mengugurkannya. Itu berarti dia akan mengakui hubungan kami kepada Rafi, dan aku akan menggunakan segala cara – dengan menggunakan anak itu sebagai alasan – agar aku bisa mengklaim Serena.”
“Kau gila!” seru Vanessa tidak setuju, “apa kau tidak pernah memikirkan perasaan Rafi?? Hatinya akan hancur, dan Serena juga akan menderita jika dia sadar dia telah menyakiti hati Rafi.”
“Kau pikir mereka saja yang menderita hah??” sela Damian keras, membuat Vanessa tertegun, “Aku juga menderita! Aku tidak bisa makan, aku tidak bisa tidur! Aku menjalani detik demi detik, menit demi menit penuh penyiksaan!! Aku sama saja sudah mati akhir-akhir ini! Aku juga menderita, menyadari bahwa aku bisa memiliki Serena tetapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat perempuan itu memilihku!! Sebelum kepulanganku aku sudah bertekad akan melakukan ini! Tidak ada yang bisa mengahalangiku!!
“Damian,” Vanessa melembut, mencoba meredakan emosi Damian, “aku mengerti perasaanmu, tapi bagaimana kalau nanti Rafi ternyata menerima kondisi Serena apa adanya dan kemudian Serena memutuskan membesarkan anak itu bersama Rafi?”
“Kalau itu terjadi aku akan menggunakan cara kekerasan,” jawab Damian dingin, “aku akan memberikan ultimatum, Serena memilihku, atau aku akan merenggut anak itu darinya, kalau perlu aku akan menempuh jalur hukum.”
“Kejam sekali.” Vanessa bergumam spontan.
Damian mengangguk tidak membantah,
“Ya memang kejam sekali.” jawabnya menyetujui, tanpa penyesalan dan tampak penuh tekad menjalankan rencananya.
Dan sekarang Vanessa duduk di ruang makan, mencoba menarik kenangannya kembali. Dengan pelan disesapnya kopinya lagi,
Semoga Tuhan melindungi Serena kalau Damian benar-benar membuatnya hamil malam kemarin. Semoga Tuhan mengampuninya karena dengan kesadaran penuh dia sudah mendukung rencana Damian.
***
Advertisements Share this: