REVIEW NOVEL “PULANG” Oleh Leila S Chudori

Novel “Pulang” karya Leila S. Chudori (Google)

Judul                     : Pulang

Karya                     : Leila Salikha Chudori

Genre                   : Fiksi sejarah

Penerbit              : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Bahasa                  : Indonesia

Tebal                     : 464 (termasuk paperback)

Cover                    : Soft

Tahun terbit       : 2012

ISBN                      : 978-979-91-0515-8

Series/Bukan     : Bukan

 

NARASI CERITA :

 

Novel Pulang adalah paparan mengenai peristiwa bersejarah yang dimulai dengan peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis tahun 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai digulingkannya Presiden Suharto pada rezim Orde Baru di Indonesia. Tokoh utamanya adalah Dimas Surya ayah dari seorang Putri cantik Lintang yang dilahirkan dari seorang wanita Prancis bernama Vivienne Deveraux. Dimas Surya memiliki tiga orang sahabat yang bernama Nugroho, Tjai, dan Risjaf. Mereka menyebutkan dengan Empat Pilar Tanah Air yang sudah diharamkan menginjak tanah air sendiri. Para eksil politik ini melarikan diri ke luar negeri hingga luntang-lantung di Kuba, Cina, dan Benua Eropa sampai akhirnya memutuskan untuk menetap di Paris. Mereka juga memiliki sahabat yang bernama Hananto, yang menikahi Surti Anandari mantan kekasih Dimas. Hingga masa hidupnya Dimas tidak bisa melupakan Surti, meski wanita ini telah melahirkan tiga orang anak bagi Hananto, Kenanga Bulan, dan Alam.

 

Meskipun tinggal di negeri orang, mereka tetap mencintai Indonesia. Dimas ayah yang jago masak dan karena keahliannya, mereka mengelola Restoran Tanah Air yang menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggir Paris. Melalui surat-menyurat dan telegram, mereka terus memantau teman-teman di Indonesia yang harus menderita karena dikejar dan diinterogasi aparat. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan PKI. Tinggal di negara yang asing ternyata tidak menyurutkan cinta Dimas Suryo dan kawan-kawan terhadap Indonesia. Buktinya, sejak kecil Lintang sudah dicekoki ayahnya dengan kisah-kisah-kisah wayang Ramayana dan Mahabharata, belum lagi literatur Indonesia di samping buku-buku lain yang juga dimiliki oleh Dimas.

 

Tidak mengherankan jika Putrinya yang bernama Lintang menyukai pemayangan. Dimas adalah sosok ayah yang bijaksana namun mempunyai pendirian yang teguh yang diturunkannya kepada Lintang. Lintang tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas yang memiliki pemikiran yang tajam. Ada hal-hal yang mungkin tidak diketahui oleh Lintang mengenai sosok ayahnya dan mengapa ayahnya bercerai dengan ibunya. Surti adalah penyebab mengapa ayah dan ibunya bercerai karena kenangan indah masa lalu yang tidak bisa dilupakan bersama sosok Surti yang cantik jelita. Aroma cengkih dan kunyit adalah simbol sebagai pengenang kisah cinta yang indah yang mereka rajuk di atas meja dapur yang bergoyang-goyang.

 

 

 

Sosok Surti adalah perumpamaan yang bukan hanya setangkai melati, namun dia adalah bintang terang di tengah malam. Dimas biasanya memberikan sepotong kertas berisi puisi atau potongan adegan drama. Dimas selalu tersenyum. Begitu menggenggamnya. Hingga menatap dan mendekatkan bibir ketelinganya dengan sebuah rayuan gombal “aku ingin bersamamu. Selamanya” ujar Dimas dengan penuh cinta. Hubungan Dimas dengan Surti berjalan seperti pemuda dan pemudi di masa itu yang penuh dengan kesantunan, bersahaja, manis, dan penuh dengan cinta.Mas Nugroho dan Mas Hananto adalah sahabatnya yang usil sekali menggoda berlagak meminjam gelas atau hanya sekedar membantu Dimas masak setiap kali Surti berkunjung bersama Rukmini dan Ningsih di kosan Dimas.

 

Pernah Dimas cemburu karena Mas Hananto menggoda Surti mengajak berkencan meskipun Surti menolaknya. Hingga sampai pada satu hari Surti mengundang Dimas untuk makan malam bersama keluarganya. Nampaknya keinginan Surti tak berbalas dengan manis. Surti yang mulai mengenal Dimas bisa membaca pikirannya dan Surti meninggalkan kosan Dimas dengan bercucurkan air mata. Setelah undangan tak berbalas itu Dimas sulit bertemu Surti. Dimas sibuk dengan ujian akhir dan Surti pun selalu menghindar di kampus. Hingga akhirnya suatu hari Dimas berkunjung ke Paviliun Mas Hananto meminjam kamus. Dimas mengetuk dan membuka pintunya. Dia mencium aroma melati yang sedang duduk dengan pelukan bahu kedua tangan Mas Hananto di ruang meja kerja. Dimas segera menutup pintu itu gedubrakan. Hatinya hancur berdegup cepat. Nafasnya memburu sambil mengikrarkan sebuah sumpah yang tak akan lagi menginjakan kakinya ke pavilion Mas Hananto dan Nugroho.

 

Menjadi wartawan, bagi Dimas adalah jalan profesi yang tak bisa ditolak. Dia bergumam. Wartawan adalah profesi yang memperlakukan kekuatan kata sama seperti koki menggunakan kekuatan bumbu masakan. Tentulah sebagai seorang lelaki biasa yang patah hati, Dimas mencoba mengatasinya dengan cara klise seperti meniduri berbagai perempuan. Dimas merasa semakin mual dan bodoh. Dengan semakin kisruhnya situasi di Jakarta Dimas jarang melihat Mas Nugroho dan Hananto. Mereka adalah peliput peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai pembantu kantor Berita Nusantara.

 

Bulan September 1965, Dimas dan Mas Nugroho adalah dua dari sekian banyak wartawan yang diundang menghadiri konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Cile. Siapa yang sangka ternyata hari tersebut menjadi hari terakhir mereka tinggal di Indonesia. Meskipun sebelumnya Dimas merasakan keganjilan pada tingkah laku Mas Hananto di pekan sebelum keberangkatan menuju konferensi. Prasangka Mas Hananto yang menuduh Dimas masih mencintai Surti adalah penyebab perkelahian mereka sehari sebelum keberangkatan dan menjadikan sebuah keganjalan Dimas. Pada kenyataannya, Dimas berangkat ke Cile demi Surti, wanita cantik yang dinikahi Mas Hananto.

 

Mei 1968 terjadi revolusi mahasiswa di Paris, Dimas Suryo bertemu Vivienne Devarux, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis dan menjadikannya seorang pendamping hidup. Hingga pada satu hari Dimas menerima kabar dari Jakarta. Hananto Prawiro, sahabatnya ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Ditengah kesibukannya mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas bersama tiga kawannya Nugroho, Tjai dan Risjaf terus menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak atau menghilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30 September. Apalagi Dimas tak bisa melupakan Surti Anandari istri Hananto yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diintegorasi tentara.

 

Pada Mei 1998 Lintang putri Dimas Surya dengan Vivienne Deveraux, akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Bersama Segara Alam, putra Hananto, Lintang menjadi saksi mata kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 yang menjadi cerita jatuhnya tahta Pemerintahan Presiden Suharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Pada akhirnya Dimas bersatu dengan tanah di Karet, Jakarta yang menurut dia memiliki aroma berbeda. Tanah karet tujuan pulang dan untuk perginya sang pengelana Dimas Suryo, 1930-1998.

 

Situasi politik di Indonesia tak kunjung membaik. Munculnya para cendikiawan yang berasal dari generasi kedua masa orde baru menuntut adanya reformasi kepemimpinan Indonesia. Situasi kembali tegang dan kalut. Mahasiswa siap menghadapkan dirinya di depan peluru dan memaksa runtuhnya rezim orde baru. Diantara ribuan mahasiswa tersebut, Lintang, Alam, Andini dan Rama menjadi bagian dari tragedy Trisakti Mei 1998, tragedy tertembaknya 6 mahasiswa pejuang runtuhnya Orde Baru. Saat itu Lintang tengah menyelesaikan tugas akhirnya dan sekaligus menemukan jati dirinya sebagai anak berdarah Indonesia.

 

Akhir dari kisah ini adalah berpulangnya Dimas Suryo dalam kurungan keranda setelah perjuangan panjang yang melelahkan selama lebih dari 33 tahun berkelana di negeri orang dan terbuang. Kepulangan Dimas diiringi air mata oleh keluarganya dan sahabatnya meskipun sejatinya ruh Dimas tersenyum bangga karena ia akhirnya kembali ke Karet, pelabuhan terakhir dan tepat istirahat yang sangat diinginkannya.

 

REVIEW :

 

Dalam cerita yang tertuang pada novel Pulang, Leila S. Chudori menarik garis linier antara 3 peristiwa bersejarah: G 30 S tahun 1965 di Indonesia, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis pada Mei 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia.

 

Peristiwa 1965 atau yang disebut G 30 S PKI dalam buku-buku sejarah Indonesia adalah bagian dari sejarah Indonesia yang paling kelam, sekaligus paling kabur. Partai Komunis Indonesia (PKI) konon mendalangi peristiwa percobaan kudeta terhadap Presiden Soekarno, menciptakan suasana penuh kekacauan di Indonesia, dan pada puncaknya, enam orang jenderal diculik dan dibunuh. Pasca-tragedi, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto mengerahkan segenap upaya untuk membersihkan Indonesia dari PKI dan segala yang berbau komunis. Upaya yang pengaruhnya terasa sampai sekarang. Semua orang yang pernah terlibat dengan PKI dipenjara dengan status tapol (tahanan politik). Bahkan sanak keluarga dan orang-orang yang dekat dengan para tapol ini tidak lolos dari kejaran dan interogasi aparat.

 

Pulang adalah kisah suka duka para eksil politik yang melarikan diri ke luar negeri karena sudah diharamkan menginjak tanah air sendiri. Empat pria yang menyebut diri mereka Empat Pilar Tanah Air: Nugroho, Tjai, Risjaf, dan Dimas Suryo melarikan diri dari Indonesia dan luntang-lantung di Kuba, Cina, dan Benua Eropa sampai akhirnya memutuskan untuk menetap di Paris. Melalui surat-menyurat dan telegram, mereka terus memantau teman-teman di Indonesia yang harus menderita karena dikejar dan diinterogasi aparat. Kabar bahwa salah satu rekan karib mereka, Hananto Prawiro, ditangkap setelah bersembuyi beberapa waktu membuat mereka bersedih hati. Sesungguhnya, perempuan yang dinikahi oleh Hananto, Surti Anandari, adalah mantan kekasih Dimas.

 

Dari sekian buku fiksi sejarah, Pulang adalah salah satu yang terbaik. Mungkin tidak berlebihan jika Pulang disebut sebagai salah satu novel fiksi sejarah yang bisa disejajarkan dengan Pramudya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia. Cerita mengalir begitu saja dan terasa nyata sehingga kita lupa kalau kita sedang membaca novel. Diksinya indah, blak-blakan di beberapa bagian, dan kita bisa sungguh-sungguh merasakan keberadaan dan emosi para karakter utama. Kita suka betapa novel ini begitu Indonesia (termasuk pemilihan nama-nama tokoh yang Indonesia banget), padahal banyak petikan percakapan dalam bahasa Prancis juga. Kita suka Dimas Suryo yang doyan melahap literatur klasik, sesuatu yang juga ia tularkan pada putri tunggalnya. Satu-satunya yang membuat novel ini kurang lengkap, mungkin, adalah film dokumenter karya Lintang yang tidak disebut-sebut lagi pada akhir buku. Kita sangat ingin menonton film itu. Nah, kita sudah bilang tadi kan kalau kita lupa kalau Pulanghanya sebuah novel? Bagi yang ingin mencoba baca buku ini, jangan takut karena buku ini “kelihatan” berat, sebenarnya nggak seberat itu kok.

 

Kejernihan alur cerita dalam novel Pulang hingga kita bisa segera mengkonversi kata demi kata menjadi adegan-adegan yang terbayang dalam imaji kita, hingga mungkin pembuatan film (yang biasa terjadi atas novel-novel best-seller lainnya) atas novel ini begitu tidak diperlukan lagi, bahkan mungkin akan mendestruksi imaji yang dihasilkannya.

 

Rasanya sulit sekali untuk menunjukkan di dalam review, apa yang membuat buku ini begitu bagus di mata kita. Walaupun buku ini kental nuansaromance-nya, bagi kita itu tak menjadi masalah karena konflik batin yang dialami Dimas Suryo dan Lintang juga mendominasi buku. Kerinduan mereka untuk “pulang” lah yang menurut kita menjadi porsi terbesar dalam buku ini dan mampu disampaikan penulis dengan baik. Yang jelas, novel ini bukan merayakan korban (seperti kata Maria Hartiningsih, wartawan Kompas pada halaman endorsement) apalagi memberikan jawaban, namun memandang satu bagian sejarah Indonesia dari kacamata yang lain, dan menggambarkan seperti apa dampaknya dalam kehidupan mereka yang terlibat langsung, sampai dengan masa kini. Yang jelas, novel ini membuat kita makin mencintai Indonesia. Novel ini membuat kita ingin menelusuri kembali sejarah Indonesia, walaupun mungkin apa yang kita baca tidak bisa mutlak dipercayai sebagai suatu kebenaran.

 

 

 

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related