It was life. Life happens. Shit happens. And it happens a lot. To a lot of people.
Enam bulan setelah kematian ayahnya, Layken dan keluarganya memutuskan pindah dan meninggalkan masa lalu. Layken mencoba membuka lembaran baru setelah tenggelam dalam kesedihan yang berat. Harusnya dengan bertemu dengan pria yang ia cintai, hidupnya benar – benar masuk lembaran baru. Tetapi muncul tembok tebal yang menguji hubungan mereka.
Layken Cohen tidak suka udara dingin. Layken tidak suka harus masuk ke sekolah baru di tahun terakhir SMA-nya. Layken tidak suka adiknya yang lebih mudah menerima kematian ayahnya. Ketika Layken berpikir kalau dirinya tidak akan pernah menyukai Michigan, ia bertemu pria itu. Pria yang tinggal di seberang rumahnya. Pria yang membuatnya menyukai Michigan.
Will Copper membuat kepindahannya ke Michigan menjadi mempunyai makna. Di hari pertemuan pertama mereka, Layken tahu bahwa ada sesuatu yang spesial dari Will. Ketika Will mengajaknya berkencan keesokan harinya, tentu Layken tidak menolak. Di saat Will berkata ia menyukainya, tentu Layken membalas perasaannya. Di saat Will menciumnya, tentu Layken mencium balik.
Life tries to tell you what’s best for you.
What should be most important to you.
What should come first.
Or second.
Or third.
Layken berpikir mungkin inilah rasanya ketika bertemu dengan pria yang ia yakini adalah jodohnya, seperti cerita ibunya. Tapi perasaan itu harus terpaksa dihilangkan ketika Layken bertemu dengan Will di sekolah barunya. Will adalah guru sastra Inggris. Oh sekarang Layken tahu kenapa pria itu menyukai puisi. Will juga tidak sadar kalau Layken ternyata masih SMA. Tapi masalah yang sebenarnya bukan itu.
Orang tua Will sudah meninggal dua tahun yang lalu dan di umurnya ke 21 tahun, Will sudah harus seorang diri menanggung hidupnya dan adiknya. Will tidak mau kehilangan pekerjaannya. Karena itu Will ingin Layken melupakan apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari sebelumnya. Layken pun sedih karena ketika ia sudah yakin tentang Will, hubungan mereka tidak ada harapan padahal belum dimulai.
Meskipun Layken berusaha untuk menjauh dari Will, tetapi rumah mereka berdekatan. Adik mereka berdua adalah teman akrab dan selalu bermain bersama. Ditambah lagi salah satu kelas yang Layken pilih adalah sastra inggris dan ia duduk paling depan, persis berhadapan dengan meja guru. Di saat Layken sibuk menata perasaannya, keluarga Cohen dilanda berita buruk.
Apa yang harus dilakukannya ketika ia mengetahui kalau ibunya sedang sekarat dan mempunyai penyakit kanker? Apa yang harus dikatakan pada adiknya tentang umur ibunya yang tidak lama lagi? Layken pun menyadari bahwa prioritasnya sekarang adalah keluarga, bukan cintanya.
Because every bit of it, every last bit of it, is fleeting. Nothing is permanent. The only thing any of us have in common is the inevitable. We’ll all eventually die.
Satu hal yang paling membuat buku ini istimewa adalah puisi – puisi yang tertuang dalam cerita. Kalau disini gue bilang puisinya menarik, berarti memang sungguh menarik. Dari semua puisi yang ada, hati gue paling tersentuh dengan puisi “Death” oleh Will. Banyak hal yang gue pikirkan setelah membaca puisi tersebut dan lumayan cukup membuat gue sedih.
People don’t like to talk about death because it makes them sad. They don’t want to imagine how life will go on without them. Their children will still grow. Get married. Get old.
Let’s talk about that two main character.
Mungkin karena umur Layken masih di angka remaja labil, jadi tingkahnya saat bertemu masalah lumayan heboh. Tapi positifnya, karena Layken menyayangi keluarganya, ia berani menghadapi lubang apapun yang ditinggalkan ibunya. Sedangkan Will, gue suka dengan sifatnya yang menomorsatukan keluarganya.
Tapi tetap saja ada yang kurang srek bagi gue. Di satu sisi, Layken galau terus memikirkan apa ada kemungkinan ia tetap bisa bersama Will, meskipun secara rahasia. Di satu sisi lainnya, Will sudah bilang kalau hubungan mereka tidak mungkin berhasil, tapi Will tetap mencium Layken!? Hanya satu hal ini yang membuat gue tertawa geli.
Gue tahu apa nilai yang ingin diperlihatkan oleh CoHo dalam cerita ini. Tentang bagaimana menerima dan melakukan tanggung jawab yang besar. Tentang pertemuan dan perpisahan. Tetapi karena ceritanya sedikit heboh… well tentu heboh karena Layken. Jadinya nilai dalam cerita baru bisa dirasakan oleh gue saat penghujung cerita.
Lalu apa gue menyesal baca ini? Tidak kok. Gue malah bersyukur. Ceritanya lumayan menyentuh dan membuat gue seperti jatuh ke dasar laut saat memikirkan puisinya Will. Lumayan berguna untuk menambah beban pikiran. /hah
UPDATE 7/12/2017 :
Jadi gue mau bilang maaf kalau buku kedua dan ketiga dari series ini, judulnya Point of Retreat dan This Girl, lumayan mengecewakan.
Cerita lanjutan slammed akan mengambil setting waktu mulai dari setahun kemudian setelah ending buku pertama. Ibunya Lake tentu sudah meninggal. Hubungan Lake dan Will semakin serius. Selain mereka mengejar karir dan merencanakan masa depan, mereka juga sambil menanggung kehidupan adik mereka. Lalu ketika ini dan itu terjadi, tibalah masalah sana dan sini. Ringkasan pendeknya seperti itu.
Dua buku terakhir akan dipenuhi dari sisi pandang milik Will. Bakal terlihat betapa tulusnya Will mencintai Lake dan betapa dewasanya Will dalam mengurus orang – orang yang disayangnya. Betawa dewasanya Will dalam menghadapi masalah. Tetapi sayangnya harus gue akui hanya hal tersebut yang merupakan unsur positif dari cerita ini. Sisanya? Repot.
Dari chapter – chapter awal gue sudah bosan. Karakter Lake jadi meresahkan dan seperti kurang berguna. Bagaimana bisa setelah semua perbuatan yang sudah dilakukan Wil, Lake masih meragukan perasaan Will? Gue cape bacanya. Tapi karena gue dari dulu selalu menyukai style penulisannya CoHo, maka gue bertahan hingga akhir. Okay, tepatnya bertahan sambil skip banyak halaman, yang penting gue baca sampai tamat.
Mungkin kalau gue membaca series ini di jamannya, di saat ceritanya benar – benar fresh baru keluar bagi pembaca, gue mungkin akan suka berat. Gue mungkin akan tergila – gila dengan tokoh Will yang romantis. Tapi karena gue sudah membaca buku terbaru CoHo, seperti Without Merit, gue jadi membandingkan karya lamanya dengan yang terbaru. Lalu hasil perbandingannya bagaimana? Romance di buku lama CoHo terlalu lebay dan bikin merinding. Merinding karena terlalu kemanisan.
Gue suka cerita romantis yang manis dan bikin senyum lebar. Tapi gue tidak suka cerita romantis yang manisnya terlalu membludak sampai gue terpaksa senyum lebar. Apalagi buku ketiganya yang porsi kemanisannya lebih banyak. Tidak. Gue tidak pernah cocok dengan cerita macam itu.
Butterflying-
Kesimpulannya. Um saran dari gue saja. Bacalah buku pertamanya (ini serius) dan hiraukan cerita lanjutannya.
Advertisements Share this: