WHAT WE SAY – INSIDIOUS: THE LAST KEY

Director: Adam Robitel

Starring: Lin Shaye, Leigh Whannell, Angus Sampson, Spencer Locke, Javier Botet, Caitlin Gerard, Hana Hayes

Score: 7.5/10

2018 dibuka oleh film-film misteri. Setelah dicuri perhatiannya oleh pembunuhan rusa suci, minggu ini bioskop kembali kedatangan Elise Rainier dan roh-roh jahat dari film Insidious: The Last Key. Awalnya direncanakan rilis Oktober tahun lalu, film ini akhirnya di-rolling dengan Happy Death Day. Strategi yang jitu karena di awal tahun memang belum ada film besar Hollywood yang rilis. Terbukti, The Last Key menjadi incaran banyak orang. Data yang kami peroleh dari Box Office Mojo menulis bahwa film ini balik modalnya termasuk cepat. Hanya dalam waktu tiga hari, mereka sudah meraup pemasukan sebesar 12,7 juta USD dari production budget yang hanya 10 juta USD!

Jadi, dengan antusiasme sebesar itu, apakah Insidious: The Last Key memang betul-betul “worth to watch”? Ya, mereka lebih baik dari film sebelumnya. Penulis Leigh Whannell mencoba untuk melihat apa saja yang masih tersisa dari rentang waktu yang ada, tapi nyatanya itu adalah hal yang sulit diejawantahkan. Kepada Collider, Leigh bercerita tentang masa penulisan cerita di mana Ia sedang berada di Spanyol. Meski menjadi proses yang menarik, sebetulnya Leigh sempat merasa kesulitan hingga akhirnya Dia terinspirasi dari rumah tempatnya menulis. Sebuah rumah tua berusia 300 tahun yang berada di kota kecil. Saking kecilnya, kota itu hanya dihuni lima rumah saja sehingga “Five Keys” menjadi nama kawasan di dalam filmnya.

The Last Key berfokus pada Elise (Shaye). Memang sih, dia masih harus mengusir setan dari rumah orang lain. Bedanya, yang kali ini disambangi adalah rumah masa kecilnya sendiri. Diceritakan, Elise muda sudah dapat ‘melihat’. Kemampuan ini menakuti adiknya dan membuat geram ayahnya. Elise kemudian dihukum dan secara tidak sadar membuka kunci gaib yang berakhir pada kejadian mengerikan. Kini, Elise akan mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat. Ia kembali masuk ke “The Further” dan mengunci apa yang sudah terbuka. Cerita ini membuat kisah Insidious lebih dalam lagi karena kita akan lebih peduli terhadap karakter Elise. Bagaimana semuanya bermula, apa penyebabnya serta konsekuensinya, terlihat jelas di dalam film.

Selain Elise yang menolong orang lain dan rumah berhantu, Insidious: The Last Key sebenarnya masih menggunakan cara lama untuk menghibur kita. Pertama adalah jumpscares. Film ini lebih sering membuat penonton kaget lewat kemunculan tiba-tiba dari para makhluk astral. Mereka sedikit sekali (atau bahkan tidak sama sekali) memanfaatkan hal-hal gaib lain seperti benda-benda yang berjalan atau berfungsi sendiri. Di satu sisi ini mengurangi kesan teror karena hanya didukung oleh penuansaan. Namun, karena jumpscares yang ditunjukkan selalu berada di waktu yang tepat, kami bisa menerima bahwa ini adalah cara mereka dalam menyajikan horor. Unsur seram di sini bukan seperti seramnya The Conjuring yang akan menerormu sampai pulang. Lebih ke arah menghibur lewat cara menakut-nakuti. Oh iya, sedikit pujian untuk sutradara Adam Robitel. Ia menggunakan sebuah trik baru dalam pengambilan gambar. Ini berguna untuk penyegaran dan semakin mendukung kesan “pemburu hantu” Elise dkk.

Kemudian twist. Ya, The Last Key memiliki itu. Mereka membawa penonton larut dalam masalah personal Elise hingga nanti akan dijatuhkan lewat sebuah fakta mengagetkan. Adanya hal ini membuat cerita menjadi lebih menarik karena berurusan dengan misteri dari apa yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga Elise sendiri. Letak twist ini juga menjadi pintu pembuka yang baik karena berada sebelum film memasuki konflik utama. Setelah semua menjadi jelas, tinggal bagaimana mereka mengunci bagian akhir, di mana Elise berhadapan dengan ketakutan terbesarnya.

Anyway, selain Elise ada dua karakter lain yang perannya tidak kalah penting di setiap film Insidious yaitu Specs (Whannell) dan Tucker (Sampson). Seperti biasa, duo ini kembali mencairkan suasana. Humor membuat film menjadi santai. Ironis, kelakuan Specs dan Tucker malah semakin menjadi ketika Elise bertemu dengan beberapa karakter baru. Tipikal “jomblo ngenes”, mereka langsung memanfaatkan kesempatan untuk mengenal, kalau bisa lebih dalam, para karakter baru tersebut. Saat harus kembali, Specs dan Tucker tidak dapat berbuat banyak. Mereka masih jalan di tempat, di mana kami ingin melihat apa yang bisa dilakukan selain menjadi asisten Elise yang lucu.

Kemudian bentuk iblis. Astaga, ini adalah isu utama The Last Key dari pertama kali cuplikannya dirilis. Sebagai final boss, haruskah ia di sini tampil dengan bentuk jari-jari yang aneh? Terlihat konyol sekali. Kami malah jadi lebih pro dengan iblis di film ketiga, walau di situ kami juga mengungkapkan kekecewaan mendalam karena wujudnya yang terlihat begitu ringkih. Iblis-iblis khas Insidious yang berwujud lebih menyerupai manusia hilang begitu saja karena perbedaan visi. Untungnya, bagian yang paling mengagetkan dari film tidak melibatkan “si tukang kunci”.

Jujur, karena rilis di Januari ekspektasi untuk Insidious: The Last Key tidak tinggi. Namun, apa yang akhirnya diberikan adalah sebuah hiburan yang mengasyikkan. Meski tidak dapat menyamai dua film pertama, misi supranatural kali ini seru dan semakin menguatkan benang merah dari trilogi Insidious. Awal yang baik untuk 2018 dan siapa tahu film-film besar Hollywood di bulan yang sama tidak seperti yang kami kira sebelumnya.

@adam_sarga

Advertisements Bagikan ini:
Like this:Like Loading...