Review: Crazy Rich Asians – Susahnya Berempati dengan Kaum Jetset

Sumber gambar: Yes24

Setiap kali ke Books and Beyond, pandangan saya hampir selalu tertuju ke buku “Crazy Rich Asians”. Ini buku membangkitkan minat saya setelah saya membaca thread di Twitter yang dibuat oleh seorang mantan guru sekolah internasional di Jawa (entah di mananya). Isinya tidak lain kesaksian doi tentang kehidupan kaum taipan, alias alias tycoon, alias konglomerat alias kaum kaya raya yang saking kayanya nggak bakal mikir panjang buat ngantar anak ke sekolah pakai helikopter (dan alasannya hanya karena macet di jalan). Singkat cerita, saya minta buku ini sebagai hadiah wisuda dan mendapatkan dua edisi sekaligus dari teman-teman kosan–“Crazy Rich Asians” dan “China Rich Girlfriend”.

(Artikel sarat spoiler, putuskan sendiri mau dibaca atau tidak.)

Ringkasan Cerita

Rachel, seorang dosen ekonomi keturunan Chinese yang tumbuh besar di Amerika, diajak oleh Nick, sang pacar, berlibur ke kampung halamannya di Singapura sekalian menghadiri pernikahan Colin, sahabat masa kecil Nick. Berita tentang Nick yang akan membawa pulang pacarnya dalam waktu singkat menyebar ke segala penjuru komunitas kaum jetset. Maklum, Nick adalah pewaris dari salah satu keluarga konglomerat paling diincar di Singapura. Jika Nick membawa pulang pacarnya ke Singapura, tentu saja orang heboh–because, well, kemungkinan Nick akan mengenalkan Rachel ke orangtuanya, dan pasti kalian paham bagaimana selanjutnya.

Hubungan Nick dan Rachel membangkitkan amarah emak-emak kaya dan anak-anak gadis mereka. Pasalnya, Rachel adalah ABC (American-born Chinese) yang latar belakangnya tidak jelas dan hidup dalam keluarga single parent. Anggapan mereka, Rachel ini pasti semacam Cinderella mata duitan, apalagi dengan profesinya sebagai dosen ekonomi. Padahal di samping Nick awalnya nggak punya niatan buat melamar Rachel, Rachel bahkan tidak tahu sama sekali soal latar belakang keluarga Nick, mostly karena Nick malu dengan kondisi keluarganya yang (memang) kesehariannya bergelimang kemewahan dan terlalu banyak berkutat dengan topik soal duit.

Berbagai macam cara akhirnya dilakukan orang-orang untuk merusak hubungan Nick dan Rachel. Mulai dari memanas-manasi ibu Nick, menyewa detektif untuk menggali latar belakang Rachel, sampai menceritakan yang nggak-nggak soal masa lalu Nick kepada Rachel. Welcome to the life of the crazy rich Asians, dear.

NB: Oh iya, cerita ini tidak hanya berkisar pada Rachel dan Nick, tetapi juga pada Astrid, sepupu Nick yang tersohor karena kecantikan dan selera fashion-nya yang mengagumkan. Waktu membaca deskripsi soal Astrid, saya langsung membayangkan aktris Korea Han Chae-young saat doi main di “Boys Before Flowers”. Astrid ini sekali belanja baju di Eropa bisa 20 pieces, yang masing-masing harganya kira-kira 200 ribu dolar. Untungnya, tidak seperti kaum konglomerat yang lain, Astrid baik banget sama Rachel.

NB lagi: Entah dolar Singapura atau dolar Amerika, it doesn’t matter. Saya ngerampok bank juga belum tentu bisa beli.

Mampu Melukiskan Kehidupan Jetset Keturunan Chinese

Kevin Kwan mengaku menulis buku ini untuk mengenalkan kehidupan kaum Chinese kontemporer kepada kaum Barat. Menurut saya beliau cukup berhasil, karena saya merasakan nuansa yang mirip antara cerita di buku ini dengan kehidupan kaum Chinese modern yang saya saksikan sendiri. Apalagi setiap bagian yang ada emak-emak taipannya. Really, persis banget. Yang bisa mereka omongkan cuma duit siapa yang lebih banyak, aset mana yang baru mereka beli, anak siapa kuliah di mana dan kerjaannya apa. (Yang ini biasanya diselingi kata-kata melecehkan. Berani aja lu ngaku anak lu kuliah di Stanford. Bagi mereka, mahasiswa Stanford itu “anak-anak yang gagal keterima di MIT”, bukan “anak yang kuliah di universitas bergengsi di Amerika”) Dan yang tidak pernah dilewatkan oleh emak-emak ini setiap kali bertemu (pastinya) adalah topik soal dengan siapa anak mereka harus menikah biar makin kaya.

Deskripsi yang Mengganggu Cerita

Kalau kamu dapat tugas meringkas cerita dari buku, masukkan “Crazy Rich Asians” dalam urutan bawah. Kenapa? Karena menurut saya alur cerita dalam buku ini kurang kuat. Terlalu banyak unsur-unsur yang mengganggu usaha pembaca untuk memahami alur cerita, sehingga begitu kamu sampai di halaman terakhir, kamu pasti masih mikir sebenarnya barusan kamu lagi baca apa.

Yang paling mengganggu alur cerita tidak lain adalah deskripsi soal barang-barang dan latar cerita, entah itu di narasi atau dalam dialog karakter. Deskripsi ini sebenarnya hal yang lumrah. Kalau suka baca novel-novel Agatha Christie, kamu bakal menemukan tipe deskripsi semacam ini. Apalagi buat novel shopaholic kayak gini, yang rata-rata isinya karakter yang doyan membanggakan barang belanjaan dan rumah mereka sampai ke detail yang sekecil-kecilnya.

Sayangnya, dalam buku Kwan, deskripsi ini agak berlebihan. Terlalu panjang, mengandung detil yang tidak esensial, dan disampaikan dengan cara yang sangat tidak natural. Cara penyampaian ini agak fatal efeknya pada dialog karakter, karena membuat karakter terkesan seperti sedang membaca berita.  Di awal cerita saya masih maklum, sampai menjelang bagian akhir saya skip semua bagian ini karena kelelahan membaca deskripsinya.

Daripada konsisten menyajikan deskripsi sampai akhir cerita, lebih baik penulis menguatkan elemen deskripsi ini di setengah bagian awal, lalu fokus dengan cerita di setengah bagian akhir.

Susah Relate dengan Karakter

Kalau ini jelas. Mungkin malah kita tidak akan pernah bisa relate dengan mereka. Tetapi bahkan bagi saya, sulit untuk relate dengan Rachel yang notabene adalah “karakter yang paling dekat dengan bumi” di buku ini. Penulis tidak berhasil menggambarkan kecanggungan Rachel dalam bergaul dengan kaum konglomerat–hal yang seharusnya paling penting dalam novel yang berkisah tentang kaum kaya raya.

Somehow, saya juga tidak bisa simpati dengan Nick. Padahal, Nick ini kasihan karena sejak kecil hidup dalam lingkungan yang bisa dibilang menyedihkan untuk seorang anak. Di salah satu bagian, diceritakan bahwa Nick sampai menjelang malam pun belum dijemput dari sekolahnya–karena ayahnya sibuk kerja dan ibunya ke luar negeri. (Nick nggak tahu ibunya ke luar negeri!) Sayangnya, sekali lagi, penulis tidak mampu memanfaatkan bagian ini untuk menarik simpati pembaca, karena saya tidak merasa ada dampak psikologis yang berarti bagi Nick akibat kejadian ini. Padahal, pasti kita penasaran dong, kalau seorang anak hidup dalam keluarga yang kaya tujuh turunan, besarnya keadaan mentalnya gimana? Anehnya, bagian yang ini rasanya kayak angin lalu saja.

Astrid, anyway, adalah karakter yang paling bagus penceritaannya. Diceritakan bahwa Astrid merasa tertekan karena menemukan tanda-tanda suaminya berselingkuh. Namun setelahnya, ketahuan kalau sang suami tidak berselingkuh, cuma sengaja merancang semua bukti perselingkuhan biar bisa bercerai dengan Astrid. Alasannya yang bikin saya terenyuh: karena suaminya nggak kuat dengan Astrid dan keluarganya yang gaya hidupnya hura-hura banget. Ditambah lagi dengan status suami Astrid yang berasal dari kasta “pekerja” seperti Rachel, sehingga kerap kali dihina-hina oleh orang tua Astrid (he’s engineer, which is cool for us, but maybe not with these people).

I don’t even understand why they married, but somehow, I can relate with Astrid. Dia benar-benar digambarkan sedang tertekan dan kepikiran, dan saat mendengar penjelasan suaminya soal tanda-tanda perselingkuhan yang kemarin, terasa banget sedihnya Astrid karena harus lahir di keluarga yang kaya tujuh turunan.

Komedi? Jelas Bukan

Nggak ada lucu-lucunya novel ini. Yang lucu pun sedikit dan garing. Jadi kalau orang bilang ini komedi shopaholic, I think they’re drunk.

(Mungkin) Lebih Nikmat Dibaca dalam Singlish

Pertama, karena saya benar-benar tidak sreg dengan gaya terjemahannya. Saya malah ragu ini novel disunting atau tidak sebelum diterbitkan.

Kedua, karena ini novel tentang Chinese Singapura. Kalau pernah ke Singapura atau Malaysia dan mendengar style berbahasa Inggris mereka, kamu pasti bakal geli-geli gimana gitu. Bukan karena bahasa Inggris mereka yang jelek, tapi karena logat Chinese mereka kebawa dalam omongan mereka. Kadang-kadang malah dicampur dengan istilah-istilah kental yang cuma bisa dimengerti orang Chinese. Gaya berbahasa Inggris yang unik ini sebutan bekennya Singlish (Singapore English).

Makanya saya pikir, mungkin novel ini akan terasa lebih lucu kali ya kalau saya baca yang versi bahasa Inggris. Pasti rasanya geli-geli gimana gitu.

Cocok untuk yang Penasaran dengan Hidup Orang Kaya

Orang kaya nyatanya nggak selalu bahagia. Mereka menghadapi banyak masalah yang kadang lebih menyusahkan daripada nggak punya duit. Seperti Nick yang mau nikah pun susah gara-gara statusnya sebagai pewaris keluarga hartawan, atau Astrid yang harus menghadapi ancaman perceraian karena suaminya sudah malas dengan keluarganya yang kaya raya. Masalah-masalah orang kaya ini bisa kamu telaah lebih jauh dengan membaca buku ini. Setelah membaca buku ini, moga-moga kamu lebih bersyukur lahir dan besar di keluarga yang normal.

***

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading...