(Review) DEADLY FEAR – Menguak Ketakutan Terbesar yang Akan Membunuhmu

Judul                     : Deadly Fear

Penulis                 : Cynthia Eden

Penerjemah       : Airien Kusumawardani

Genre                   : Romance Suspense

Penerbit              : Bukuné

Tahun terbit       : Cetakan pertama, Juni 2012

Jumlah halaman               : 532 halaman

***

Yay! Akhirnya bisa ikutan #MFFRC lagi. Di bulan april ini temanya adalah: ”Buku yang kamu dapat dari hasil diskonan!” Dan kebetulan buku ini kubeli di basement Gramedia Depok yang memang menjual buku-buku murah. Nggak tau juga seberapa besar diskonnya karena harga yang tertera langsung 24k yang tentunya adalah harga setelah diskon. Yaa biasanya novel terjemahan yang halamannya sampai 500an bisa hampir 100k, kan? Atau lebih?

Buku ini menceritakan divisi baru di FBI yaitu SSD, atau Serial Services Division, yang khusus menangani kasus pembunuhan berantai. Kisah dimulai ketika Luke Dante baru saja dipindahkan ke SSD dan menangani kasus pertamanya bersama Monica Davenport.

“Maksudku…, kita akan bekerja bersama, dan kita tidak bisa berpura-pura bahwa masa lalu kita tidak pernah terjadi…” (hlmn 33)

Yup, Luke dan Monica pernah menjalin asmara saat di akademi namun kemudian Monica menjauh. Ketika mereka bertemu kembali, Monica bukan lagi dirinya yang dulu. Selain telah menjadi salah satu profiler terbaik di SSD, Monica juga terkenal dengan reputasinya sebagai seorang wanita yang sedingin es. Si Nona Es, mereka menyebutnya.

“Dalam sepuluh tahun terakhir, kami hanya menemukan dua kasus pembunuhan di Jasper.” Jeda cukup lama. “Keduanya terjadi dalam dua minggu terakhir.” (hlmn 50)

Awalnya mereka meragukan bahwa kedua pembunuhan yang sedang diselidiki dilakukan oleh orang yang sama karena metodenya benar-benar berbeda. Tapi kemudian ada seorang gadis lain yang menghilang. Korban ketiga, yang akhirnya bisa selamat setelah Monica dan Luke menemukan gundukan tanah yang mencurigakan. Gadis itu, Laura Billings, yang menderita klaustrofobia dikubur hidup-hidup. Dari sinilah diketahui bahwa sang pembunuh menggunakan ketakutan terbesar para korbannya untuk menyiksa mereka sebelum akhirnya membunuhnya.

“Katakan padaku… apa yang membuatmu takut, Davenport?” Napas Monica tercekat. Bayangan akan darah dan lingkaran kegelapan berkelebat dalam pikirannya. (hlmn 118)

Keadaan mulai memanas ketika pembunuh yang mereka kejar mulai meneror Monica. Mengungkit masa lalu yang berhasil dikuburnya selama ini. Kemudian Laura benar-benar menjadi korban ketika si pembunuh mendatanginya di rumah sakit. Bahkan seorang agen SSD pun juga diculik. Sang pembunuh tahu terlalu banyak, ia seolah selalu ada di dekat mereka. Mengintai dalam kegelapan, menunggu waktu yang tepat untuk membawakan ketakutan terbesar yang mereka punya. Si Pengintai, mereka menjulukinya.

***

Ketegangan seolah menyelimutiku sepanjang membaca novel ini, suspence-nya dapet banget. Berbeda dengan novel detektif yang lebih membangkitkan curiosity pembacanya. Seolah sedang menyaksikkan film Hollywood dengan adegan baku tembak yang ada di dalamnya. Emosi kedua tokoh utama, Luke dan Monica, pun berhasil dieksplor dengan sangat baik. Kebencian mereka terhadap tindak kejahatan, keprihatinan pada para korban, ketakutan akan satu dan lain hal, dan tentunya ketertarikan terhadap satu sama lain. Ah ya, karena tokohnya memang sudah dewasa jadi tak heran kita akan menemukan nuansa roman menyerempet stensil di novel ini.

Untuk ending-nya, aku emang nggak bisa nebak siapakah Si Pengintai sebenarnya. Twist-nya berhasil dong? Enggak juga kayaknya. Menurutku penggambaran Si Pengintai di akhir cerita kurang disamakan dengan penokohan dirinya sebelumnya. Kalau film mungkin kita bisa lihat wajah yang sama, namun tak demikian dengan novel. Tapi untungnya nggak ada plot hole. Alasan utama Si Pengintai melakukan kejahatan pun terasa masuk akal, khas film-film FBI yang sering kutonton.

Terakhir, kuberi rating 3,5 dari 5 untuk ketegangan menyeluruh yang kurasakan sepanjang membaca novel ini. Iya, yang itu juga ikutan tegang, haha

Thanks for reading