“Keluarga ini adalah tanggung jawabnya, di alam mana pun dia berada.”
–Sabtu Bersama Bapak
Novel yang populer tidak lama setelah waktu terbitnya ini memang layak untuk populer *naon!?*.
Ketika saya memutuskan untuk membeli novel ini, saya kira isinya tentang suatu keluarga yang hanya bisa bertemu dan bermain bersama Sang Ayah setiap hari Sabtu. Yap, tebakan saya tidak melenceng amat, memang betul demikian, tapi saya tidak menyangka kalau si Bapak berada di dalam layar, bisa di-pause, play, fast forward dan rewind.
Dalam novelnya ini Adhitya Mulya menceritakan bagaimana kisah seorang kepala keluarga yang divonis kanker dengan sisa usia tinggal beberapa tahun lagi, membiming kedua anaknya, Satya dan Cakra dalam menjalani hidup bahkan bertahun-tahun setelah Sang Ayah berada di alam lain.
Banyak pelajaran hidup yang dapat diambil dari video-video yang dibuat oleh Bapak, tidak hanya untuk Cakra dan Satya tapi juga untuk para pembaca tentunya. Salah satu yang nyelekit buat saya adalah video Bapak ketika membahas IPK, huhu. Di dalam video terlihat Bapak memegang selembar ijazah dengan IPK yang pas-pasan. Kemudian Bapak mengatakan bahwa banyak yang bilang prestasi akademis itu tidak penting saat mencari kerja nanti, yang penting itu attitude atau soft skill. Bapak tidak setuju dengan hal ini karena beliau kesulitan mencari kerja akibat IPK di bawah standar.
Kenapa nyelekit untuk saya? karena saya pun merasakan hal yang sama. Semasa kuliah saya punya kepercayaan bahwa IPK itu tidak penting, yang penting bagaimana cara kita meng-handle orang dan mempunyai EQ yang tinggi. Tapi setelah lulus dan mencari kerja barulah terasa efeknya. IPK memang bukan segalanya, tapi bukan berarti tidak penting. Dia bisa sangat membantu ketika proses seleksi. Pintu peluang juga akan semakin banyak terbuka, seperti apapun attitude kita. Kelakuan masih bisa dirubah, soft skill masih bisa diasah seiring berjalannya waktu, tapi angka di ijazah sudah fix tertulis disitu. Kalau diotak-atik itu namanya hoax.
Lho kok malah curhat masalah IPK? Lanjut.
Cara penyampaian cerita Adhitya Mulya sangat mudah diterima. Diselipkan humor-humor jenaka. Meskipun ada beberapa plothole serta sisipan-sisipan dialog dengan bahasa Inggris, yang menurut saya malah membuat jadi cheesy, namun bisa dimaafkan karena saya sangat suka dengan ide cerita novel ini.
Desain buku juga menarik. Ada frame atau border tertentu yang tidak hanya berfungsi sebagai hiasan tapi memang ada gunanya sebagai visualisasi bagi pembaca. Contohnya ketika bercerita ada SMS masuk, maka teks akan berada di dalam textbox seperti ketika kita membaca layar di handphone. Juga ada frame khusus ketika video Bapak berlangsung.
Apa pembaca sekalian pernah nonton Breaking Bad? Sama-sama divonis kanker tapi alih-alih jadi gembong narkoba, Bapak memilih untuk membimbing anak-anaknya dengan cara yang ideal. Nonton Breaking Bad memang seru, tapi kita butuh juga asupan cerita idealis seperti ini untuk menyeimbangkannya. Tidak ada maksud untuk membandingkan kedua karya tersebut.