Titik Nol – Agustinus Wibowo

Judul: Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2013
Halaman: 568
ISBN13: 9789792292718
Format: e-book

Sinopsis:

Perjalananku bukan perjalananmu
Perjalananku adalah perjalananmu

Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.

Juga terpukau pesona kata “jauh”, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan (Goodreads).

***

Sama sekali tidak terpikir untuk membaca buku ini dan bertahan menyelesaikannya. Perjalanan, yang bagi saya awalnya identik dengan kemewahan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang yang beruntung, ternyata dimentahkan oleh buku ini.

Agustinus Wibowo membuktikan bahwa perjalanan bukanlah sekadar menjejakkan kaki di bandara-bandara kelas dunia, destinasi wisata yang indah, mereguk adrenalin dengan olahraga ekstrem, menghabiskan siang dan malam dengan bersenang-senang, melainkan suatu perpindahan sirkular dari dan ke titik nol. Titik nol itu bisa saja diri yang bukan siapa-siapa, pengalaman dipukul mundur ke garis perbatasan, atau justru rumah sendiri.

Di dalam buku ini, pembaca akan diajak untuk ikut menyaksikan perjalanan sang penulis dari China, Tibet, Nepal, India, Pakistan, hingga Afghanistan sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman, titik nol, meminjam istilah penulis. Perbedaan kontur, iklim, etnis, kebiasaan masyarakat setempat turut mewarnai perjalanan penulis, selain pengalaman buruk, penyakit, teror, dan bencana alam yang sesekali menghinggapi negeri-negeri yang, (maaf), identik dengan sengketa, kesenjangan, dan konflik itu. Selang-seling dengan cerita perjalanan penulis, ada kisah yang melingkupi keluarganya di tanah air. Kombinasi yang apik, dengan alur yang bolak-balik ini, tidak membuat pusing, malah saling mengisi. Hanya saja ada beberapa kalimat yang terasa rancu, entah karena pemahaman saya yang kurang atau memang struktur kalimatnya yang demikian.

Dalam menceritakan pengalamannya, penulis tidak berfokus pada euforia sebuah perjalanan maupun keberhasilan dalam memenuhi target. Agustinus Wibowo tampaknya memaknai perjalanan sebagai cara untuk memaknai hidup dan menghargai setiap orang yang ia temui, baik sengaja maupun tidak, baik atau buruk, tua atau muda. Kita mungkin tidak akan menemukan prasangka prematur di dalam buku ini seperti yang mungkin sering kita alami dalam perjalanan. Bahkan kejadian buruk seperti kecopetan pun diceritakan dengan baik, tanpa sumpah serapah, tanpa lupa untuk mengambil hikmah.

Yang membuat buku ini terasa berbeda adalah sosok sang ibunda yang turut menjadi poros cerita serta membentuk perjalanan sang penulis, entah secara langsung maupun tidak. Saya menangkap bahwa penulis banyak merefleksikan pengalaman-pengalamannya selama di perjalanan pada dirinya sendiri, yang akhirnya tidak terlepas dari sosok ibunda. Entah itu soal perjuangan, mimpi-mimpi, bahkan cara memandang persoalan. Pada akhirnya, sejauh apa pun penulis merantau, sosok sang ibunda tidak akan pernah lepas dari dirinya.

Menariknya lagi, ada dua tokoh wanita yang turut membentuk penulis dalam melakukan perjalanannya. Pertama, Lam Yuet, seorang backpacker asal Malaysia yang ditemui sang penulis di perjalanan menuju Mongolia. Lam Yuet yang mengenalkan penulis pada mimpi untuk mengelilingi dunia. Kedua, Lam Li, backpacker asal Malaysia yang ditemui sang penulis di Tibet (atau Nepal?). Lam Li ternyata adalah adik Lam Yuet yang juga memiliki impian seperti sang kakak. Interaksinya dengan penulis cukup intens, hingga tingkatan penulis merasa nyaman dan diayomi (bahkan penulis menyandingkannya dengan sosok sang ibunda). Saya kira ini menjadi topik yang menarik, tetapi tak perlu dibahas lebih lanjut karena terlalu personal.

Catatan perjalanan, pada akhirnya, membuka mata saya mengenai masyarakat-masyarakat yang ada di dunia, peradabannya, bahasanya, adat-istiadatnya, hingga masalah yang melingkupinya, mulai dari politik hingga ekonomi. Di Cina, misalnya, ada masyarakat yang didiskriminasi karena perbedaan agama, yakni etnis Xinjiang muslim. Dari segi fisik pun jauh berbeda dari etnis Han yang mayoritas. Hal ini agaknya menyadarkan saya bahwa perbedaan fisik seringkali menjadi awal bagi seseorang untuk mempertanyakan identitasnya. Di Tibet, para pelancong berbondong-bondong untuk mencapai puncak tertinggi dunia sekaligus menyambangi masyarakat yang masih asli. Namun, mereka lupa bahwa keaslian tak pernah bisa mengimbangi permintaan yang terlalu tinggi hingga keindahan alami pun akhirnya takluk pada jual-beli. Di Nepal, komoditi wisata bisa ‘dibeli’ dengan harga terjangkau, tetapi kebebasan duniawi turut ‘mencemari’ negeri. Di India, masyarakat yang demikian padat dibelit masalah ekonomi, lingkungan, hingga kesehatan. Di Pakistan, asas agama yang menjadi dasar pendiriannya tak selalu diterapkan dengan baik, hingga masalah dekadensi moral hingga terorisme pun menghantui. Di Afghanistan, sudah lama waktu berlalu sejak peristiwa 11/9 dan upaya Taliban dalam menguasai negeri, hingga lama-lama negeri itu seakan terlupakan, setidaknya menurut penduduknya sendiri.

Membaca buku ini pun tak ubahnya sebuah perjalanan ‘mini’ yang sesekali membuat saya tegang, cemas, takut, bimbang, khawatir, skeptis, dan entah apa lagi. Saya jadi sadar bahwa dunia bukan hanya yang saya lihat dan amati sehari-hari. Ada banyak negeri di belahan dunia lainnya yang punya ceritanya sendiri, sebagian di antaranya telah dirangkum penulis dalam buku ini.

Rating: 5/5

Cara saya memperoleh buku ini: meminjam dari iPusnas

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related