A Romantic Story About Serena Bab 15

 

BAB 15

 

Hampir sebulan sejak kejadian itu, dan Damian menepati janjinya. Tidak menemui Serena lagi. Atas bujukan dan desakan Vanessa, Serena kembali bekerja di perusahaan Damian, lagipula bujukan Vanessa ada benarnya juga, Serena butuh gajinya untuk menghidupi mereka semua. Dan selama sebulan itu Damian, sang CEO menjadi orang yang paling sulit dilihat di kantor, jika tidak sedang melakukan perjalanan bisnis, lelaki itu mengurung diri di ruangan kerjanya dan tidak keluar-keluar. Sesekali Serena masih berpapasan dengan Freddy, lelaki itu masih bekerja di sini, Damian tidak jadi memecatnya, sepertinya dia dan Damian sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.

Dan Serena merindukan Damian. Dia sudah bertekad melupakan Damian, tetapi hatinya punya mau sendiri, kadang dia menatap lift khusus direksi yang menyambung langsung ke ruangan Damian dengan penuh harap. Berharap tanpa sengaja dia melihat Damian keluar dari sana, melangkah ke parkiran mobilnya. Tuhan tahu betapa ia bersyukur seandainya saja dia bisa melihat Damian, biarpun cuma satu detik, biarpun cuma dari kejauhan. Tapi entah kenapa Damian seperti punya pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu Serena.

Sore itu Serena melangkah memasuki apartemennya dengan lunglai, dia tidak enak badan, sedikit panas dan meriang, jadi dia minta izin pulang cepat.

Ketika memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa dari ruang tengah. Suara Rafi dan dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah mendapat izin Damian menggunakan setengah hari kerjanya untuk melakukan terapi khusus pada Rafi. Terapinya sudah membuahkan hasil, Rafi sudah bisa menggerakkan jari-jari kakinya, sedikit mengangkatnya dan melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa Rafi akan bisa berjalan lagi semakin besar.

Serena melangkah ke ruang tamu dan melihat Rafi sedang duduk di kursi rodanya sedang dokter Vanessa menuangkan teh untuknya, sepertinya session terapi sudah selesai.

Rafi mendongak ketika merasakan kehadiran Serena dan tersenyum lebar, mengulurkan tangannya, “Hai sayang,”

Dengan senyum pula Serena melangkah mendekat, menyambut uluran tangan Rafi. Lelaki itu membawanya ke mulutnya dan mengecupnya, “Bagaimana session terapi kali ini?” tanyanya lembut.

Rafi tertawa dan Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa akhir-akhir ini. Lelaki itu makin sehat, warna kulitnya juga sudah jadi cokelat sehat, tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak lebih kuat. Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang penuh tawa dan vitalitas, dengan semangat hidup yang memancar dari dalam dirinya.

“Aku tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena sampai keringatku bercucuran, tapi aku senang sudah sampai di tahap sejauh ini”, jelas Rafi bahagia.

Serena membelalakkan matanya senang, “Benarkah?”, dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, “benarkah dokter?”

Dokter Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum, “Perkembangan Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan lagi.”

Dengan bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat, “Oh aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!” serunya dengan kegembiraan murni.

Tapi tiba-tiba Rafi melepaskan pelukannya dan menatap Serena sambil mengerutkan alisnya,

“Sayang, badanmu panas.”

Gantian Serena yang mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri,

“Benarkah? Aku memang merasa tidak enak badan, makanya aku pulang cepat.”

Dengan cemas, Rafi menoleh ke arah Vanessa, “Dokter, badannya panas bukan?”

Vanessa segera mendekat dan menyentuh dahi Serena lembut, “Benar, kau panas Serena, apakah kau terserang flu?”

Serena menggelengkan kepalanya, “Tidak, saya tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah dengan perut saya, akhir-akhir ini saya sering memuntahkan makanan yang saya makan, makanya badan saya terasa lemah dan…”

“Memuntahkan makanan?” dokter Vanessa mengernyitkan keningnya, begitu serius.

Serena menganggukkan kepalanya, tidak menyadari betapa seriusnya pandangan dokter Vanessa menelusuri tubuhnya.

“Sudah berapa lama?” tanya dokter Vanessa lagi.

Serena tampak berpikir, “Baru beberapa hari ini, mungkin seminggu terakhir ini.”

“Apa kau kena maag Serena?” Rafi menyela tampak semakin cemas.

“Mungkin,” Serena mengusap perutnya, “Soalnya aku sering mual.”

Dokter Vanessa mengikuti arah tangan Serena dan menatap perut Serena,

“Kau tampak pucat Serena, berbaringlah dulu, aku akan menyusul dan memeriksamu nanti setelah selesai dengan Rafi.”

Serena menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,

“Aku berbaring dulu ya.” bisiknya lembut dan Rafi mengangguk, balas mengecup dahi Serena.

Seperginya Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk session pelemasan akhir sambil berpikir keras…… Tidak enak badan, mual, memuntahkan makanannya…. Jika dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil dan tidak menyadarinya?

“Dokter?” Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga Vanessa tergeragap, “Dokter tidak apa-apa?”

Vanessa berdehem salah tingkah, “Ah, maafkan aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena.”

“Kalau begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku juga mencemaskannya dok,” Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu, “Tidak apa-apa dok, aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa diriku sendiri ke kamar dan mengurus diriku sendiri. Kumohon, uruslah Serena dulu.”

Sambil mengangguk, Vanessa bergegas menyusul Serena ke kamarnya.

Serena sedang berbaring miring memegangi perutnya, tampak kesakitan dan pucat pasi.

Vanessa duduk di sebelah ranjang, menyentuh dahi Serena lagi, panas membara, meskipun keringat dingin mengalir deras,

“Saya muntah-muntah lagi barusan dokter.” Serena memejamkan matanya dan tidak berani membukanya, seolah takut kalau dia membuka matanya, rasa mual yang hebat akan menyerangnya lagi.

“Berbaringlah dulu, aku akan membuatkan teh mint untukmu, untuk mengurangi mual, nanti aku akan membuatkan resep obat untukmu.” obat untuk wanita hamil. Vanessa mulai merasa yakin melihat kondisi Serena. Serena hanya mengangguk patuh masih memejamkan matanya.

Beberapa saat kemudian, Vanessa kembali datang dan membantu Serena duduk, lalu membantunya meneguk teh mint itu, setelah itu dia membaringkan Serena yang lemas di ranjang, Serena meletakkan kepalanya di bantal dengan penuh syukur, “Terima kasih dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak lagi seperti tadi.”

Vanessa tersenyum lembut, “Cobalah untuk tidur.” gumamnya sebelum melangkah keluar kamar.

Ketika merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang sepertinya sudah masuk ke kamarnya, Vanessa meraih ponselnya dan memejet nomor telepon Damian.

Damian memang menghilang dari kehidupan Serena, tetapi lelaki itu tetap memantau setiap detik kehidupan Serena, lelaki itu menuntut laporan yang sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa,  Damian berhak mengetahui dugaannya ini.

“Vanessa.” Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.

“Damian,” Vanessa berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak suasana hening, dan tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.

“Dia hamil.” itu pernyataan bukan pertanyaan.

“Aku tidak bisa menyimpulkannya seakurat itu sebelum dilakukan test urine dan test lainnya, tapi kemungkinan besar dia hamil, dia memuntahkan semua yang dimakannya, dan mual-mual setiap saat.”

“Dia hamil.” kali ini rona kegembiraan mewarnai suara Damian,

“Aku akan melakukan test urine dulu Damian, kau tak bisa….”

“Aku akan segera kesana.” dan Damian menutup telepon. Membiarkan Vanessa ternganga di seberang, lalu menggerutu dengan ketidaksabaran Damian.

Damian mau kesini, lalu apa? Langsung melemparkan bom itu ke muka Rafi dan Serena? Dasar! Vanessa berniat menunggu Damian di depan apartemen, berusaha mencegah Damian bertindak gegabah, lelaki itu harus berusaha pelan-pelan, apalagi kehamilan Serena belum dipastikan secara akurat.

Lama sekali Vanessa menunggu di ruang tamu, hampir satu jam. Kenapa Damian lama sekali? Apakah Damian membatalkan niatnya kemari? Vanessa mulai bertanya-tanya. Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,

Vanessa menoleh dan tersenyum, “Hai Rafi, bagaimana kondisimu?”

Rafi balas tersenyum, “Tidak pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan jadi aku keluar, bagaimana keadaan Serena?”

Vanessa menarik napas, “Dia sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah.”

Rafi mengernyitkan keningnya, “Dia bekerja terlalu keras,” gumamnya sendu, “dan itu semua gara-gara aku.”

“Rafi,” Vanessa menyela dengan lembut, “Kita sudah pernah membahas ini kan? Kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri, lagipula Serena melakukannya dengan sukarela.”

“Benarkah?” suara Rafi menjadi pelan, “kadang-kadang aku merasa dia hanya kasihan kepadaku.”

“Rafi….”, Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ponselnya berdering, dengan cepat diliriknya layar ponselnya. Freddy.

“Freddy?” panggilnya setelah mengangkat telepon, “Freddy kau tahu di mana Damian? Dia bilang akan ke sini, tapi sampai sekarang dia belum datang…..”

“Vanessa, Damian kecelakaan di tol.”

 

***

 

“Serena.” dengan lembut Vanessa menggoyangkan pundak Serena yang tertidur pulas. Sementara Rafi mengikuti di belakangnya.

Dengan sedikit lemah Serena membuka mata dan agak waspada melihat wajah dokter Vanessa yang pucat pasi, dengan segera dia duduk, gerakan tiba-tiba itu langsung membuat kepalanya pening, tapi Serena menahannya sambil mengernyit,

“Ada apa dokter? Rafi kenapa?”

“Aku baik-baik saja di sini.” gumam Rafi dalam senyum.

Serena menatap Rafi dengan lega, tapi lalu menatap dokter Vanessa yang begitu pucat pasi,

“Serena, aku…. Ah aku bingung bagaimana mengatakannya, tapi aku harus segera pergi, ini darurat… Tapi aku bertanya-tanya mungkin kau mau ikut..”

“Ada apa dokter?”, Serena mulai tegang ketika dokter Vanessa tidak juga mengatakan maksudnya.

“Damian, barusan kecelakaan di jalan tol, dia sudah dibawa ke rumah sakit, tapi kami belum tahu kondisinya, Freddy juga sedang dalam perjalanan menuju kesana.”

“Apa?” warna pucat mulai menjalar ke wajah Serena, lalu segera digantikan dengan kepanikan luar biasa, “Ya Tuhan, aku ikut ke rumah sakit, dokter!!”

Rafi mengamati kepanikan Serena dari kejauhan, tapi dia hanya diam dan menatap. Serena tampak pucat pasi dan ketakutan luar biasa. Kenapa sampai begitu? Seolah-olah kondisi Damian benar-benar membuatnya cemas. Padahal Damian kan hanya atasannya di perusahaan? Atau….. Jangan-jangan lebih dari atasan ? Pikiran buruk itu menyeruak dalam benak Rafi, dan dia cepat-cepat menyingkirkannya. Tapi ketika dia melihat betapa Serena mulai gemetaran karena cemas dan panik ketika bersiap-siap berangkat, mau tak mau pikiran buruk itu memenuhi benaknya, ada hubungan istimewa apa antara Damian dengan Serena?

Perjalanan ke rumah sakit berlangsung begitu menyiksa bagi Serena, dia terus menerus berdoa, seakan semua trauma masa lalu menghantamnya lagi keras-keras. Ini hampir sama dengan kecelakaan yang membunuh kedua orangtuanya dan melukai Rafi dulu. Dan Serena tidak akan kuat menanggungnya kalau sampai terjadi apa-apa kepada Damian. Ya Tuhan!! Jangan sampai terjadi apa-apa pada Damian, dia belum sempat mengatakan… Dia belum sempat mengatakan dengan jelas, bahwa dia… Bahwa dia mencintai Damian.

Serena berlari di depan menuju ruangan gawat darurat sementara Vanessa mendorong kursi roda Rafi di belakangnya.

Dia melangkah memasuki ruang perawatan itu dan langsung bertatapan dengan Damian.

Lelaki itu duduk di meja perawatan, telanjang dada, kepalanya terluka dan sudah di tutup perban, dokter sedang membalut luka di pundak dan lengannya. Banyak darah, tapi sudah dibersihkan. Selebihnya, Damian tidak apa-apa. Lelaki itu masih hidup, masih utuh, dan ketika Damian memalingkan kepalanya lalu menatap Serena dengan mata birunya yang menyala-nyala.

Serena pingsan.

 

***

 

Damian berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan Vanessa dan Rafi yang ada di belakang Serena. Tapi Serena pingsan mendadak dan jatuh ke lantai.

Dengan kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang sedang membalut lukanya dan melompat turun, setengah berlari menghampiri Serena, perawat datang menghampiri, tapi Damian menyingkirkannya,

“Biar aku saja.” gumamnya serak, mengeryit sedikit ketika mengangkat Serena menyakiti luka di lengan dan bahunya, tapi dia tidak peduli, dipeluknya Serena dengan posesif dan dibaringkannya ke meja perawatan.

“Tuan, saya belum menyelesaikan membalut lukanya.” gumam dokter di ruang gawat darurat itu sedikit jengkel.

“Nanti saja.” Damian bergumam tajam dengan arogansi yang sudah seperti pembawaan alaminya sehingga membuat dokter itu terdiam, mengangkat bahunya lalu pergi.

“Sayang,” Damian menepuk pipi Serena, tapi perempuan itu begitu pucat pasi, dengan panik, Damian menoleh ke arah Vanessa di pintu, mengabaikan Rafi, “Dia tidak apa-apa?”

Vanessa mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena, “Dia demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini, terus tepuk pipinya pelan-pelan dan sadarkan dia, sepertinya dia shock,” Vanessa menatap Damian tajam, “Dan kau.. kau tidak pernah kecelakaan selama hidupmu, apa yang kau lakukan di jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah sakit ini?? Apakah kau mabuk??”

Damian mengeryit, “Aku tidak mabuk, aku hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang hati-hati.” saat itulah Serena bergerak membuka mata, “ah, sayang…..sayang, kau baik-baik saja?”

Serena mengerjap-ngerjapkan matanya, begitu mendapati wajah Damian ada di dekatnya, airmata mengalir di pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan menyentuh wajah Damian, meyakinkan dirinya bahwa betul-betul Damian yang ada di depannya.

Dengan lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya.

“Aku ada di sini, aku baik-baik saja.” gumamnya setengah berbisik.

Serena membiarkan tangannya dalam genggaman Damian, merasakan kulit Damian yang panas, mensyukuri bahwa lelaki itu masih hidup. Tadi rasanya seperti mau mati saja ketika mengetahui bahwa Damian kecelakaan, pikiran-pikiran buruk melandanya, membuatnya ingin menangis dan berteriak, membuatnya hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia sudah memutuskan akan menerima tidak bisa bersama-sama dengan Damian lagi asalkan lelaki itu tetap hidup, asalkan lelaki itu masih ada, hidup dan bernafas di dunia ini, biarpun Serena tidak bisa melihatnya lagi. Pikiran bahwa Damian bisa saja meninggal dan tidak ada di dunia ini hampir membuatnya ingin menyusul saja. Karena itulah tadi ketika melihat Damian masih hidup meskipun terluka membuatnya lega luar biasa sehingga pingsan. Serena merasakan dadanya sesak ketika menyadari, bahwa cinta barunya, cintanya yang tidak diduga, cinta yang bertumbuh tanpa disadari karena kebersamaan mereka yang tidak direncanakan itu ternyata sudah mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.

“Jangan pernah ulangi lagi,” suara Serena bergetar ketika mencoba berbicara serius kepada Damian, “Jangan pernah ulangi lagi melakukan seperti ini kepadaku.”

Damian meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya dengan lembut, “Aku berjanji,” jawabnya penuh perasaan, “Sekarang tidurlah sayang, aku ada di sini.”

Dengan lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas, membuat pikiran Serena melayang, dia merasa lelah sekali, tubuhnya, jiwanya dan raganya. Tubuhnya sakit dan lunglai sedang jiwanya kelelahan menahan perasaan. Usapan tangan Damian di dahinya membuatnya dipenuhi kelegaan luar biasa, membuatnya dipenuhi rasa damai tidak terkira sehingga Serena akhirnya terlelap lagi.

“Kemari, lukamu harus dibalut.” Vanessa mencoba menarik perhatian Damian, lelaki itu menatap Serena dengan serius, memastikan bahwa Serena sudah tidur, lalu menurut menggerakkan tubuhnya agar Vanessa lebih mudah membalut luka di pundak dan lengannya.

Saat itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap semua kejadian itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat.

“Aku mencintainya.” gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan saat itulah dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.

Rafi hanya terdiam, menatap Serena yang tertidur pulas dengan sedih, “Aku tahu.” gumamnya pelan.

Damian mengangkat dagunya, mengernyit ketika perban itu membebat kencang lukanya, “Dan dia juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu.” sambungnya getir.

Rafi menghela nafas, “Itupun aku juga tahu.”

“Sudah selesai.” Vanessa menyela cepat, lalu menepuk pundak Damian, “Berbaringlah dulu di ranjang sebelah”, Vanessa mengedikkan bahu ke ranjang di sebelah ranjang yang dipakai Serena yang masih kosong. “Kau harus berbaring, kepalamu terbentur dan jika kau tidak segera berbaring kau akan mengalami vertigo.” sambungnya tegas ketika melihat Damian akan membantah.

Semula Damian akan membantah, dia ingin melanjutkan pembicaraan dengan Rafi, menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar, rasa pusing mulai menyerangnya, pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya. Obat penghilang rasa sakit yang disuntikkan dokter jaga tadipun mulai bereaksi, membuatnya merasa lemas dan lunglai. Akhirnya Damian mengangkat bahu dan melangkah ke ranjang kosong itu.

“Kita belum selesai bicara.” gumamnya pada Rafi, mulai menguap.

“Nanti saja.” sela Vanessa mengernyit, lalu meraih kursi roda Rafi dan mendorongnya keluar, “Ayo Rafi, kita harus membiarkan mereka beristirahat.” bisiknya lembut dan mendorong mereka keluar dari ruangan perawatan itu.

Vanessa mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang tenang dan sepi, lalu duduk di sofa di sebelah Rafi. Suasana hening, dan Rafi hanya termenung tidak berkata-kata sampai lama. Vanessa menunggu, menunggu sepatah pertanyaan dari Rafi sebelum menjelaskan semuanya, dan akhirnya pertanyaan itu datang setelah menunggu sekian lama,

“Apa yang terjadi di sini?”, gumam Rafi serak, dia tetap bertanya meskipun kebenaran itu sudah menyeruak dalam kesadarannya, membuat dadanya sesak.

Vanessa menghela napas mendengarnya, “Ceritanya panjang…”

“Aku punya banyak waktu”, sela Rafi tak sabar, “Jelaskan semuanya.”

“Serena tidak pernah bermaksud mengkhianatimu, kau tahu,” gumam Vanessa sedih, “Dia selalu berusaha setia kepadamu.”

“Kau bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta setengah mati kepada lelaki lain?” gumamnya getir.

“Kau tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian… biaya operasimu… operasi ginjalmu–dokter mengultimatum kau harus segera dioperasi ginjal untuk menyelamatkan nyawamu–sangat mahal, hampir mencapai tiga ratus juta, sementara seluruh harta Serena sudah habis, dia menanggung hutang yang sangat besar di perusahaan… jadi… jadi Serena memutuskan menjual keperawanan dan tubuhnya kepada Damian.”

“Oh Tuhan!”

Wajah Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Jadi semua ini bermula dari dirinya? Semua kegilaan tak diduga ini bermula dari keinginan Serena menyelamatkan nyawanya? Menjual keperawanannya!! Oh Tuhan, Rafi tidak pernah peduli apakah Serena masih suci atau tidak, baginya Serenanya adalah Serena yang sama. Tapi… Mengetahui bahwa Serena melakukan itu demi dirinya benar-benar menghancurkan hatinya. Mengetahui bahwa pada akhirnya Serena menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat menyakiti perasaannya.

“Dan Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena mau mengambil manfaat dari gadis lemah yang sedang kesulitan.” desis Rafi marah.

Vanessa menggeleng, “Tidak seperti itu Rafi, Damian sangat kaya, dia bisa mendapatkan gadis manapun yang dia mau, Tapi sudah sejak lama dia menginginkan Serena, menurutku sebenarnya sudah sejak lama Damian mencintai Serena tetapi dia tidak menyadarinya, karena itu mungkin Damian menganggap satu-satunya cara untuk memiliki Serena adalah menerima tawarannya.”

Rafi mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya sakit menyadari bahwa sekarang dia menjadi penghalang antara dua orang yang saling mencintai.

“Kenapa Serena tidak membiarkan aku mati saja?” rintihnya dalam geraman penuh kesakitan, “Mungkin lebih baik aku dibiarkan mati saja sehingga aku tidak menghalangi kebahagiannya…”

Vanessa menyentuh pundak Rafi lembut, “Jangan pernah punya pemikiran seperti itu,” selanya tegas, “Serena mencintaimu sepenuh hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata seperti itu.”

“Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan padaku, tatapan lelaki itu, tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan bahwa Serena lebih memilihku dibanding dirinya tadi begitu penuh penghinaan dan kemarahan, seolah lebih baik aku tahu diri dan menyingkir saja.“

“Damian memang seperti itu, dia marah karena Serena memilih untuk bersamamu. Tapi Damian mencintai Serena, karena itu dia menghormati keputusan Serena.”

“Lelaki itu, apakah benar dia mencintai Serena? dia terlalu berkuasa, terlalu mendominasi, terlalu arogan… aku takut dia hanya ingin menunjukkan kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya untuk memiliki Serena…”

Vanessa menggeleng, “Damian yang dulu memang seperti itu, tapi ketika bersama Serena, gadis itu dengan segala kepolosan dan kebaikan hatinya telah merubahnya. Damian benar-benar mencintai Serena, aku mengenal Damian sejak dulu kau tahu, dan dia tidak pernah seperti itu sebelumnya, begitu mencintai seorang perempuan, begitu tergila gila hingga hampir dikatakan bisa gila karenanya.”

Rafi menghela nafas panjang, “Kalau begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena?”

Vanessa mengangkat bahunya pedih, “Keputusan ada di tanganmu… Serena sendiri tidak akan pernah meninggalkanmu, dia terlalu setia dan menyayangimu untuk meninggalkanmu. Dia rela mengorbankan perasaannya demi kamu. Jadi, kalau kau tidak melepaskannya, dia juga tidak akan pernah mengkhianatimu demi Damian.”

Rafi memegang pangkal hidungnya, mengernyit seolah kesakitan, “Aku sangat mencintai Serena.” gumamnya perih.

Air mata Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi, pelan dia berjongkok di depan Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak menolak, dia juga tidak menahan air matanya menetes. Kepedihan itu begitu dalam, kepedihan untuk merelakan diri melepaskan sesuatu yang paling berharga di tangannya, agar sesuatu paling berharga itu bisa menemukan kebahagiaannya.

“Aku tahu dan aku bisa mengerti kesedihanmu, kau tak perlu melepaskan Serena kalau kau tak bisa.” bisik Vanessa lembut, mengusap kepala Rafi di bahunya, membiarkan lelaki itu terisak dengan kepedihannya.

Lama Rafi menumpahkan perasaannya, dengan isakan tertahan dan keheningan yang dalam, lalu dia mundur, melepaskan diri dari pelukan Vanessa, duduk tegak dengan tekad kuat di matanya.

“Aku tidak mungkin membiarkan Serena menderita dengan bertahan bersamaku, tidak setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan Serena kepada Damian tadi, tapi sebelumnya aku ingin berbicara dengan Damian.”

 

***

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading...