Misi Baik Dalam Komedi

Koran Tempo, 9-10 Desember 2017

Pengarang Amerika Serikat Charles Dickens mengatakan orang-orang di negaranya tidak memiliki humor, labil, mudah marah, dan itu membuat daratan Amerika tampil menyeramkan. Namun bukan berarti semua orang Amerika tidak memiliki selera humor. Terbukti, dari negara tersebut muncul salah satu gaya lelucon yang digemari di seluruh dunia bernama stand-up comedy.

Stand-up comedy atau komedi tunggal disukai, ditayangkan di berbagai acara stasiun televisi, dan menjadi pilihan anak muda untuk mengekspresikan kegelisahan mereka. Terbukti, banyak generasi muda yang kemudian menjadi komika—sebutan bagi pelakon komedi tunggal.

Komedi tunggal pertama kali muncul di Amerika Serikat pada 1950-an. Sebagaimana sejarah musik jazz, komedi tunggal bermula dari tradisi kelompok imigran, khususnya Afro-Amerika, yang lantas merebak ke berbagai lapisan masyarakat.

Di Indonesia, nama Pandji Pragiwaksono tak boleh lewat bila membicarakan komedi tunggal. Pandji juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Maka tidak mengherankan, bila menonton tayangan komedi tunggalnya, akan ditemukan kritik dan sindiran di tengah lawakannya.

Komedi tunggal menjadi salah satu cara Pandji menyampaikan suaranya. “Komitmen gue adalah menggunakan komedi sebagai alat perjuangan. Perjuangan untuk mencerahkan banyak orang, membuka wawasan orang,” ujar Pandji.

Tema-tema yang diangkat Pandji ke panggung bukan sekadar omong kosong, melainkan membangun kesadaran penonton. Dia tidak segan membawa isu hak asasi manusia di panggung komedi. Untuk memperkaya materi, Pandji dengan serius melakukan riset bersama Kontras dan aktivis dalam aksi Kamisan.

Komedi adalah cara yang mudah dan enak untuk menyampaikan sesuatu yang berat. Komedi membuat semua hal menjadi mudah diterima. Pandji bermaksud menggelindingkan bola salju dan membiarkan penikmat komedinya menerima efek berantai dalam pikiran masing-masing.

Pandji adalah komika yang mendobrak pakem. Dia memilih tema yang berbeda dari komika lain. Dia juga berani mempertontonkan komedinya di panggung dunia melalui Juru Bicara World Tour di 24 kota dan lima benua. Pandji bukan sekadar ingin naik ke tingkat internasional, tapi juga ingin membuka peluang bagi orang asing untuk belajar dan mengerti Indonesia.

Pandji menggunakan bit atau materi humor yang ditemukan di lokasi pementasan. Misalnya, ketika di Cina, ia menemukan soal kebiasaan buang angin warga setempat. Dalam tradisi Cina, angin buruk tidak boleh ditahan terlalu lama di dalam tubuh. Harus dikeluarkan, baik berupa kentut maupun serdawa. Hal ini kemudian menjadi materi pertunjukannya di Negeri Panda. “Saat berada di lift, ada seorang nenek yang buang angin dengan santainya tanpa memperlihatkan perasaan bersalah sama sekali. Kentut yang keluar pun sangat keras.”

Dalam tur dunia ini, Pandji menggunakan bahasa Indonesia. Ia tidak ingin menerjemahkan materi-materi komedinya ke dalam bahasa Inggris atau bahasa lokal. Menurut dia, dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia, penonton yang mungkin orang asing akan belajar tentang budaya Indonesia. Sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia percaya diri dengan identitasnya di hadapan majelis internasional. “Tidak perlu khawatir untuk berkarya dalam bahasa Indonesia. Berkaryalah dalam bahasa ibu untuk memukau dunia.”

Pandji dan timnya membuka jalan bagi seniman atau komika lain untuk menginjakkan kaki ke panggung internasional. Dalam buku ini, Pandji menegaskan, selain kerja keras, kerja sama tim, impian, dan keteguhan untuk berjuang harus terus diupayakan. Karena itulah buku ini diberi judul Persisten, yang bermakna bahwa mimpi dan misi baik harus terus diupayakan.

Pandji dan komedi-komedinya bukan sekadar menawarkan canda tawa pelepas penat. Dalam guyonannya terselip isu-isu sosial. Seperti menegaskan kembali kalimat Pandji: merdeka dalam canda, merdeka bersuara. []

 

Advertisements Share this:
Like this:Like Loading... Related