Director: Joe Wright
Starring: Gary Oldman, Lily James, Ben Mendelsohn, Kristin Scott Thomas, Stephen Dillane, Ronald Pickup
Score: 9/10
Awalnya kami mengira film ini dibicarakan banyak orang cuma karena faktor Gary Oldman saja. Ternyata salah besar. Anyway, masih ingat film Dunkirk yang rilis tahun lalu? Di film tersebut sutradara Christopher Nolan menunjukkan kepada kita seberapa kuatnya tentara Jerman dan situasi seperti apa yang harus dirasakan tentara Inggris dan Prancis. Mereka dibombardir sebelum akhirnya datang perahu-perahu sipil yang akhirnya menyelamatkan banyak jiwa. Wajib diingat, banyaknya perahu yang datang menjemput tentara adalah ide dari Perdana Menteri Inggris saat itu, Winston Churchill. Di saat terdesak, ia sangat yakin para tentara bisa diselamatkan karena menurutnya nenek moyang Inggris adalah pelaut dan tidak ada yang bisa melintasi Selat Inggris kecuali orang Inggris sendiri. Well, itu baru secuil dari kisah Darkest Hour, film tentang perjuangan Winston Churchill di mana kita akan dipertunjukkan bagaimana situasi politik yang tidak kalah mencekam dari medan perang sesungguhnya.
Film dimulai tepat sehari sebelum Winston Churchill (Oldman) diangkat menjadi Perdana Menteri Inggris. Saat itu, masyarakat sudah tidak percaya lagi pada kepemimpinan PM sebelumnya yaitu Neville Chamberlain (Pickup). Ketika resmi menjabat, banyak orang yang tidak yakin akan kemampuan Winston termasuk rajanya sendiri, King George VI (Mendelsohn). Selain harus memimpin Inggris dalam situasi terburuk yang pernah dibayangkan, Winston Churchill juga dihadapkan oleh sebuah pilihan. Neville bersama salah satu menterinya yaitu Lord Halifax (Dillane) ingin krisis diselesaikan dengan cara berunding. Hanya saja, Winston berpendapat beda. You cannot reason to a tiger when your head is in its mouth!
Hal pertama yang langsung menyita perhatian kami ketika menonton film ini adalah bagaimana sutradara Joe Wright dan tim menggambarkan era klasik Inggris dengan apik. Semua bagian terlihat keren! Tidak mengejutkan akhirnya Darkest Hour sukses besar di berbagai ajang penghargaan. Production design, costume, make-up and hairstyling, musik, hingga palet warna semuanya pas. Beberapa aspek tadi kemudian dipadu dengan teknik sinematografi yang membuat zaman perang ini jadi lebih cantik lagi. Oh iya, Joe juga memanfaatkan ketakutan terbesar dalam menonton film bertema sejarah menjadi sesuatu yang eye-catching. Biasanya kan kita suka malas ya untuk memerhatikan keterangan waktu yang ada. Tetapi, di sini tak perlu khawatir karena keterangan waktu tadi ditampilkan dengan sangat jelas dan sedikit komikal sehingga terkesan lebih luwes.
Kemudian ceritanya. Darkest Hour menonjol karena fokus terhadap konflik utama yang dihadapi oleh Winston Churchill. Alurnya pun konsisten, di mana beberapa masalah tambahan digunakan untuk mendukung atau menjadi bumbu penyedap dari hidangan utama. Ada dua cara pendekatan yang terlihat jelas di dalam cerita, yaitu sense of humor dan hubungan film ini dengan peristiwa Dunkirk. Dua-duanya ditempatkan di saat yang tepat dan sangat membantu kita untuk bisa memahami situasi. Ibarat ice breaker, film menyolek penontonnya di awal dengan humor terlebih dahulu. Seperti yang kita duga, Winston Churchill adalah seorang pemimpin yang terbuka. Mereka langsung menampilkannya sehingga perhatian bisa langsung tertuju ke sang Perdana Menteri. Kadar humor kemudian semakin menurun seiring dengan semakin tingginya tensi. Di sinilah muncul pendekatan kedua yaitu hubungan antara Darkest Hour dan Dunkirk. Situasi yang ada di Dunkirk sama dengan yang diceritakan oleh Christopher Nolan jadi kita bisa membayangkan peristiwa tersebut, kemudian meluaskannya. Setelah krisis Dunkirk selesai, baru deh film ini masuk ke penentuan di mana kita akan merinding saat menyaksikan bagaimana karakter Winston Churchill digambarkan tidak kalah konsisten dengan ceritanya.
Semua ini tidak akan terjadi tanpa “performance of a lifetime” dari Gary Oldman. Dia sungguh luar biasa sebagai Winston Churchill! Di balik transformasi fisik yang begitu mendekatkan dirinya secara visual, Gary sangat total berakting. Mulai dari gaya bicara sampai gumamannya, semua tidak ada yang nampak seperti dibuat-buat. Tidak hanya lewat orasi, banyak dari kata-katanya pun sudah bikin merinding. Selain itu Gary juga bisa menampilkan sisi kemanusiaan seorang Churchill. Di balik image-nya yang nyeleneh, bahkan menakutkan, orang ini ternyata masih memiliki rasa ragu. Terakhir, beberapa kelakuan Winston Churchill juga berhasil menghibur. Tidak jarang kelucuan ini timbul bukan dari dirinya sendiri, namun lewat dialog dengan karakter lain. Kerja sama yang dinamis dan menyenangkan.
Lily James, Kristin Scott Thomas, dan Ben Mendelsohn memberi warna lain lewat perspektif dari karakter masing-masing. Kita bisa melihat perbedaan ini dengan mudah. Lily James berperan sebagai juru ketik pribadi Churchill. Di sini perannya terlihat seperti useless, namun sejatinya Elizabeth Layton adalah cerminan dari masyarakat sipil yang hanya tahu segelintir informasi tentang ancaman yang aslinya sudah berada di depan mata. Kemudian Ben Mendelsohn sebagai King George VI memberikan visi dari kalangan elit. Bagaimana hubungannya dengan Churchill yang naik-turun menarik untuk disimak. Karakter ini adalah kunci di saat Inggris berada di ujung nadir. Kemudian ada Kristin Scott Thomas sebagai istri dari Winston Churchill, Clementine. Karakter ini lebih dari sekedar pengulangan kata-kata “Di balik setiap laki-laki sukses ada perempuan yang hebat”. Lebih dari itu, Clementine memang karakter yang kuat. Dia tidak segan untuk berlaku tegas dan mengingatkan suaminya tentang kebanggaan seorang istri atas pengorbanan besar yang sudah dilalui oleh seluruh anggota keluarga.
@adam_sarga
Advertisements Bagikan ini: