#BookReview The Girl on Paper by Guillaume Musso

Welcome to another book review! Today I’ll write a review about a book I’ve randomly picked because of its visually pleasing cover. Because I read the translated version, I’ll write this review in Bahasa Indonesia, ya!

Image Source BLURB

Gadis itu terjatuh dari dalam buku.

Hanya beberapa bulan yang lalu, Tom Boyd adalah seorang penulis miliarder yang tinggal di Los Angeles dan jatuh cinta pada seorang pianis ternama bernama Aurore. Namun, setelah putusnya hubungan mereka yang terekspos secara publik, Tom menutup dirinya, menderita writer’s block parah, dan tenggelam dalam alkohol dan obat terlarang.

Suatu malam, seorang gadis asing yang cantik muncul di teras rumah Tom. Dia mengaku sebagai Billie, karakter dalam novelnya, yang terjatuh ke dunia nyata karena kesalahan cetak dalam buku terakhir Tom.

Meskipun cerita itu gila, Tom harus percaya bahwa gadis itu benar-benar Billie. Akhirnya mereka membuat perjanjian. Jika Tom mau menulis novel agar Billie bisa kembali ke dunianya, Billie akan membantu Tom untuk mendapatkan Aurore kembali.

Tidak ada ruginya, kan? Iya, kan?

The Girl on Paper, originally published under the title La Fille de Papier, merupakan karya seorang penulis asal Perancis bernama Guillaume Musso. Pertama kali lihat buku ini aku langsung suka sama cover-nya: warnanya putih dan gambarnya bagus—sederhana tapi memikat. Buku ini termasuk novel fiksi berbahasa Indonesia paling tebal yang pernah aku baca; 448 halaman berisi Prolog yang diikuti 39 bab lain yang menceritakan kehidupan Tom Boyd setelah putus dengan mantan kekasihnya, Aurore.

Prolog buku ini one of a kind. Berisi potongan-potongan berita tentang Tom dan Aurore, mulai dari kehidupan awal masing-masing pihak, saat mereka dikabarkan menjalin kasih, hingga kabar-kabar tak sedap tentang Tom yang depresi setelah hubungannya dengan Aurore kandas di tengah jalan. Terdapat pula cuplikan e-mail dari beberapa penggemar Trilogie Des Anges berisi dukungan untuk sang penulis yang sedang dilanda post-breakup depression (is that even a phrase?).

Selanjutnya, bab-bab awal novel ini menceritakan kondisi Tom pasca putus. Kacau! Tom yang masih terlarut dalam depresi berkepanjangan tidak mampu menulis akhir kisah triloginya. Meanwhile the deadline is getting near. Awalnya diceritakan bagaimana Milo, teman masa kecil sekaligus agen, membantu mengeluarkan Tom dari rumah tepi pantainya di Malibu. Setelah mencoba berbagai cara, Milo berhasil menerobos masuk dan bertemu dengan Tom yang sedang berbaring dikelilingi berbagai macam obat-obatan: pereda nyeri, obat penenang, anti-depresan, serta obat tidur. Melihat kondisi temannya yang kacau, Milo mengajak Tom keluar untuk makan sekaligus menceritakan tentang kondisi keuangan mereka yang kacau balau. He convinces Tom to start writing again to balance their financial condition. Marah? Jelas. Tom akhirnya kabur dan kembali ke rumah.

Malam yang sama, tiba-tiba muncul seorang gadis tanpa busana di teras rumah Tom. Gadis itu mengaku bernama Billie, Billie yang sama dengan tokoh fiksi yang diciptakan Tom dalam dunia fiksinya. Billie datang ke dunia nyata untuk meminta pertanggung jawaban sang penulis atas halaman novel yang tidak selesai. Awalnya Tom tidak percaya, tapi setelah menanyakan hal-hal trivial mengenai Billie dan kehidupannya di dunia fiksi, mau tidak mau ia harus percaya bahwa gadis misterius itu adalah Billie—Billie ciptaannya. Billie kemudian memaksa Tom untuk menuliskan kelanjutan kisahnya di dunia fiksi karena itu satu-satunya cara baginya untuk kembali. Bahkan gadis itu bersedia membantu Tom to win Aurore back. Setelah Billie membantu Tom ‘keluar’ dari ancaman terapi tidur, their adventure begins.

Tom dan Billie melakukan road trip ke Meksiko—tempat Aurore dan kekasih barunya berlibur. This is my favorite part of the story! Their adventure is so daring, risky, you name it. I love the fast pace. Banyak banget kejadian-kejadian sepanjang perjalanan yang sukses bikin aku ketawa. Mulai dari naik Bugatti hasil curian, naik mobil butut hasil jual lukisan, sampai naik skuter milik petugas pom bensin yang kemakan rayuan Billie. The struggle is real. Adu mulut antara dua orang ini juga bikin perjalanan mereka sangat menarik untuk dibaca. Seru!

Setelah perjalanan yang sangat heboh dan berisik, mereka akhirnya sampai di Meksiko dan menginap di hotel tempat Aurore juga menginap. Di sini, Tom dan Billie mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Mereka yang tadinya bertingkah seperti kucing dan anjing, kini justru semakin akur. Di Meksiko ini pula mulai terjadi hal-hal yang aneh tapi menyedihkan. New adventure begins.

Walaupun masih berhubungan sama Tom dan Billie, petualangan baru ini tidak secara langsung melibatkan dua tokoh utama. Petualangan ini melibatkan Milo dan Carole, dua teman baik Tom sejak mereka tinggal di MacArthur Park, serta beberapa pembaca. Bagian ini juga ngga kalah seru dan bikin geregetan, tapi karakter yang terlibat banyak b a n g e t dan ngga semuanya related (throughout the reading I thought they were all somehow related). Jadi berasa lagi baca novel lain di buku yang sama, gitu.

Well, apa sih petualangan baru setelah Tom dan Billie sampai di Meksiko yang melibatkan hampir 10 tokoh lain itu?

Ribuan eksemplar buku yang salah cetak itu dimusnahkan oleh penerbit dan dijadikan bubur kertas. Along with the process, something weird happens to Billie. She gets sick and it makes Tom worry. Karena Tom harus berada di sisi Billie, Milo dan Carole membantu mencari satu-satunya buku yang masih utuh hingga keliling dunia. The effort they put in helping a fictional character is too much. Di petualangan baru ini juga lah satu per satu rahasia masa lalu mereka—Tom, Milo, dan Carole—terungkap, juga rahasia-rahasia para ‘pemilik’ buku satu-satunya itu. Jujur agak capek sih baca bagian ini karena yang dibahas terlalu banyak (as I said before). Terlalu banyak cerita juga membuat kita agak lost track sama kisah Tom dan Billie karena terlalu sibuk disuguhin cerita tentang hilangnya buku terakhir itu. Not my favorite part, tho.

Hanya dilindungi oleh amplop yang empuk, buku bersampul kulit biru gelap itu mengapung di Sungai Seine. Air mulai merembes masuk ke dalam paket.

Dalam beberapa pekan terakhir, buku itu sudah melakukan perjalanan jauh, dari Malibu ke San Fransisco, menyeberangi Atlantik ke Roma, melanjutkan perjalanannya ke Asia sebelum kembali ke Manhattan, dan akhirnya mendarat di Prancis.

Dalam perjalanannya, buku itu telah mengubah kehidupan semua orang yang memegangnya. Itu bukan novel biasa. Ceita yang dikisahkannya telah dilamunkan dalam pikiran seorang remaja yang terguncang oleh penderitaan teman masa kecilnya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika sang penulis sedang menghadapi masalahnya sendiri, buku itu mengirimkan salah satu tokohnya ke dunia nyata untuk membantunya.

Namun pagi itu, ketika air sungai mulai membasahi halaman-halamannya, tampaknya kenyataan memutuskan untuk melawan balik, bertekad untuk menghapus Billie dari permukaan bumi.

Ending-nya? ENDINGNYA GEREGETAN BANGET! The Girl on Paper adalah salah satu buku yang bab-bab akhirnya membuatku berkata: didn’t see it coming! Aku kira ending-nya cuma seklise: Tom berhasil menulis dan menerbitkan buku ketiganya, Billie berhasil kembali ke dunia fiksi. TERNYATA AKU SALAH! Beneran kaget pas tau apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Karena terbawa suasana aku jadi ikutan sebel sama orang yang… Ah, pokoknya kalian harus baca sendiri!

So, The Girl on Paper, what can I say?

I love this book! Overall aku suka sama ceritanya walaupun agak melelahkan untuk baca buku ±400 halaman di mana ngga semua ceritanya bener-bener berkaitan. Baca buku ini berasa lagi baca lebih dari lima kisah berbeda di buku yang sama. Banyaknya tokoh lain dan kisah-kisah mereka sometimes made me want to skip the pages—tho I didn’t. However, kisah-kisah side characters lain cukup menarik untuk disimak kok, walau emang ngga ada hubungannya sama sekali sama kehidupan Tom dan Billie. Jadi, kalau udah ada nama-nama aneh selain Tom, Billie, Milo, dan Carole, dan kalian mau skip bacanya, ngga akan terlalu pengaruh sama keseluruhan cerita, sih. Oh iya, salah satu side characters yang aku suka adalah Iseul Park asal Korea. I can relate to her!

Dengan mata terpaku pada air mancul, Iseul Park, tujuh belas tahun, terpesona oleh koin-koin yang dilemparkan para wisatawan dan sekarang terbaring di dasar air yang biru bening. Iseul benci dihubung-hubungkan dengan stereotip ‘wisatawan Asia yang bergerombol’ dengan segala olok-olok yang menyertainya. Dia merasa tidak nyaman dengan formula liburan yang seremonial, yang membawa rombongannya melihat-lihat satu ibukota Eropa per hari dan membuatnya menunggu berjam-jam sementara semua orang mengambil gambar yang sama, objek yang sama. Telinga gadis itu berdenging, kepalanya pusing, dan tubuhnya gemetar. Dia merasa sesak napas di tengah orang banyak yang lalu lalang.

Hal lain yang agak membingungkan selain tokohnya yang emang super banyak adalah masalah point of view alias sudut pandangnya. Novel ini diceritakan dari dua jenis sudut pandang, yaitu sudut pandang orang pertama (dalam hal ini Tom) dan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Ngga terlalu ganggu sih, tapi kesannya cerita ini kayak kurang nyatu aja pas cerita yang ada Tom dan yang ngga ada Tom-nya.

To sum it up, I didn’t regret reading this book—albeit I won’t reread it again. I love the plot twist and I love the ‘romance’ between Tom and Billie, also the friendship of the three MacArthur Park kiddos. If you’re in leisure time AND you don’t have any books left in your TBR list, go try to read this book. 7.3/10 from me (due to some boring and slow-paced parts of the book)

BONUS: The Girl on Paper Moodboard by Tiara Putri

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related