Halal in EU

Awareness saya tentang Halal-haram suatu makanan muncul pertama kali di usia 4-5 tahun. Anak kecil yang suka main petak umpet itu sering bertanya hal-hal aneh sampai bikin ortunya lelah. Suatu kali dia bertanya, apakah kita boleh makan suatu hewan (saya lupa tepatnya hewan apa, tapi kayaknya hewan buas seperti harimau). Lalu sang bapak menjawab tidak boleh, karena hewan tersebut haram dimakan. Lalu..

Y: kenapa haram?

B: karena dia bertaring dan hewan buas

Y: oke. Jadi haram itu apa? (maaf pak anaknya telat nanya)

B: haram itu yang nggak boleh..kalau yang boleh itu Halal, misalnya sapi, ayam, ikan..

Y: oh, jadi kalau kucing, semut, buaya, gajah, dst… (seluruh perbendaharaan hewan yang saya tahu saat itu disebut demi mengidentifikasi  “status” mereka)

Intinya diskusi itu sangat berkesan buat si bocah karena dia jadi tahu bahwa nggak semua hal boleh dimakan.

Dua dasawarsa kemudian, si bocah ini baru saja lulus dari kuliah teknologi pangan yang diidamkannya. Kenapa mau belajar itu? Pertama karena dia punya penyakit maag sejak umur 6 tahun dan ingin belajar pola makan yang benar (harusnya kuliah gizi medis deh kayaknya). Kedua karena terkesan dengan diskusi bersama bapaknya 20 tahun lalu ditambah dengan isu-isu di media selalu memicu rasa penasarannya. Kenapa sih, makanan bisa Halal bisa nggak Halal. Dan motivasi yang kedua itulah yang ia tulis di coverletter aplikasi masternya. Karena kalau dia nulis alasan pertama, akan dibilang salah jurusan.

 

***

Lalu bekerja lah saya di sini. Di institusi yang memiliki visi melindungi konsumen muslim di Eropa dan dunia. Saya baru tahu bahwa hukum Halal haram ini menjadi sangat tricky karena mengawinkan perkembangan teknologi pangan dan fiqih. Belum madzhab yang berbeda turut menentukan pertimbangan pengambilan keputusan. Kemudian pertimbangan negara ahli kitab da daging sembelihannya. Tapi saya nggak mau cerita itu, because I am not that scholar (yet).

 

Yang ingin saya ceritakan adalah, bahwasannya perkembangan masyarakat muslim di Eropa ini sangat pesat terutama 20 tahun terakhir. Ya mungkin ketika di Tangerang diskusi absurd bapak-bocah itu terjadi, perkembangannya juga telah di mulai di benua ini.

gambar dari sini

Salah seorang imam masjid di Roterdam cerita, dulu sebelum ada banyak toko daging Halal para konsumen muslim melakukan dua hal. Pertama, makan menu vegetarian; atau yang kedua; menyembelih hewan sendiri. Teknis yang kedua ini saya agak kurang paham sih, mungkin sewa rumah pemotongan ya. Intinya adalah, betapa mereka sangat menjaga diri dari makanan yang tidak jelas kehalalannya. Kenapa dianggap tidak jelas? Karena metode penyembelihan di sini kebanyakan menggunakan setrum demi mengurangi rasa sakit sang hewan sembelihan (begitu kata aktivis animal welfare). Dan perbedaan pendapat pun muncul terkait hal ini. Oke, saat ini saya tidak ingin membahas perbedaannya ya.

 

Isu lain adalah makanan olahan. Ini kritis sekali karena makanan olahan ini banyak menggunakan bahan tambahan atau bahan pembantu yang kadang berasal dari hewan. Nah di sini lah peran institusi sertifikasi Halal, untuk memeriksa asal muasal seluruh komposisi bahan makanan olahan. Tapi, kabar baiknya, sekarang sudah mulai banyak industri makanan multinasional yang memiliki produk Halal. Misalnya industri aroma, pewarna, emulsifier, produk coklat, produk susu dan turunannya, serta bumbu masak. Sehingga konsumen muslim di Eropa saat ini tidak perlu terlalu khawatir seperti dulu. Ya, memang sih masih ada beberapa komposisi yang perlu diwaspadai seperti misalnya gelatin, kaldu bubuk,pewarna, dan beberapa kode E. tapi itu semua tidak boleh membuat kita takut dan bersikap antipati. Justru kita harus mencari tahu tentang itu semua.

 

Ya, sebenarnya saat ini kita perlu membuka mata dan mengapresiasi negara muslim yang berusaha melindungi warga negaranya. Mengapresiasi orang-orang yang mau bersusah payah melindungi hak konsumen muslim dimanapun mereka berada. Kedua hal tersebut adalah faktor utama yang mendorong pertumbuhan industri makanan halal, terutama di Eropa.

Ini adalah ladang dakwah jihad yang tricky tapi penting. Tricky karena banyak perbedaan pendapat dan multidisplin. Penting karena makan bukan hanya urusan perut, tapi juga jiwa.

 

Akhir kata, saya ingin mencuplik abstrak yang dipresentasikan oleh pak bos di sebuah konferensi Halal di Turki tahun 2016 lalu.

 

Manufacture and Trade Problems in Europe in regard with Halal Aspect

Since most of the company were built many decades ago, when the halal awareness is not yet emerged, the system are mostly unfriendly to halal. The company needs to adapt and learn a lot about halal. For example, building new production line, creating new cleaning facilities or weighing equipment, also need to socialize a halal procedure for all the stakeholders. This is a big yet significant job that is still ongoing process. The main problem is that halal food is recognized only for moslem. In the other hand, they are not consuming halal food as a main need, thus they do not understand the divine message of consuming halal. In the next level, halal requirement will reach other issue. Such as cosmetic and pharmaceutical product, travel and service, also the financial. 

 

Yuk, jadi konsumen yang cerdas sekaligus waspada