Saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman kerja selama di Belanda. Alhamdulillah saya sudah 2 tahun bekerja di sini. Bagaimana ceritanya? mungkin nanti saya tulisakan juga. Tapi yang pasti, saya bersyukur bisa mendapatkan 2 kesempatan.
Sebelum saya ke Belanda, saat masih belajar sejarah di bangku SD, saya penasaran kenapa Indonesia bisa terjajah sekian lama. Saat itu saya berpikir, mungkin ada etos kerja yang lebih efektif terdapat pada bangsa ini. Setelah saya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di negara tanah rendah ini, barulah saya mengerti. Mereka memiliki etos kerja yang lebih positif dan efektif. Berikut ini beberapa nilai yang berkesan selama saya menjadi profesional di sini. Semoga bermanfaat.
Membuat janji dan Tepat waktu
Tak perlu dipertanyakan lagi, Belanda adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi ketepatan waktu. Terlebih lagi, negara ini memiliki budaya membuat janji (afspraak maken) yang sangat ketat. Budaya ini meliputi hampir seluruh aspek kehidupan. Mulai dari keseharian sampai di bidang profesional.
Di kehidupan profesional, membuat janji erat kaitannya dengan ketepatan waktu. Saat membuat janji, sangat diharapkan kita telah memperhitungkan waktu perjalanan termasuk macet, mempersiapkan diri dan sarana transportasi yang menunjang. Sehingga, kemungkinan untuk terlambat bisa diperkecil. Hal-hal yang biasanya dimaklumi untuk keterlambatan adalah jadwal kereta yang berubah, ban pecah, atau kecelakaan di jalan. Selain itu, keterlambatan sekecil apapun (misalnya 5-10 menit) pun sebaiknya tetap disampaikan via telepon. Oleh karena itu, sarana komunikasi juga perlu dipersiapkan saat kita akan memenuhi janji dengan seseorang di Belanda.
Tepat waktu juga erat kaitannya dengan janji mengenai pemenuhan tenggat. Jika kita berjanji akan memberikan informasi, jawaban, atau kepastian kepada kolega atau klien, berikan waktu yang realistis dan terukur untuk bisa dipenuhi. Misalnya, jawaban tentang suatu persoalan akan diberikan pada hari Kamis siang. Atau mempersilakan klien untuk menelpon dalam 10 menit lagi. Hal itu untuk menghindari waktu yang terbuang dan tergantung percuma. Intinya, jangan php-in klien, karena itu tidak sopan.
Sebaliknya, jika kita sebagai pihak yang ditanyakan perihal waktu luang, berikan rentang waktu yang jelas. Orang Belanda terbiasa menggunakan hitungan pekan. Misalnya, klien A bersedia menerima kunjungan di pekan ke-15 hari Rabu dan Kamis atau pekan ke-17 hari Senin. Hal itu mempermudah kedua belah pihak untuk bisa menyesuaikan waktu dalam membuat janji.
Membuat janji dan tepat waktu adalah sikap positif yang perlu diadaptasi. Budaya ini sangat menjunjung tinggi kehidupan privasi orang lain sekaligus menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang bermartabat. Lebih parah lagi, orang Belanda bisa saja lho menolak tamu yang datang jika tidak ada janji sebelumnya. Wajar saja, karena mereka sangat menghargai keseimbangan pembagian waktu baik untuk urusan sosial, profesional, atau pribadi.
Terbuka antar kolega, tapi terhindar dari Kepo berlebihan
Ketika saya menjalani interview, saya ditanyakan latar belakang dan kondisi pribadi saya oleh dewan direksi. Bukan untuk menilik berlebihan, tapi mereka ingin memastikan saya memiliki jam kerja yang tepat. Tidak berlebihan namun juga tidak kurang. Kira-kira begini dialognya.
Bos 1: “Dengan kondisi kamu yang memiliki anak kecil, menurut kamu jam kerja yang ideal seperti apa?”
Saya: “Yang pasti bukan full time. Bisa 3 hari seminggu, atau setiap hari tapi hanya sampai siang.”
Bos 1: “Oke, lalu bagaimana kamu bisa mengatur ritme pindahan rumah dengan pekerjaan?”
Bos 2 : “Saya punya alternatif, kamu bisa kerja 1 hari seminggu selama kamu belum dapat rumah. Dan saya kasih waktu 1 bulan untuk pindahan. Kalau kamu membutuhkan dukungan dan bantuan teknis, sampaikan pada kami. Kami sangat terbuka untuk itu.”
***
Dialog di atas menggambarkan bahwa mereka sangat menghargai kondisi privasi antar kolega, namun bertujuan untuk saling mendukung. Prinsipnya, kehidupan pribadi dan profesional harus saling mendukung. Selebihnya, saya bisa minta keringanan untuk sampai kantor pukul 11 pagi jika anak saya sakit. Atau minta digeser hari kerja jika ada kejadian mendadak. Intinya kami bertanggung jawab atas urusan pribadi, dan kantor sangat mendukung work life balance.
Egaliter, Mandiri dan Berpikir Kritis
Suatu kali saya pernah ngobrol ringan dengan seorang kawan lama. Ia sedang bekerja sebagai seorang arsitek junior di sebuat start up jasa arsitektur interior. Ia bercerita bahwa meskipun bertitel junior, ia tetap bertanggung jawab terhadap sebuah proyek secara mandiri. Hal yang sama juga terjadi pada saya saat menjadi pemimpin auditor saat melakukan investigasi ke klien. Saya bertanggung jawab mulai dari menyiapkan dokumen, membuat janji, sampai menyelesaikan masalah yang ditemui. Artinya, proses ini memberikan kesempatan kami untuk menjadi pemimpin terhadap proyek yang dipegang. Itulah letak kaderisasi untuk menjadi profesional yang mandiri, berpikir kritis, dan mampu memecahkan masalah. Berbeda dengan iklim junior dan kaderisasi yang cenderung mengandung arogansi senior, di sini senior justru bertanggung jawab mengembangkan potensi junior. Setiap melakukan kesalahan, senior berhak marah memang. Tapi ia berkewajiban menuntun kembali juniornya untuk menjalani prosedur yang tepat. Yang menyenangkan, iklim yang egaliter memungkinkan junior mengkoreksi kesalahan senior tanpa ada perasaan tersakiti. Semua untuk kebaikan profesional.
Dari pengalaman yang saya ceritakan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa kesuksesan selalu mencintai etos kerja yang penuh dedikasi. Secara profesional maupun personal.
Mungkin beberapa rekan ada yang mau berbagi cerita juga, baik suka atau duka selama bekerja di Belanda atau di luar Indonesia? Yuk !
Ditunggu ya,
Share this: