Rate this book

Ma Yan (2009)

by Sanie B. Kuncoro(Favorite Author)
3.65 of 5 Votes: 5
languge
English
publisher
Bentang Pustaka
review 1: “Apakah Kemiskinan adalah warisan atau keturunan?”Baginya kemiskinan sudah seperti sahabat. Atau mungkin lebih tepat untuk disebut sebagai sanak saudara sekalian. Garis kemiskinan itu terus turun temurun sejak lama. Penguasa Langit seakan tak ingin berlaku adil pada keturunannya. Seakan Penguasa Langit bahagia melihat keturunannya merana didera kemiskinan yang tak berkesudahan.Gadis kecil itu bernama Ma Yan. Bersama ibu, ayah beserta kedua adiknya ia tinggal di sebuah desa bernama Zhangjiashu. Sebuah desa yang berada di pedalaman China, sangat terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Jaraknya saja ribuan kilometer dari Beijing. Terbayang betapa jauhnya, bukan?Jangan kau pikir pedalaman di sana berupa daratan penuh hutan yang mana tanah berhumus menyelimuti datarannya. Ya... moreng ada justru sebaliknya, sebuah pedalaman dengan daratan yang tanahnya kering kerontang. Jangankan sayuran, bahkan untuk sekedar rerumputan saja sulit untuk bertahan di tanah tersebut. Ditambah lagi dengan musim kemarau yang tak berkesudahan, maka lengkaplah sudah ‘persahabatannya’ dengan kepiluan.Novel biografi ini diceritakan dengan dua sudut pandang, yakni melalui sudut pandang Bai Juhua –ibunya, dan Ma Yan sendiri. Ma Yan digambarkan sebagai seorang gadis yang memilliki semangat juang tinggi dan tak pernah mau menyerah sedikitpun. Sedang ibunya, digambarkan dengan seseosok ibu yang akan mengusahakan apapun –selama itu halal, sekalipun itu harus mengorbakan nyawanya, agar anak-anaknya dapat hidup ‘layak’. Mengenai alur, saya pribadi merasa ada beberapa part yang agak datar sehingga terkesan membosankan. Tema utama dari novel ini –menurut saya sendiri, lebih kepada diskriminasi gender yang kemudian permasalahan mengenai pendidikan dijadikan isu utama dalam penceritaan.Dalam novel tersebut dikatakan bahwa perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan. Bahwa pintu keluar dari segala persoalan perempuan adalah sebuah perkawinan. Dan bahwa perempuan agaknya harus senantiasa patuh, meski kepatuhan itu menempatkan dirinya pada hak-hak yang tereliminasi. Anak perempuan dianggap lebih pantas bekerja di ladang ketimbang bersekolah dikarenakan tradisi di sana menganggap bahwa sekolah bagi anak perempuan hanya suatu kesia-siaan belaka sebab yang akan menikmati hasil dari kesuksesan sang anak itu tadi bukanlah orangtuanya, melainkan suaminya.Tokoh Ma Yan di sini berusaha untuk ‘menghentikan’ disriminasi itu. Baginya, sekolah merupakan persemaian masa depan. Sebuah peluang untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Menghentikan garis kemiskinan dan jalan untuk keluar dari penderitaan. Apapun konsekuensinya, tak peduli sekalipun demi mencapai sekolah ia harus berjalan sejauh 20 kilometer dengan segala rintangan bahaya yang menghadang –jurang, ular, dan bahkan penyamun. Dan tak peduli sekalipun itu berarti ibunya harus mengosongkan mangkuk nasinya.Secara keseluruhan, pembingkaian tema dan eksekusi cerita yang diangkat pada novel ini terbilang sangat baik. Kalau saya boleh berkata, disamping menjadi sebuah novel cerita di dalamnya juga dapat dijadikan sebagai buku motivasi. Bagaimana tidak? Pesan moral yang ada di dalamnya dihantarkan oleh Penulis dengan begitu kuat. Bahwa kita tak boleh patah arang, bahwa kita jangan pernah membangkang perintah orangtua dan sebisa mungkin hindarilah mengeluh. Kisah Ma Yan mengajak kita untuk muhasabah diri. Bercermin dan menengok ke bawah serta jangan pernah lupa untuk mengungkapkan syukur kepada yang Kuasa.Meski sederhana, cover novel ini cukup memikat. Membuat kita yang melihatnya ingin membawanya pulang. Sampulnya cukup dapat memberikan bayangan kepada pembaca tentang jalan cerita yang disuguhkan. Ukurannya pun sangat pas untuk dibawa kemana-mana, sangat enak untuk dibawa traveling. Awalnya, karena ukurannya yang kecil saya pikir margin dan ukuran hurufnya akan mepet dan lebih kecil namun ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Tak ada yang perlu dirisaukan dari segi teknis.Dan akhirnya, selamat membaca!
review 2: Kisah besar mengenai seorang kanak-kanak bernama Ma Yan dan dunia kemiskinan yang dihadapi keluarganya dalam memastikan dia tidak kecicran dalam persekolahan. Suatu masa, dia diminta berhenti sekolah kerana ibu bapanya tidak mampu menampung perbelanjaan tetapi dia berusaha meyakinkan ibu bapanya agar dia terus dapat belajar. Kisah kemiskinan mereka sungguh menyiksakan kita sebagai pembaca kerana mereka sering berhadapan dengan kelaparan sehingga mereka lupa bagaimana perasaan kenyang. Hidup dalam komuniti Hui dan beragama Islam, kehidupan Ma Yan sangat-sangat menginsafkan kita sehinggakan saya merasa berbatang-batang pen dan pensil yang saya miliki ingin saya sedekahkan kepada mereka dengan segera.Hasil usaha ibunya yang menyerahkan buku catatan Ma Yan kepada Pierre Haski yang datang bersama sekumpulan jurnalis untuk membuat liputan mengenai masyarakat Islam di pedalaman China telah mengubah nasib M Yan dan ratusan kanak-kanak lain yang tercicir dan terpinggir ketika itu. Catatan Ma Yan itu di siarkan oleh Haski dan mendapat sambutan daripada pembaca yang mengumpulkan dana dan menyumbang kepada pendidikan komuniti Hui di kampung M Yan. less
Reviews (see all)
Stoneman
Pretty Good, but too dramatic..."Sampai titik darah penghabisan"?"Saya Gagal?" :D (rofl)
sarafina
this book didn't touch me in the parts i would like to be touched
Vicky
to be reviewed.
Write review
Review will shown on site after approval.
(Review will shown on site after approval)