oleh Hassan Blasim
Setiap pengungsi yang tinggal di pusat penampungan punya dua cerita–yang sebenarnya dan yang dilaporkan. Cerita untuk keperluan pelaporan disampaikan pengungsi-baru demi mendapat hak perlindungan kemanusiaan, dicatat dan disimpan sebagai dokumen penting di kantor imigrasi. Sedangkan cerita yang sebenarnya terkunci rapat di hati para pengungsi, untuk mereka renungkan diam-diam dalam kerahasiaan total. Bukan berarti ini mudah dilakukan, tinggal memisahkan dua versi cerita. Mereka mengaduknya hingga mustahil untuk dibedakan. Dua hari lalu seorang pengungsi baru asal Iraq tiba di Malmö, bagian selatan Swedia. Usianya sekitar akhir tigapuluhan. Mereka membawa lelaki itu ke pusat penampungan dan melakukan beberapa tes medis. Lalu mereka memberinya kamar, kasur, seprai, handuk, sabun, pisau, garpu dan sendok, serta peralatan masak. Hari ini dia duduk di hadapan petugas imigrasi, menceritakan kisahnya dengan tergesa, sampai-sampai petugas imigrasi berkali-kali memintanya agar lebih tenang.
***
Mereka bilang telah menjualku ke kelompok lain; mereka tampak sangat senang. Mereka menenggak wiski dan tertawa semalaman. Bahkan mereka mengajakku ikut minum, tapi aku menolak dan mengaku sebagai orang yang taat agama. Mereka membelikanku pakaian baru, dan malam itu mereka memasak ayam, juga menyajikan penganan dan buah-buahan untukku. Sepertinya nilai jualku cukup tinggi. Pemimpin kelompok itu bahkan meneteskan air mata saat menyampaikan salam perpisahan. Dia memelukku seperti karib.
“Anda sangat baik. Saya doakan segala yang terbaik untuk Anda, dan semoga hidup Anda beruntung,” kata lelaki bermata satu itu.
Kukira aku tinggal bersama kelompok itu sekitar tiga bulan. Mereka menculikku pada suatu malam dingin terkutuk. Itu adalah awal musim dingin tahun 2006. Kami diperintahkan pergi ke sekitar Sungai Tigris; itu pertama kalinya kami menerima instruksi langsung dari kepala unit gawat-darurat. Di pinggir sungai beberapa polisi berdiri mengelilingi enam tubuh tanpa kepala. Kepalanya sudah dikumpulkan ke dalam karung bekas tepung di sebelah jejeran mayat. Pihak polisi menduga itu adalah mayat para ulama. Kami datang terlambat karena dihadang hujan lebat. Polisi menumpuk mayatnya di dalam ambulans yang dikendarai temanku Abu Salim, dan aku mengangkut karung isi kepala ke ambulansku. Jalanan sangat lengang; yang biasa memecah senyap-pilu malam hari di Baghdad hanyalah suara-suara letupan bedil di kejauhan dan dengung helikopter Amerika berpatroli di sekitar Zona Hijau1. Karena hujan, kami menyetir dengan kecepatan yang sedang-sedang saja, melewati jalan Abu Nawas menuju jalan Rashid. Aku teringat kalimat yang sering disampaikan kepala unit gawat darurat: “Saat kalian membawa orang yang terluka atau pasien yang hampir mati, kecepatan ambulans menunjukkan seberapa tinggi rasa kemanusiaan dan tanggungjawab kalian. Tapi saat kalian mengangkut bongkahan kepala, tidak perlulah kalian melaju lebih cepat dari kereta jenazah yang ditarik seekor bagal di kegelapan hutan abad pertengahan.”
Kepala UGD menganggap dirinya seorang filsuf dan seniman, tapi–seperti yang dia katakan, “lahir di negeri yang salah.” Meski begitu, dia tetap menjalani pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan menganggapnya sebagai tugas suci, sebab baginya mengelola urusan ambulans di UGD sama dengan mengatur garis batas antara hidup dan mati seseorang. Kami memanggilnya Profesor; teman-temanku yang lain membencinya dan menganggap dia sinting. Aku tahu kenapa; cara bicaranya yang agresif dan penuh teka-teki membuat dia tampak ruwet di mata orang lain. Tapi aku menaruh hormat dan suka padanya karena keindahan dan hal-hal menakjubkan yang dia katakan. Pernah dia bilang begini padaku, “Pertumpahan darah dan takhayul adalah pondasi dunia. Manusia bukan satu-satunya makhluk yang membunuh demi makan, atau cinta, atau kekuasaan, sebab dengan cara berbeda binatang-binatang di hutan juga melakukannya, tapi manusialah satu-satunya makhluk yang membunuh atas dasar agama.” Biasanya dia akan menutup pidatonya dengan gaya teatrikal sambil menunjuk ke langit, “Masalah kemanusiaan bisa diselesaikan hanya lewat teror tanpa henti.” Temanku Abu Salim pernah curiga jangan-jangan Profesor punya hubungan dengan kelompok teroris tertentu karena bahasa bengis yang sering dia gunakan, tapi aku akan setia membelanya. Mereka hanya tidak paham bahwa dia filsuf yang tidak mungkin membuat lelucon konyol, seperti yang para sopir ambulans tolol itu lakukan setiap hari. Aku mengingat tiap kalimat dan tiap kata yang pernah dia ucapkan, sebab aku telah terkurung dalam rasa kasih dan kagumku padanya.
Kembali ke malam nahas itu. Saat kami berbelok ke arah jembatan Martyrs aku tersadar ambulans yang disetir Abu Salim sudah tidak ada di depanku. Lalu di kaca spion kulihat mobil polisi sedang mengejar kami. Aku menepi di tengah-tengah jembatan. Empat pemuda berseragam polisi dan mengenakan topeng keluar dari mobil. Pemimpin kelompok tersebut menodongkan pistol tepat ke mukaku dan menyuruhku turun dari kemudi, sementara teman-temannya mengambil karungan kepala yang ada di belakang.
“Aku diculik dan mereka akan memenggal kepalaku.” Itulah yang pertama kali terpikir olehku saat mereka mengikat dan melemparku ke dalam bagasi mobil polisinya. Hanya butuh sepuluh menit untuk menyadari apa yang sedang menungguku. Aku membaca Ayat Kursi tiga kali dalam bagasi yang gelap, dan merasa kulitku seperti dikelupas. Untuk alasan tertentu di momen suram itu aku memikirkan berat badanku, mungkin 70 kilo. Semakin lambat laju mobil, atau semakin terasa mobil mau menepi, ketakutanku menjadi-jadi. Dan ketika lajunya kembali cepat, semacam perasaan aneh campuran antara kedamaian dan kecemasan merasukiku. Kalau tidak salah pada saat itu aku memikirkan apa yang Profesor katakan tentang hubungan antara kecepatan dan songsongan maut. Aku tidak terlalu paham apa maksudnya, tapi dia bilang orang yang sekarat di tengah hutan akan lebih ketakutan dibanding orang yang sekarat di dalam ambulans ngebut, sebab yang pertama merasa jadi target tunggal Sang Nasib, sementara yang kedua membayangkan ada orang lain sedang bersamanya mengahadapi kemungkinan nasib serupa. Aku juga ingat dia sambil senyum pernah ngomong, “Saya akan sangat senang jika bisa menghadapi kematian di dalam pesawat luar angkasa yang melesat dengan kecepatan cahaya.”
Aku membayangkan mayat-mayat tak dikenal dan potongan-potongan tubuh korban mutilasi yang selama ini kuangkuti dengan ambulans semenjak kejatuhan Baghdad semuanya bergelimpangan menimbun tubuhku, lalu dari kegelapan di sekelilingku itu kulihat Profesor memungut kepalaku yang terpenggal dari tumpukan sampah, sementara teman-temanku melontarkan lelucon-lelucon mesum tentang ketertarikanku pada Profesor. Kurasa mobil polisi itu melaju tidak terlalu jauh sebelum kemudian berhenti. Setidaknya mereka membawaku tak sampai keluar kota. Aku coba mengingat Surat Ar-Rahman, tapi mereka mengeluarkanku dari mobil dan menggiringku masuk ke sebuah rumah yang menguarkan bau ikan bakar. Aku mendengar tangisan anak-anak. Mereka melepas penutup mataku, dan segera kuketahui aku ada di dalam ruangan yang lembab tak berperabot. Lalu tiga lelaki beringas membanting dan mengahajarku sampai babak belur, sampai pandanganku kembali gelap.
Mula-mula aku seperti mendengar kokok ayam. Aku memejamkan mata, tapi tidak bisa tidur. Aku merasakan nyeri di telinga sebelah kiri. Susah payah aku membalikkan badan dan mendorong diri ke arah jendela, yang baru saja dipalang. Aku sangat haus. Sangat gampang ditebak, aku sedang ada dalam sebuah rumah di salah satu perkampungan di Baghdad. Tampak jelas dari bentuk ruangan, dan pintu kayu tua itu khususnya.
Sebenarnya aku tidak yakin apakah rincian ceritaku ini penting bagi Anda hingga aku bisa memperoleh suaka dari negara Anda. Aku sangat kesulitan menggambarkan hari-hari mengerikan itu, tapi aku ingin menceritakan beberapa hal yang menurutku penting. Aku merasa Tuhan, beserta Profesor di belakang-Nya, tidak pernah meninggalkanku sepanjang siksaan yang kualami. Aku merasakan kehadiran Tuhan ajek dalam hatiku, memberi ketenangan batin dan membimbingku untuk bersabar. Profesor mennyibukkan pikiranku dan mengurangi rasa sepi akibat penyanderaan ini. Dia adalah pelipur lara dan membuatku nyaman.
Selama masa-masa sulit itu aku memikirkan kembali apa yang diceritakan Profesor tentang sahabatnya, Dawoud, seorang insinyur. Apa maksudnya bahwa semua yang ada di dunia ini saling terhubung? Di bagian mana kekuatan dan kehendak Tuhan terlibat dalam hal-hal semacam itu? Kami sedang minum teh di selasar rumah sakit saat Profesor berkata, “Selagi teman saya Dawoud mengendarai mobil bersama keluarganya di jalanan Baghdad, seorang penyair Irak di London sedang menulis dengan berapi-api sebuah artikel yang mengagungkan semangat perlawanan, dengan sebotol wiski di atas meja untuk membantu mengukuhkan hatinya. Dan karena di dunia ini semuanya saling terhubung, melalui perasaan, kata-kata, mimpi buruk, serta saluran-saluran rahasia lainnya, maka dari artikel penyair itu melompatlah tiga pria bertopeng. Mereka menghadang mobil dan membunuh Dawoud, istrinya, anaknya, juga ayahnya. Sementara ibunya menunggu mereka di rumah. Ibu Dawoud tidak kenal si penyair Irak maupun pria-pria bertopeng itu. Dia hanya tahu cara memasak ikan yang akan disantap keluarganya. Dan karena mabuk berat, si penyair Irak tertidur pulas di sebuah sofa empuk di London, sedangkan ikan yang dimasak Ibu Dawoud sudah dingin. Dan matahari terbenam di Baghdad.”
Pintu kayu itu terbuka dan seorang pemuda, jangkung dengan wajah pucat dan peot, masuk membawakan sarapan. Dia tersenyum padaku saat ia meletakkan makanan di depanku. Awalnya aku tidak yakin apa yang harus kukatakan atau lakukan. Tapi kemudian aku bersimpuh di kakinya dan memohon-mohon padanya sambil menangis, “Aku ayah dari tiga orang anak. . . . Aku orang beriman yang takut pada Allah. . . . Aku tidak ada hubungannya dengan politik atau golongan agama manapun. . . . Tuhan melindungimu . . . Aku cuma sopir ambulans. . . sebelum invasi, dan sejak invasi. . . . Aku bersumpah demi Allah dan Nabi-Nya yang mulia.” Pemuda itu meletakkan jari ke bibirnya dan bergegas keluar. Aku merasa akhir hidupku telah tiba. Aku minum secangkir teh dan melaksanakan salat, berharap Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku. Pada sujud kedua kurasakan selapisan es menjalar ke sekujur tubuhku dan aku hampir meratap ketakutan, tapi pemuda yang tadi membuka pintu, menenteng seperangkat alat pencahayaan kecil dan tiang penyangganya, dikintil bocah yang memanggul bedil Kalashnikov. Bocah itu berdiri di sampingku, mengacungkan senjatanya ke kepalaku, dan sejak saat itu ia tidak meninggalkan tempatnya. Lelaki gemuk umur empat puluhan masuk, membuat kesan tidak peduli padaku. Di dinding dia memasang spanduk kain warna hitam bertuliskan ayat Quran yang menganjurkan tiap-tiap muslim untuk berjihad. Lalu laki-laki bertopeng datang menjinjing laptop dan kamera video. Kemudian bocah lain datang sambil mengangkat meja kayu kecil. Laki-laki bertopeng bercanda dengan bocah itu, menjawil hidungnya, dan mengucapkan terima kasih, kemudian meletakkan laptop di atas meja dan menyibukkan diri dengan mengatur kamera mengahadap ke spanduk hitam. Pemuda kerempeng itu mencoba sistem pencahayaan tiga kali lalu pergi.
“Abu Jihad, Abu Jihad!” Lelaki gemuk teriak.
Suara pemuda itu terdengar dari luar ruangan: “Tunggu sebentar. Aku segera ke situ, Abu Arkan. “
Sekarang pemuda itu kembali sambil membopong sekarung kepala yang diambil dari ambulans. Semua orang menyumpal hidungnya karena bau busuk yang berasal dari karung. Lelaki gemuk menyuruhku duduk di depan spanduk hitam. Tapi aku merasa kakiku kebas, sehingga lelaki gemuk itu merenggut kerah bajuku dan menyeretku dengan kasar. Pada saat itu laki-laki lain datang, berbadan kekar dengan mata picek sebelah, memerintahkan lelaki gemuk melepaskanku. Dia membawa stelan militer di tangannya. Lelaki bermata satu itu duduk di dekatku, sambil merangkul bahuku seperti seorang teman, membujukku untuk tenang. Dia bilang tidak akan menyembelihku jika aku berbaik hati dan mau bekerja sama. Aku tidak paham betul apa yang dia maksud dengan “berbaik hati.” Dia bilang hanya butuh waktu beberapa menit. Lelaki bermata satu mengambil secarik kertas kecil dari saku dan memintaku membacakannya. Sementara itu lelaki gemuk mengeluarkan bongkahan-bongkahan kepala yang sudah busuk dari karung dan menjejernya di depanku. Di kertas itu tertulis bahwa aku adalah seorang perwira Angkatan Darat Irak dan ini adalah potongan kepala perwira lain, juga disebutkan bahwa aku dan kawan-kawan sesama tentara telah menggerebek rumah-rumah, memperkosa para wanita, dan menyiksa warga sipil tak berdosa; bahwa kami telah menerima perintah pembantaian itu dari seorang perwira senior Angkatan Darat AS, dengan imbalan uang dalam jumlah besar. Lelaki mata satu memintaku memakai seragam militer, dan juru kamera menyuruh semua orang menyingkir ke belakang kamera. Lalu dia menghampiriku dan menata penampilanku, layaknya tukang rias. Setelah itu dia mengatur posisi kepalaku, balik ke belakang kamera dan berseru, “Mulai!”
Suara juru kamera ini terdengar tidak asing. Mungkin mirip suara aktor terkenal, atau barangkali seperti suara Profesor saat dia susah payah berusaha berbicara lembut. Beres membuat video rekaman, orang-orang dari kelompok itu tidak pernah menemuiku lagi, kecuali pemuda yang membawakanku makanan, dan dia mencegahku bertanya soal apapun. Setiap kali membawa makanan, dia akan menceritakan satu lelucon baru tentang para politisi dan ulama. Aku hanya berharap dia memberiku kesempatan menelepon istriku, karena aku sudah menyembunyikan sejumlah uang untuknya di suatu tempat yang bahkan jin bakal sulit menemukan, tetapi mereka bersikeras menolak permintaanku. Pemimpin kelompok itu, yang bermata satu, mengatakan kepadaku bahwa segala sesuatunya tergantung pada keberhasilan video rekaman yang dibuat, dan nyatanya rekaman itu seketika saja sangat sukses hingga semua orang terkejut. Al-Jazeera menyiarkan video rekamannya. Mereka mengizinkanku menonton televisi, dan pada hari itu mereka bersuka cita, sangat bahagia bahkan si lelaki gemuk mencium ubun-ubunku dan menyebutku aktor yang hebat. Tapi presenter berita Al-Jazeera membuatku marah. Mereka meyakinkan pemirsa bahwa siaran itu terhubung melalui sumber terpercaya, bahwa rekaman itu otentik, dan Kementerian Pertahanan telah membenarkan bahwa beberapa perwira memang telah dinyatakan hilang. Setelah kesuksesan siaran itu mereka mulai memperlakukanku dengan cara yang lebih dari sekadar layak. Mereka menyediakan tempat tidur yang nyaman dan makanan yang enak, juga membolehkan aku mandi. Kebaikan mereka baru berakhir pada malam saat mereka menjualku ke kelompok kedua. Lalu tiga orang bertopeng dari kelompok itu masuk ke ruangan, dan setelah lelaki bermata satu memberi salam perpisahan yang hangat padaku, mereka menghajarku dengan bogemnya, mengikatku dan menyumpal mulutku, kemudian melemparku ke dalam bagasi sebuah mobil yang langsung tancap gas ugal-ugalan.
Kali ini mobil kelompok kedua menempuh perjalanan yang jauh. Mungkin sampai ke daerah pinggiran Baghdad. Mereka membawaku ke suatu desa terpencil di mana anjing-anjing berkeliaran dan menyalak di tiap sudutnya. Mereka menyekapku di sebuah kandang ternak; ada dua orang yang bergantian menjaga kandang itu siang dan malam. Aku tidak tahu kenapa, tapi mereka membuatku kelaparan dan begitu merendahkanku. Mereka benar-benar berbeda dari kelompok pertama. Mereka mengenakan topeng sepanjang waktu dan tidak bicara sepatah katapun denganku. Mereka berkomunikasi satu sama lain lewat isyarat. Bahkan tidak ada suara manusia yang bisa didengar dari desa. Sebulan penuh selama aku dikurung dalam kandang sapi, yang kudengar hanya gonggongan anjing.
Waktu berlalu dengan rasa bosan yang menyesakkan. Aku berharap apapun boleh menimpaku, ketimbang harus menjalani hukuman seumur hidup bersama tiga ekor sapi macam begini. Aku berhenti memikirkan orang-orang ini, atau dari kelompok keagamaan dan partai mana mereka berasal. Aku tidak lagi meratapi nasib, malah merasa pernah mengalami peristiwa seperti ini sebelumnya, dan itu tidak berlangsung lama. Tapi gagasanku tentang masa itu membuat semua ini jadi terasa lambat dan membingungkan. Semua ini tidak lagi mendesakku untuk berusaha melarikan diri atau sekadar menanyakan apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku. Aku merasa sedang mengemban suatu misi, sebuah tugas mengikat yang harus aku lakukan sampai napas penghabisan. Mungkin ada semacam kekuatan rahasia bersekongkol dengan kekuatan manusia untuk menjalankan sebuah permainan penuh misteri demi tujuan-tujuan tertentu yang terlalu agung bisa dipahami oleh orang senaif aku. “Setiap orang punya dua jenis kewajiban: kewajiban puitis dan kewajiban manusiawi,” seperti yang pernah Profesor katakan. Lalu jika itu benar, bagaimana aku bisa membedakan, dengan mudah, antara kewajiban manusiawi dengan kewajiban puitis itu? Karena yang aku pahami, misalnya, menjaga istri dan anak-anak adalah salah satu kewajiban manusiawi, dan tidak membenci siapapun adalah kewajiban puitis. Tapi kenapa Profesor mengatakan kita seringkali mengaburkan antara dua kewajiban itu dan tidak menyadari adanya motif jahat yang menggerakkannya? Dan ini terlalu rumit untuk pikiran orang naif sepertiku, yang SMA saja hampir tidak lulus. Sebab motif jahat itu hanya akan menampakkan wujudnya pada seseorang saat dia mencampakkan sisi kemanusiaannya ke tong sampah, setidaknya begitulah yang kupikirkan.
Apa yang aku ceritakan tentu tidak ada hubungannya dengan permintaan suaka yang aku ajukan. Yang penting bagi Anda adalah teror di balik ceritaku. Jika Profesor ada di sini, dia akan mengatakan bahwa teror itu mengambang di langit kota ini menjelma teka-teki sederhana yang berpendar pada sebuah bintang beku. Akhirnya pada suatu malam menjelang pagi mereka masuk ke kandang sapi. Salah satu laki-laki bertopeng menggelar selembar karpet yang lumayan bagus di sudut kandang. Kemudian temannya memasang spanduk hitam bertuliskan, “Laskar Jihad Muslim Iraq.” Lalu seorang juru rekam masuk membawa kameranya, dan aku tersadar bahwa dia adalah juru kamera yang sama saat membuat rekaman dengan kelompok pertama. Gerakan tangannya persis juru kamera yang sebelumnya. Yang membedakannya sekarang adalah cara berkomunikasinya yang hanya lewat isyarat. Mereka memintaku mengenakan dishdasha2 warna putih dan duduk di depan spanduk hitam. Mereka memberiku selembar kertas dan menyuruhku membacakan apa yang tertulis di situ dengan suara lantang: bahwa aku adalah seorang jagal yang terkenal dan termasuk anggota Tentara Mehdi3, aku telah memenggal kepala ratusan orang Sunni, dan aku mendapat sokongan dari Iran. Belum selesai aku membaca, salah satu sapi melenguh panjang, sehingga juru kamera menyuruhku mengulanginya. Dan kami bisa menuntaskan adegan kandang sapi ini setelah seseorang menarik tiga sapi itu pergi
Aku baru sadar kemudian bahwa setiap kelompok yang membeliku mengangkut aku dengan melintasi jembatan yang sama. Aku tidak tahu alasannya. Satu kelompok akan membawaku menyeberangi jembatan Martyrs ke arah Karkh di tepi barat sungai Tigris, maka kelompok berikutnya akan membawa aku kembali lewat jembatan yang sama menuju Rasafa di tepi timur. Jika aku melanjutkan ceritanya tetap seperti ini, kupikir ceritaku tidak akan pernah berakhir, dan aku khawatir Anda akan mengatakan apa yang orang lain katakan tentang semua ini. Jadi kukira akan lebih baik jika aku merangkumnya untuk Anda, daripada aku dituduh telah mengarang-ngarang cerita.
Mereka menjualku ke kelompok ketiga. Mobil melaju lewat jembatan Martyrs sekali lagi. Aku dipindahkan ke sebuah rumah mewah, dan kali ini penjaraku adalah kamar tidur dengan ranjang yang nyaman dan indah, jenis kamar yang biasa Anda lihat saat bintang film beradegan seks. Ketakutanku menguap dan aku mulai memahami konsep misi rahasia yang telah mereka embankan padaku. Aku bersedia mengemban misi ini agar tidak kehilangan kepalaku, tapi aku juga berniat akan menguji bagaimana reaksi mereka untuk kondisi-kondisi tertentu. Setelah merekam satu video baru di mana aku berbicara tentang keterlibatanku dalam kelompok pergerakan Islam Sunni serta aksiku meledakkan pasar dan masjid-masjid Syiah, aku meminta sejumlah uang kepada mereka sebagai bayaran atas pembuatan rekaman itu. Respon tegas yang mereka berikan adalah satu gebukan telak yang tidak akan aku lupakan.
Selama satu setengah tahun sepanjang penculikan yang kualami, aku dipindahkan dari satu tempat persembunyian ke tempat yang lain. Mereka merekam video saat aku sedang bicara sebagai seorang Kurdi yang penuh ancaman, seorang Kristen kafir, seorang teroris Saudi, agen intelijen dari Partai Ba’ath4 cabang Suriah, atau tentara Garda Revolusi Iran5 dari golongan Zoroaster. Pada video rekaman ini aku membunuh, memperkosa, membakar rumah-rumah, menanam serangkaian bom, dan melakukan aksi-aksi kejahatan lain yang tidak ada satupun orang waras pernah membayangkan. Semuanya disiarkan lewat saluran satelit ke seluruh dunia. Para ahli, wartawan, dan politisi duduk di sana membahas apa yang aku katakan dan lakukan. Satu-satunya kegagalan yang menimpa kami adalah saat kami membuat video di mana aku muncul sebagai tentara Spanyol, dengan seorang pejuang pemberontakan melingkarkan pisaunya ke leherku, menuntut pasukan Spanyol menarik diri dari Irak. Semua stasiun pemberitaan menolak menyiarkan rekaman itu karena pasukan Spanyol memang sudah hengkang dari sana tahun sebelumnya. Aku hampir membayar mahal untuk kesalahan ini, karena mereka ingin membunuhku sebagai balasan atas apa yang telah terjadi, tapi juru kamera menyelamatkanku dengan menyarankan ide lain yang lebih cemerlang, peran pamungkas yang harus kumainkan dalam satu video rekaman. Mereka mendandaniku dengan kostum pejuang Afghanistan, mencukur jenggotku, dan memakaikan serban hitam ke kepalaku. Lima orang berdiri di belakangku, dan mereka membawa enam orang yang menangis dan meraung-raung memohon pertolongan dari Tuhan, dari Nabi-Nya, dan dari keluarga Nabi. Mereka menggorok orang-orang itu seperti kambing di hadapanku sebagai bentuk deklarasi bahwa aku adalah pemimpin baru organisasi al-Qaeda di kawasan Mesopotamia, juga sebagai peringatan bagi semua pihak yang ingin menentang.
Pada suatu malam juru kamera mengembalikan pakaian lamaku dan menuntunku ke ambulans, yang sudah nongkrong di depan pintu. Mereka memasukkan enam kepala itu ke karung dan melemparkannya ke bagian belakang ambulans. Saat itu aku memperhatikan gerak-gerik si juru kamera, dan aku yakin dialah yang menjadi juru kamera untuk semua kelompok dan mungkin dalang dari permainan mengerikan ini. Aku duduk di belakang kemudi dengan tangan gemetar. Kemudian juru kamera memberi perintah dari balik topengnya: “Kau tahu jalannya. Menyeberangi jembatan Martyrs, langsung ke rumah sakit.”
Aku meminta perlindungan dari negara Anda karena aku takut dengan orang-orang di sekitarku. Mereka semua pembunuh dan penuh siasat–istriku, anak-anakku, tetanggaku, teman-temanku, Tuhan dan Nabi-Nya, pemerintah, surat kabar, bahkan Profesor yang aku kira malaikat, dan sekarang aku curiga juru kamera yang selalu bersama-sama kelompok teroris itu sebenarnya Profesor sendiri. Gaya bahasanya yang rumit hanyalah bukti sifat busuk dan kepandaiannya bermuslihat. Mereka semua mengatakan aku tidak pergi ke mana-mana selama satu setengah tahun terakhir, karena setelah bekerja pada malam terkutuk itu aku pulang pagi harinya, dan Profesor menyampaikan padaku, “Dunia ini cuma sepenggal cerita hipotetis dan dibanjiri darah, kita semua adalah bandit sekaligus pahlawannya.” Dan enam potongan kepala yang kubawa dianggap tidak bisa jadi bukti atas apa yang aku ceritakan, sebagaimana kepala-kepala itu tidak mampu membuktikan bahwa tidak akan ada malam yang mekar terhampar di langit kali ini.
***
Tiga hari setelah cerita tersebut dicatat dan disimpan dalam dokumen departemen imigrasi, mereka membawa orang yang mengisahkannya ke rumah sakit jiwa. Dan sebelum dokter mulai bertanya tentang kenangan-kenangan masa kecilnya, si sopir ambulans meringkas kisah hidupnya dalam empat kata: “Aku ingin segera tidur.”
Itu adalah permohonan mendesak yang bersahaja.
Catatan penerjemah:
1. | Zona Hijau |
: | zona seluas 10 km2 di Bagdad yang dilindungi pihak militer dan dijadikan pusat pemerintahan pasukan koalisi Amerika Serikat selama masa invasi |
2. | dishdasha | : | pakaian tradisional Arab sejenis gamis, panjang hingga pergelangan kaki dan berlengan panjang dengan garis leher ketat, terbuat dari bahan katun |
3. | Tentara Mehdi | : | pasukan milisi yang dibentuk oleh imam Syi’ah Irak pada Juni 2003 dan aktif mengadakan perlawanan terhadap pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat |
4. | Partai Ba’ath | : | partai sekuler berhaluan kiri yang terbagi menjadi dua cabang regional (Suriah dan Irak) dari mana Saddam Hussein berasal; dilarang pergerakannya di Irak sejak Juni 2003. |
5. | Garda Revolusi Iran | : | cabang militer terbesar di Iran selain angkatan bersenjata nasionalnya (Artesh), dibentuk sebagai kelompok kekuatan yang loyal kepada Pemimpin Tertinggi Ayatullah Khomeini |
diterjemahkan dari cerpen berbahasa Inggris: The Reality and The Record karya Hassan Blasim dalam buku album cerita The Corpse Exhibition And Other Stories of Iraq.
Hassan Blasim lahir di Baghdad pada tahun 1973 dan menempuh studi di Baghdad Academy of Cinematic Arts. Dikenal sangat kritis terhadap rezim Saddam Hussein, hingga pernah menerima penganiayaan. Tahun 1998 ia melarikan diri dari Bagdad ke Kurdistan. Di sana ia membuat beberapa film dan mengajarkan proses pembuatan film dengan nama samaran Ouazad Osman. Pada tahun 2004, setahun di dalam perang, ia melarikan diri ke Finlandia dan menetap di sana sampai hari ini. Selain sebagai seorang filmmaker, penyair, dan penulis fiksi, yang telah menerbitkan karya di berbagai majalah dan antologi, ia juga merupakan salah seorang editor situs sastra Arab http://www.iraqstory.com. Karya fiksinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Finlandia, Polandia, Spanyol, serta Italia; dan dua kali memenangkan English PEN Writers untuk penghargaan kategori Karya Terjemahan. Cerita-ceritanya yang sudah mengalami banyak perombakan terbit dalam bahasa Arab pada tahun 2012, dan segera dilarang peredarannya di Yordania.
Advertisements Share this: