The Book of Forbidden Feelings

I wanted to say, ‘I would love to know your obsessions. Is it landed house, gadgets, power, domestic life, succulent plants, achievements, money, work, more likes and followers, health, validations, sex, organic food, pets, perfect selfies, children, sports, religion, relationship, minimalism, perfection, muscles, urban toys, shoes, traveling, or fame?’ but nobody is prepared for that kind of question on a first date. So I said, ‘You look great.”

Ketika dengan randomnya saya mengecek lemari buku di kantor, saya menemukan buku ini. I was a little surprised, I don’t think one of my workmates would have picked this book to buy. Sorry. Tapi meski terkejut, buku ini lah yang akhirnya saya ambil dan pinjam. Karena buku semacam cepat dibaca. Dan tentu saja karena buku semacam ini biasanya beresonansi dengan perasaan pembacanya.

Terdiri dari 147 halaman, buku ini berisi prosa dan ilustrasi dari Lala Bohang, seorang pekerja seni dan penggerak kreatifitas. While I only knew a little about her, you can check her IG account @lalabohang atau ke webnya di sini.

I loved that this book started with a quote from Charles Lindbergh, “Isn’t it strange that we talk least about the things we think about the most?” As if, that’s the reason: why don’t we write about the things that we think about the most? Things that we are not able to say it loud. Maybe that’s why this book called The Book of Forbidden Feelings.

Hal lainnya yang saya sukai, yang juga menjadi bagian awal dari buku ini adalah kata pengantarnya. Ohiya, apakah kamu seperti saya yang suka membaca kata pengantar yang ada dalam buku? Selain karena kata pengantar sering juga berisi garis besar kandungan buku, kata pengantar juga biasanya adalah tulisan dari tokoh-tokoh penting yang tulisannya enak buat dibaca. Nah, buku ini dibuka dengan pengantar dari Mia Maria, seorang kurator seni (dari keterangan di bagian bawah halaman pengantar). Pengantarnya ini yang pada akhirnya menyuarakan impression saya setelah membaca buku ini, bahwa: reading her writings is like listening to her most inner thoughts… and often it feels like listening to my own conscience.

Ketika saya mengiyakan saat pengantarnya bilang bahwa membaca buku ini terkadang juga seperti mendengarkan suara hari, itu karena beberapa dari prosa yang dibuatkan menyampaikan inner thoughts. Beresonansi dengan perasaan. Hal itu yang saya suka dari membaca prosa, termasuk buku ini. Contohnya seperti dilema yang tertuangkan di tulisannya berikut ini:

You go home after doing all things you’ve not interested in for a whole day. Meeting people who are not dreamers. Taking notes on things you would never pay attention to. Discussing matters that would never affect your mind and your life. Listening to everybody’s unimportant thoughts about what’s important and what’s not. Breathing in air which is located in the most cold-blooded place on earth called forced routine. The energy is so energetic it comes from your basic needs validation, things, and friendship.

Reading that lines, when the timing is there, then it just hit. Saat beberapa hari ini, sebagai seorang introvert tapi pekerjaan membuat energi begitu terkuras karena harus persis berhadapan dengan manusia dan hal-hal yang dikatakan di atas. And I just want to say thank you for putting the feelings into the right words. Dan itu baru satu yang saya bantu kutipkan di sini, sedangkan di dalamnya masih begitu banyak perasaan: emptiness and fulfillment, letting go and keeping up, positive and negative, etc. Can you picture that?

Dan buku ini tidak hanya kumpulan prosa tapi juga memamerkan ilustrasi-ilustrasi milik penulis. Dan mungkin juga merepresentasikan begitu banyak perasaan. Mungkin karena saya kurang begitu memahami seni, saya kurang begitu menyukai beberapa ilustrasi yang ada. Beda dengan saat saya membaca modelan serupa buku ini, seperti Stories for Rainy Days yang banyak ilustrasi di dalamnya begitu manis dan menghadirkan perasaan hangat. Eh, tapi perbandingan ini mungkin ngga fair ya karena meski mirip, aliran mereka tidak sama. Ilustrasi lala bohang lebih abstrak, intense, dan bold.

Last but not least, saya sangat merekomendasikan buku ini buat dibaca saat kita mungkin merasa hidup berjalan sedemikian cepatnya tapi kita sedang ingin berjalan perlahan dan menikmati langkah yang kita ambil. Saat membutuhkan teman, karena penulis bilang. ‘this book meant to be a good friend; the one to keep by your side, the one you can be honest with’. Atau kapanpun.

Selamat membaca.

Title: The Book of Forbidden Feelings Author: Lala Bohan Release Date: Cetakan keempat, Januari 2017 Publisher: Gramedia Pustaka Utama Format: Hardcover Page Count: 152 pages Genre: Collected Prose, Art, Poems Share this:
Like this:Like Loading...