WHAT WE SAY – STIP & PENSIL

Director: Ardy Octaviand

Starring: Ernest Prakasa, Tatjana Saphira, Indah Permatasari, Ardit Erwandha, Arie Kriting, Pandji Pragiwaksono

Score: 7/10

Minggu ini bioskop diserbu oleh dua film lokal yang mengangkat tema sama: pendidikan. Bedanya, yang satu berbentuk drama-biopik (Kartini) dan satu lagi adalah komedi berjudul Stip & Pensil. Menarik untuk melihat judul terakhir lebih dulu, mengingat ini adalah film terbarunya Ernest Prakasa, dan sejauh ini Ernest belum mendapatkan raport yang kurang baik. Bukannya ingin mencari-cari kesalahan, hanya ingin tahu saja apakah Ernest bisa lebih mengeksplor kemampuannya dengan cara memberikan hal-hal baru. Selain itu, patut ditunggu bagaimana sutradara Ardy Octaviand dapat menyampaikan pesan dengan cara yang asik, namun tetap berimbang. Maksudnya, gak kebanyakan becanda. So, apakah Stip & Pensil berhasil melakukannya?

Toni, Aghi, Bubu dan Saras adalah anak orang kaya yang dimusuhi murid-murid satu sekolahnya. Dibanding murid lain, mereka selalu dianggap sok jago dan songong. Suatu hari, mereka dikasih tugas essay untuk menulis sebuah permasalahan sosial. Eh, alih-alih nulis, empat sekawan ini malah bikin tindakan yang lebih menantang. Dengan modal sendiri, mereka memutuskan untuk membangun sekolah buat anak-anak kurang mampu. Awalnya Toni dkk menganggap hal ini enteng, tapi ternyata tindakan kongkrit tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya.

Dengan tagar “Kangen Sekolah” di media sosial, Stip & Pensil sudah menawarkan sesuatu yang kurang tepat. Kisah ini bukanlah untuk Kamu yang ingin kembali bernostalgia atau kangen-kangenan sama masa-masa sekolah dulu. Tidak ada satu pun unsur jadul yang kembali diangkat di sana. Stip & Pensil adalah sebuah satir yang menyindir dan justru berkutat di sosial-ekonomi. Sesuatu yang keliru dan cukup disayangkan karena isu pendidikan yang ada di sini ditampilkan secara lebih mendalam. Tidak hanya bicara tentang betapa sulitnya pendidikan itu didapat oleh seluruh lapisan masyarakat, namun juga menampilkan dilema yang harus dihadapi oleh mereka yang kurang beruntung. Singkatan UUD alias “Ujung-ujung Duit” ditampilkan secara gamblang, dan pastinya penuh canda tawa.

Tidak lengkap rasanya ngomongin film ini tanpa mengulas empat karakter utamanya. Dari awal film mereka sudah ditampilkan bersama. Toni adalah kepala suku yang diperankan oleh Ernest Prakasa. Keharusan berbagi peran dan memberi ruang bagi tiga kawannya membuat karakter Toni jadi tidak begitu kuat, bahkan merupakan yang terlemah dibanding karakter-karakter yang pernah diperankan Ernest sebelumnya. Ernest juga belum bisa sepenuhnya move-on dari dirinya sendiri. Beberapa jokes masih saja berkutat di hal yang sama. Meskipun begitu, Ernest berhasil memanfaatkan ruang yang ada secara efektif. Aktingnya luwes dan paling enak dilihat dibanding tiga karakter lainnya. Lebih dari itu, Toni adalah “project officer” dari sekolah darurat ini dan penonton bisa melihat perkembangan karakter yang awalnya membangun untuk pembuktian, kemudian beralih menjadi pengabdian.

Nah dengan “mengalahnya” Ernest, apakah Tatjana Saphira, Indah Permatasari dan Ardit Erwandha bisa mengisi kekosongan tersebut?

Tatjana dan Indah berperan sebagai Bubu dan Saras. Mereka ini terlihat seperti dua sahabat yang sangat berbeda namun hebatnya bisa akur bersama. Saras adalah tipe cewek tangguh dan pemberani, sedangkan Bubu menjadi versi antitesisnya. Menarik untuk membahas karakter Bubu karena tercium sedikit bumbu stereotip di sini. Bubu adalah wakil dari cewek kota kebanyakan yang tidak hanya terlihat cantik, namun juga gaul, fashionable dan tech savvy. Sayangnya, di balik itu semua Bubu juga seorang yang telmi. Seringkali ke-tulalit-an Bubu ini menjadi bahan tertawaan dan beberapa dialognya juga mengesankan kalau Bubu adalah orang yang benar-benar payah. Makin sengsara lagi Bubu setelah dia harus pasrah menerima kekalahan karena cintanya memilih orang yang berbeda. Ladies, apakah Kamu termasuk salah satunya?

Justru yang paling konsisten di sini adalah Aghi. Walaupun tertutupi oleh tiga karakter lainnya, Aghi adalah yang paling bijaksana dan ternyata Ardit Erwandha bisa terus menunjukkan hal tersebut di saat yang tepat. Terbukti, hanya Aghi yang ilmunya nyangkut kemudian diaplikasikan di kehidupan nyata dan akhirnya berefek besar terhadap kehidupan para murid. Berbeda dengan teman-temannya yang semua ingin mencari eksistensi (seperti Toni yang ingin membuktikan dan Bubu yang ingin dapat penghargaan), Aghi justru bisa melihat dari sisi lain. Dia bisa merasakan unsur kebahagiaan dari proyek yang sedang mereka jalankan. Melegakan untuk tahu kalau geng ini punya anggota macam Aghi.

Dengan karakter yang unik, Stip & Pensil seharusnya bisa memberikan sajian yang menyentil. Tapi hal tersebut hancur dengan banyaknya ‘hit and miss’ yang mereka lakukan sepanjang film diputar. Mulai dari lawakan-lawakan yang kentang (and mostly it’s coming from Tatjana’s character), bahkan sampai scene yang tidak perlu. Karakter jurnalis yang diperankan Tora Sudiro sungguh membuang waktu karena sebenarnya ada karakter lain yang lebih berpengaruh dari wartawan harian Jakarta Weekly ini. Setiap babak meloncat-loncat dengan tidak nikmat. Satu sekuens selesai, kemudian ditutup dengan pergantian backsound yang kurang smooth, dan begitu seterusnya. Selain itu, cara penulis naskah untuk mengakhiri konflik juga sangat berbau politik. Sangat jelas terlihat dan nampak seperti bahan kampanye.

Di samping beberapa kekurangannya, Stip & Pensil masih bisa memberi esensi dari sudut pandangnya sendiri.

@adam_sarga

Advertisements Bagikan ini:
Like this:Like Loading...